Ibunda dalam Rentang Khatulistiwa
dan rahim ibunda selalu menjadi tempat berlabuh berpuluh-puluh tubuh yang berpeluh.
dan rusuk ibunda adalah sampan waktu yang selalu gemuruh di sela-sela ruh yang berlayar dalam solilokuimu.
dan rindu ibunda serupa sajak-sajak khatulistiwa, mengikat dunia yang semakin nestapa, tapi dibasuhnya oleh air mata doa setiap subuh tiba.
(*) Pamulang, Agustus 2018
Sangkuriang
/i/
sebelum matari dihisap kabut, peluhmu jatuh membasahi daun yang mengering. namun tanah di sampingnya merah. senyummu tersungging. ibunda menantimu membawa santapan. maka, anjing yang telah kau panah itu menjadi bukti kau anak yang perkasa, anak yang berbakti kepada ibunda.
/ii/
“bunda, ini makan malam kita.” tapi ibunda menjerit setelah memakan hati si anjing, “kenapa kau membunuhnya?!” hari pun berakhir dengan luka di dahi sangkuriang, luka di hati ibunda. sangkuriang pergi dengan tanya yang menumpuk di pipi, di kaki, di warna malam.
/iii/
sebab anjing itu adalah ayahmu dan ia adalah kekasihku. o, tumang. tumang yang malang. cinta kita dirampas anak semata wayang.
/iv/
sangkuriang kembali ribuan hari setelahnya dan jatuh cinta kepada sang ibunda. “menikahlah denganku, dayang. begitu nirmala parasmu, begitu cahaya tubuhmu.” sangkuriang tidak tahu ibundanya semakin cantik dari masa ke masa, hingga ia lupa dengan wajah ibundanya! “buatkan aku setangkup perahu untuk kita berbulan madu,” syarat sang dayang.
/v/
o sanghyang, aku yang malang. kekasih baruku adalah anakku, sangkuriang. bebaskan aku dari kutukan, bawa aku ke lembar lain kehidupan.
/vi/
o sangkuriang. marahlah, murkalah. gunung telah terbentang dari perahu yang hampir rampung kau kerjakan semalaman. ibundamu sudah sirna, ia menjelma setangkai bunga.
(*) Pamulang, Oktober 2018
Bromo
/I/
di sini
dibalut serbuk-serbuk
kenanganmu
jatuh
di keningku
/II/
sementara kita
memeluk subuh
di antara tengger
dan semeru
selindap jemarimu
sebasah dedaun
sebelum rembulan
tergenang di sisa-sisa
embun
/III/
dan pasir ini
masih berbisik
di bilik bibirmu
yang masih rebah
di seluruh ragaku
/IV/
maka sabda Tuhan, nikmat-Nya mana lagi yang kau dustakan, sayang?
(*) 2018
Pinisi Ibu
/I/
ratus ribu butir pasir
juta milyar napas senja
melabuh di dermaga puisimu,
ibu
/II/
jemari nyiur di pelupuk rambutmu lindap
meranggas kail, membasuh pancing,
melawat rindang tanah
anakmu yang masih kelam di pusaran
lembayung malam
/III/
anakmu mencerca patin, baronang, nila tangkapan suamimu
hingga subuh lelap, sampai zuhur muak
/IV/
sebab air matamu bercerita sabda-sabda wanita pengantar belulang nenek moyang di lambung pinisinya, tubuh pinisimu.
(*) 2018
Pernah dimuat di buku Antologi Perempuan Bahari