Penulis: Deni
Semenjak kepergian Ayahnya. Rani semakin penyendiri. Ia
melewati hari-harinya dengan muka datar. Tak ada raut senyum sedikitpun pada
mukanya yang cantik. Di sekolah, ia tak banyak bicara. Ia jarang sekali bermain
dan berkumpul temannya. Ia duduk saja di bangkunya, menunduk menekuri buku
catatan Ayahnya yang buluk dan tebal
Tak ada yang tahu apa penyebabnya. Ibunya menerka-nerka.
Anaknya berubah karena kepergian ayahnya. Tapi itu tak sepenuhnya benar. Rani
hanya penasaran dengan perjalanan hidup ayahnya. Buku catatan harian sang ayah
memikatnya. Di sana, ia seperti menemukan dunia tempat ayahnya berkelana.
Dengan membaca catatan hariannya, Rani menikmati rimba raya catatan-catatan
itu. Jadilah ia terasing dari dunianya dan memasuki dunia catatan harian sang ayah.
September 1965.
Hari nampak cerah. Tapi matahari tak menyengat seperti
biasanya. Sejuk. Angin berhembus. Daun-daun di pohon besar di sekitar pondok
menikmati hembusannya. Ada pohon asam jawa terletak di belakang pondok. Tempat
favorit bercerita. Mereka membicarakan kecantikan santri-santri putri.
Ada satu Fatimah. Perempuan itu juara di hati para santri.
Mukanya bulat. Dagu yang begitu lancipnya. Hidung yang pas. Tak terlalu pesek
atau pun mancung. Ketika lesung pipinya dibentuk oleh gerak senyum manisnya,
para santri laki-laki terpaku dalam mata yang tak dapat berkedip dalam beberapa
detik. Mereka saling mencoba mendekatinya. Namun tak ada yang bisa
meluluhkannya. Sebab, di dalam paras cantiknya, Fatimah adalah perempuan dengan
keteguhan iman. Ia pantang melanggar dosa.
Orang tua Fatimah punya pengaruh di desa. Posisinya penting.
Sudah pasti mereka ingin anaknya menikah hanya dengan orang-orang yang
dianggapnya sederajat. Maka banyak anak lelaki yang hanya bisa menelan harapan
dan menumbuhkan Fatimah dalam khayalan. Fatimah hidup dalam fantasi mereka.
Menjadi istri dalam Fantasi mereka.
“Bila kita tak mungkin memiliki Fatimah dengan segenap
tubuhnya, tak apa. Ia hidup dalam imajinasi kita”, kelakar salah seorang santri
sambil tertawa.
Minggu Akhir Agustus 1965
Fatimah jarang nampak lagi. Para santri yang biasa
membicarakannya menjadi gelisah. Mereka mengeluh. Tanpa melihat sosok
kecantikan Fatimah, imajinasi mereka menjadi hilang energi. Mereka berharap
paras cantik itu muncul lagi. Tapi hingga minggu terakhir, paras itu tak muncul
lagi. Mungkin untuk selamanya.
Desas-desus berkembang: Fatimah pulang atas permintaan
ayahnya. Kabar ini makin menggelisahkan. Tapi biarkan Fatimah tetap jadi
penantian, kini perhatian kita bergeser kepada hal-hal lain yang kini tengah
bergejolak. Suatu kondisi memanas mulai dirasakan nyata oleh seluruh penduduk
santri. Semua abdi dalam kyai mulai bergantian jaga malam, ronda. Mereka
memantau seluruh sekitar pesantren.
Suasana ini makin bertambah-tambah mengerikan. Orang-orang
mati tanpa sebab. Seolah Tuhan sedang mengirim serombongan malaikat maut ke
desa ini. Seluruh desa dikepung oleh kematian. Mayat-mayat bergentayangan
seolah ikut penasaran tentang apa yang yang terjadi yang membuat mereka mati.
Berbulan-bulan kemudian, saat kematian mulai bosan menghukum
desa itu, seorang perempuan muncul di jalan. Dengan sebuah bakul berisi aneka
gorengan. Ia menjajalkannya kepada semua orang yang ia temui. Wajah itu nampak
tak asing. Walau kecantikannya mulai meredup. Itulah Fatimah. Si kembang Pondok
dahulu. Wajahnya berbeda dari terakhir kalinya terlihat.
Orang-orang yang dahulu mendambakannya, mengaguminya, kini
berganti simpati. Mereka sedih dengan perubahan itu. Keseluruhan fantasi
tentang memiliki Fatimah yang menjadi kegilaan para anak laki-laki kini seperti
menguak begitu saja. Si kembang pesantren itu tak lagi secantik dulu.
*
Kring, Kring, Kring. Bunyi bel
sekolah.
Semua siswa masuk ke dalam kelas. Rani menghentikan
pekerjaan membacanya itu. Sekarang pelajaran sejarah. Pak Mahmud, guru yang gakal
itu, tak segan-segan menghukum siswa yang tertangkap tak ikut mendengarkan
materi pelajarannya.
Pantofel terdengar. Semua siswa di dalam kelas tegang
menunggu kemunculan sesosok tubuh itu. Tapi pintu yang terbuka itu menampakkan
wajah lain. Ketegangan segera mereda berganti suasana lain. Seluruh mata
tertuju pada sosok cantik yang terus bergerak menuju kursi biasa Pak Mahmud
duduk. Suasana sunyi itu segera terpecah dengan panggilan “hai” dari guru baru
itu.
“Selamat siang. Perkenalkan. Saya Fatimah. Guru baru kalian.
Ayah saya seorang komunis”.
Seluruh siswa tercengang. Tapi di antara mereka, Rani yang
paling kaget. Ia teringat dengan buku catatan ayahnya. Dunia yang hidup dalam
rimba catatan harian ayahnya kini seolah akan menemukan jalan baru dari sosok
yang berdiri di depannya. Ibu Fatimah adalah catatan hidup. Di kepala Rani,
bertumpukan pertanyaan. Lain waktu, ia ingin menanyakan satu persatu tentang
kisah-kisah itu.