Solusi Itu Bernama Tani

Table of Contents

 Oleh: Fielda (penikmat kopi hitam)

Ilustrasi : Lokadata.id

Indonesia lagi siap-siap menghadapi resesi. Tentu pertaruhannya pada tiga bulan terakhir ini (Juli-Agustus-September). Jika kuartal kedua ini pertumbuhan ekonomi nasional tetap nyungsep, maka para pemangku kebijakan akan kelimpungan dan memutar otak untuk mencari solusi. Sederet ekonom sudah memberikan lampu merah bahwa Indonesia akan mengalami resesi. Menyusul negara-negara besar seperti  Amerika, Uni Eropa, atau dua tetangga kita Malaysia dan Singapura.

Efek Covid-19 tidak bisa dianggap enteng. Sekelas negara seperti Singapura saja bisa hancur lebur. Indonesia perlu belajar banyak pada negara – negara yang sudah lebih dulu mengalami resesi.  Para pemangku jabatan harus segara mengambil langkah tak biasa, sebab ini sudah dalam keadaan genting. Perlu terobosan. Walaupun terkadang tersandera oleh politik kepentingan.

Jika terobosan itu tidak segera didapatkan, maka kekuasaan itu tidak memiliki arti apa-apa. Buat apa mempunyai kekuasaan? Jika tidak dibarengi dengan kreativitas yang tinggi. Jangan sampai tiga tahun kedepan, para pemangku kekuasaan hanya dianggap hidup di atas awan. Tidak bisa menyentuh kehidupan rakyat yang sebenarnya. Dan kekuasaan sungguh semakin tidak relevan bagi kehidupan masa kini.

Terobosan tadi bisa datang dari mana saja. Bahkan mungkin dari hal yang selama ini terabaikan, atau kurang diperhatikan. Sebut saja itu bidang pertanian. Walaupun masih banyak lagi bidang-bidang lain. Soal pertanian, dari dulu rasanya pemerintah tidak punya political will yang memadai. 

Persoalan harus diurai dari hulu sampai hilir. Kenapa masyarakat seolah tidak punya gairah untuk bertani. Atau jarang sekali anak muda sekarang yang memiliki cita-cita untuk bertani. Kata tani seakan menjadi kurang kece dan seolah pekerjaan yang cenderung diremehkan. Inilah persoalan yang perlu diurai dari sejak awal.

Pemerintah harus segera memperbaiki pertanian ini ke titik sentralnya. Yakni kenapa masyarakat, khususnya pemuda tidak berminat untuk bertani. Padahal negeri ini surplus anak muda produktif. 


Soal Pola Pikir

Soal persepsi, bertani dianggap orang yang kurang sukses. Inilah biang keladinya. Persepsi inilah yang terlebih dulu harus diluruskan. Pemerintah perlu menggandeng lembaga pendidikan untuk membentuk pola pikir yang menganggap pertanian itu adalah sentral. Apalagi negara agraris seperti ini Indonesia. Jika menilik sejarah, portugis dan bangsa-bangsa lain baku-hantam di Nusantara ini karena rempah-rempahnya yang melimpah. 

Hari ini, anak-anak muda lebih tertarik menjadi buruh ketimbang bertani. Bahkan mahasiswa aktif atau pun yang sudah sarjana seolah menghindari perihal yang satu ini. Tidak terkecuali yang jurusannya memang pertanian. Sejauh ini penulis belum melihat yang terjun langsung untuk membagi ilmunya ke para petani. Jika ada, itu pasti sangat sedikit. 

Setelah memperbaiki persepsi, baru kemudian melangkah ke hal-hal lain yang lebih teknis. Kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan bagi perbaikan pertanian kita. Sejauh ini mungkin sudah banyak langkah-langkah yang dilakukan. Akan tetapi belum menyentuh persoalan yang sesungguhnya. Dan jangan sampai kekuasaan hanya dianggap tong kosong yang nyaring bunyinya.

Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment