Penulis : Moch. Sukri
![]() |
ilustrasi : https://m.tribunnews.com |
Sebagai instansi pendidikan berbasis Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) terbesar di Indonesia, dalam perjalanannya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta banyak melalui badai wacana-wacana dialektika intelektualisme Islam. Di usianya ke-63 tahun ini, banyak tokoh-tokoh besar lahir dengan sumbangsih pemikirannya turut mewarnai tradisi intelektual di Indonesia.
Pelbagai terobosan pembaharuan (tajdid) pemikiran Islam lahir dari rahim UIN Jakarta, tatkala umat muslim Indonesia masih mengagungkan paham mistisisme dalam beragama sekitar tahun 1970-an. Kala itu, Rektor UIN Jakarta—dahulu Institut Agama Islam Negeri— Harun Nasution naik ke permukaan dengan gagasan konsep berfikir rasional—menggunakan pendekatan akal— dalam beragama. Dalam pandangan Harun Nasution, akal dan wahyu merupakan dua unsur utama yang saling melengkapi.
Melalui gagasan Harun Nasution pula, wadah musyawarah antar umat beragama dicetuskan. Alhasil pada tahun 1975 dalam sebuah diskusi panel, ia mengusulkan untuk dibentuk Forum Musyawarah Antar-Agama sebagai bentuk menghilangakan kecurigaan antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya (tirto.id). Dari sinilah kita dapat memihat cikal bakal moderasi (washatiyah) beragama di Indonesia lahir dari pemikiran akademisi UIN Jakarta.
Sebelum membahas lebih jauh kaitanya dengan moderasi beragama, kiranya kita perlu terlebih dahulu mengetahui makna dan konteksnya. Dalam artikel yang bertajuk Meneguhkan Moderasi Beragama, Direktur Sekolah Pascasarjana dan Guru Besar UIN Jakarta, Masykuri Abdillah menyebutkan moderasi beragama di negara mayoritas Muslim meliputi: pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan.
Pandangan Masykuri Abdillah di atas dinisbatkan pada dalil Ayat al-Quran, di mana misi utama agama adalah rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin, QS. al-Anbiya’: 107). Selain itu, dalam pandangannya pula karakteristik ajaran Islam merupakan agama kemanusiaan, dinisbatkan pada kata fitrah (QS. Al-Rum: 30). Sedangkan karakteristik umat Islam dalam pandangannya adalah umat yang moderat. Hal ini ia nisbatkan pada kata ummatan wasatan (QS. Al-Baqarah: 143).
Dari Ciputat, UIN Jakarta Menjadi Kiblat Moderasi Beragama Dunia
Wacana “UIN Jakarta Sebagai Kiblat Moderasi Beragama Dunia” muncul pada wisuda ke-111 melalui gagasan Rektor UIN Jakarta, Amany Burhanuddin Umar Lubis. Baginya, UIN Jakarta telah melahirkan banyak tokoh dalam pelbagai disiplin keilmuan. Bahkan, dianggap telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran dalam kontribusi keilmuan di kancah nasional mapun internasional.
Sebagai aktivis Pers Mahasiswa—dalam hal ini Lembaga Pers Mahasiswa LPM Institut— penulis diberikan kesempatan mewawancarai Rektor UIN Jakarta. Dalam pandangannya, moderisme beragama di UIN Jakarta tentu bukan barang baru lagi. Konsep moderisme beragama hanyalah penjelmaan dari nilai-nilai Islamis dan nasionalis dalam kehidupan di kampus. Moderisme beragama dalam artian, menjalankan nilai-nilai Islam Rahmatan lil-Alamin, menjalankan washatiatul Islam, kemudian menjalankan persaudaraan dunia.
Di kalangan kita sendiri, moderisme beragama telah lama mengakar dan menjadi budaya baik dalam kehidupan civitas academica di kampus UIN Jakarta, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Moderisme beragama berarti menjalankan agama dengan menerapkan sikap-sikap adil dan toleran. Selain itu pula, kita dituntut mampu bersahabat dengan kalangan umat beragama lainnya, menerima perbedaan dengan adanya sikap saling membangun bukan menjatuhkan.
Dari rahim UIN Jakarta pula sosok pemikir besar salah satu akademisi penggagas moderasi beragama di Indonesia lahir. Sebut saja Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran dan wacana-wacana moderasi beragama di Indonesia. Sosok Cak Nur sudah tidak asing lagi sebagai salah seorang pembaharu pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Dari pemikirannya lahir konsep pluralisme yang mana mengakomodasi keberagamanan keyakinan di Indonesia. Bagi Cak Nur, nilai-nilai keislaman merupakan harta berharga bangsa Indonesia. Dalam hal ini, ia menyerukan agar rakyat Indonesia memiliki dorongan kewajiban mencari kepribadian nasional (Nurcholis Madjid, 2019: 249).
Kontribusi Cak Nur dalam menyebarkan paham-paham Islam yang toleran di Indonesia sangat besar. Sekitar tahun 1960-1990an, ia aktif mengkritik paham-paham fundamentalisme agama yang berujung fatal pada tindakan anarkisme dan ekstrimisme dalam beragama. Berangkat dari gagasannya itu, ia menyerukan paham agama yang toleran terhadap keyakinan yang lainnya.
Tak hanya itu, UIN Jakarta juga telah melahirkan sosok besar Azyumardi Azra. Mantan Rektor UIN Jakarta dua periode (1998-2006) ini banyak memberikan sumbangsih gagasan moderasi beragama bukan hanya bagi Indonesia bahkan dunia. Seperti dikutip dalam artikel tirto.id Azyumardi Azra: Sejarawan Islam dan ‘Sir’ Pertama dari Indonesia, kontribusi Azra dalam membentuk UK-Indonesia Islamic Advisory Group (UK-Indonesia AIG) membawanya menjadi orang Indonesia satu-satunya yang mendapatkan gelar kehormatan ‘Sir’ dari kerajaan Inggris.
Sebagai kesimpulan, melihat dari fakta-fakta di atas UIN Jakarta sebagai lembaga penidikan tinggi Islam dari masa ke masa menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi beragama sebagai suatu budaya intelektual dan ajaran akademiknya. Tentu hal ini harus dan terus dijaga sebagai nilai positif yang melekat di tubuh UIN Jakarta. Sebagai bagian dari civitas academica, tentu penulis berharap nilai-nilai moderasi beragama di tubuh UIN Jakarta harus dijaga sebagai khazanah intelektual.