Perempuan Berpundak Laweyan

Ilustrasi : lakonhidup.com

Punggung ibu menceritakan silsilah keluargaku, yang konon memiliki satu sanad dengan tumpahnya air Brantas puluhan tahun lalu. Sebuah sebab yang mengantarkan aku tidak memiliki ayah hingga saat ini—bahkan ketika cucu-cucuku telah menikah dan mengandung air mata yang sulit berkesudahan.

Ibu, wanita yang kecantikannya bahkan membuat istriku cemburu. Bukan main parasnya, pria dari belahan pulau manapun takluk dan kerap datang ke rumah untuk meminang ibu. Bahkan aku bersumpah, jika ia bukan ibuku, telah kupersunting ia. Tidak peduli umur kita terpaut dua dasawarsa. Memang dasar lelaki, terkadang kecantikan mengalahkan keyakinan dan kekayaan yang sebenarnya juga bisa dipertimbangkan.

Tentu saja, ibu bukan wanita kaya. Keluarganya adalah petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia dan memperjuangkan Angkatan Kelima didirikan. Tentu saja, ibu bukan wanita beragama yang memuja Tuhan. Keyakinannya orisinil dari negeriku, sebelum agama-agama impor itu datang dan menyebarkan Tuhan mereka masing-masing. Ibu bertahan dan memilih tanda (-) untuk mengisi kolom agama di KTP-nya.

“Ibu tidak mau menjadi orang munafik,” tegasnya dalam tutur yang amat santun.


***


Ketika itu umurku enam tahun. Aku dan tiga orang temanku berkecipak ria di Sungai Brantas yang mengalir di belakang rumah. Namun langit menangis hari itu dan membuat air bah menyapu kami. Semalaman aku mengalir bersama reranting pohon waru, dedaunan yang meranggas, lautan lumpur endapan dan udara malam setelah hujan.

Tepat setelah azan subuh tubuhku ditemukan, penuh dengan warna kecokelatan campuran lumpur, tahi, dan kulit asli. Ragaku utuh, sedangkan tubuh ketiga temanku raib.

Setelah itu ibu menyiram badanku dengan air sumur, bahkan hingga telingaku pengang. Mulutnya meracau, namun dalam intonasi yang sangat lembut,

“Kamu ini anak Ibu satu-satunya, Le. Ga ada yang lain. Ibu cuma punya kamu.”

Mana bisa aku membantah? Setelah itu, eyang memangkuku. Di siang yang mendung itu pun ceritanya menggantung di sukmaku, bahkan sampai saat ini. Aku tak tahu kenapa eyang harus bercerita ini kepadaku yang ketika itu belumlah mengerti apa arti ngaceng dan mimpi basah.

“Le,” begitu eyang dan ibu memanggilku.

Kowe tahu, kenapa kowe selamat dari sungai itu?”

Mboten, Yang. Kenapa memangnya?”

“Brantas melindungi kita sebagaimana kita merawatnya. Gemericik airnya membuat kita hidup. Sedangkan hidup tidak harus bernyawa. Terkadang kita harus memberinya hidup lewat kehidupan.”

Aku mulai tidak mengerti, tapi eyang tetap melanjutkan.

“Ibumu dilahirkan dari rahim Brantas, sebelum ia bermuara di Selat Madura. Aku menangkapnya. Bayi jelita yang mengambang. Ia hidup. Brantas memberinya kehidupan. Aku melanjutkan perjalanan dengan menggendongnya pulang. Istriku melihatnya dengan takjub. Keturunan bidadari kah ia? Lihatlah, matanya memancarkan cahaya bintang. Bibirnya tipis berwarna merah jambu. Rambutnya hitam lebat. Pipinya merona, bahkan di usia sebelia itu! Kami ingin merawatnya. Tentu saja. Tiga puluh tahun kami menikah dan usaha ranjang kami selalu berbuah kemandulan.

“Nak, ketika ibumu berusia tujuh tahun, desa ini dihabiskan Brantas yang meluapkan kekuatannya. Setengah desa punah, termasuk istriku yang ia ambil. Aku ikhlas, tentu saja. Meski sangat berat, aku bersyukur ibumu masih tegar di sampingku. Delapan tahun kemudian, ibumu semakin merekah. Pria-pria mulai datang ke rumah untuk menunjukkan maksudnya untuk menjadikan ibumu sebagai istri mereka. Satu per satu ibumu tolak. Belum siap, katanya.

“Aku pun semakin memerhatikan dan menyadari. Bahu ibumu melengkung lebih ke bawah, membentuk busur panah. Di punggung sebelah kirinya ada tanda hitam yang melingkar anggun, sumber aura yang memancar di sekujur tubuh ibumu.  Malam itu juga, aku didatangi genderuwo penghuni pohon waru belakang rumah. Ia naksir ibumu. Katanya pria manapun tidak akan bisa memilikinya. Ibumu sudah dipatenkan oleh bangsa jin. Aih, merinding aku dibuatnya.

“Di usia ibumu yang ketujuh belas, datanglah pria yang pinangannya diterima ibumu. Seorang pria yang sungguh sederhana dari desa sebelah barat. Namun ibumu begitu jatuh hati ketika pertama kali melihatnya. Malam setelah perayaan dilangsungkan, mereka menikmati kamar pengantin. Keesokan harinya, pria itu ditemukan mengambang di Sungai Brantas. Tubuhnya kaku, tanpa ada jejak penganiyaan di bagian manapun. 

“Tentu saja dugaan yang berkembang adalah dia bunuh diri. Tapi aku yakin, itu tidak mungkin. Pria bodoh mana yang  bunuh diri setelah menikahi bidadari secantik ibumu. Sedangkan ibumu sangat bersedih, hingga dua tahun setelahnya datang dua pria yang lamarannya diterima oleh ibumu. Selalu setelah malam pertama, mereka tewas.

“Penduduk sekitar memang belum menyadari. Tapi aku sudah. Ibumu mendapatkan kutukan bahu laweyan. Semua pria yang menjadi suaminya akan mati setelah mereka bercinta di malam pertama. Satu lagi, ibumu tidak akan mendapatkan keturunan. Ibumu dimiliki Brantas dan genderuwo yang naksir dirinya. Aku yang ia panggil bapak hanyalah wali yang harus menjaganya sampai akhir hidupku.

“Kemudian lahirlah kamu, dari rahim yang sama dengan ibumu. Aku pula yang kebagian menemukanmu, dua puluh tahun setelah aku menemukan ibumu. Begitu bahagia ia melihatku membawa bayi lelaki telanjang dari tubuh Brantas, situs yang sama tempat ia lahir. Ia memutuskan untuk merawatmu, menjadikan anak raganya, dan memutuskan untuk menghentikan kutukan bagi lelaki manapun yang ingin menikahinya.”

Cerita eyang berhenti. Aku mencerna dengan sangat berat setiap kata-katanya, setiap kalimatnya. Namun suaranya bergema sampai saat ini. Setidaknya aku tahu kenapa ibu tidak ingin memberikan ayah buatku. Ayah hanyalah angin yang mati. Dia hanya bisa aku temui lewat mimpi. Pria-pria tanpa wajah. Pria-pria dengan tubuh agak bungkuk karena memangku beban terlalu berat di pundaknya, beban yang setara dengan kehilangan dan penghilangan paksa oleh Brantas.

Aku pun tumbuh dan menikah. Aku melahirkan anak-anak yang kutitipkan di rahim istriku. Ibu tidak pernah cemburu. Istriku yang cemburu padanya. Usianya senja, namun raganya selalu muda. Wajahnya selalu dua puluh lima tahun. Pria masih hilir mudik datang ke rumah, mereka yang tidak mengetahui sejarah masa lalu yang merenggut keinginan ibu untuk memiliki kekasih manusia. Lalu, si gondo. Dia terkadang mengampiri ibu di malam-malam purnama untuk bercinta. Dasar setan biadab.


*** 

Eyang telah tiada. Tubuhnya juga bersemayam di Brantas ketika peristiwa berdarah itu terjadi. Ideologi terkadang membuat manusia lebih kejam dari iblis. Padahal eyang hanya anggota yang hanya memikirkan kaumnya, tanpa mengiming-imingi orang lain untuk bergabung. 

Sedangkan ibu dan aku selamat. Kami melarikan diri dari kejaran para pembunuh. Meski aku tahu, jika ibu menetap di rumah malam itu, para pembunuh lebih memilih untuk membawa ibu untuk dinikahi, atau mungkin digilir secara bergantian. Terlalu sayang perempuan sejelita ibu dimusnahkan.

Ibu tidak pernah musnah. Sampai saat ini, ketika uban mulai memenuhi kepalaku, ketika istriku mati dilahap cemburu, sedangkan anak-anakku  dan cucu-cucuku selalu mendapatkan sial setiap mereka merayakan usia ketujuh belas. Mereka hidup dengan tertatih, melewati rintangan yang membuat mereka terkadang berada di ambang kematian. Hidup yang terkucilkan, susah kaya, dan selalu bersedih.

Tapi ibu tidak pernah mati.


(*) Pamulang, Januari 2019

Pernah dimuat dalam Antologi Ruang, Komunitas Rusabesi, 2019

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form