![]() |
Ilustrasi : portalsatu.com |
“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”
– Pramoedya Ananta Toer, “Jejak Langkah”.
Setiap perubahan
sosial yang tercatat dalam sejarah, selalu memperlihatkan suatu peran penting
yang diisi oleh salah satu kalangan di dalam masyarakat. Beberapa kelokan dalam
sejarah menyebut bahwa peran yang diisi oleh kalangan ini tidak bisa kita
abaikan, justru sebaliknya harus kita optimalkan. Salah satu kalangan yang
terdapat dalam masyarakat itu adalah pemuda.
Kita bisa menunjuk
pada peristiwa Sumpah Palapa yang digaungkan oleh Gadjah Mada – sosok dan
simbol pemuda tangguh di masa kerajaan Majapahit, atau Sumpah Pemuda yang
diikrarkan oleh para pelajar serta mahasiwa di Belanda yang tergabung dalam
organisasi Indische Vereeniging (kelak
berganti menjadi Indonesische Vereeniging
atau Perhimpunan Indonesia), suksesi kepemimpinan dari Bung Karno ke
Suharto yang diwarnai dengan demonstrasi kalangan mahasiswa, pun tragedi ’98
yang akhirnya membawa Orde Baru hengkang dan digantikan Reformasi.
Beberapa penggalan
sejarah di atas jelas bukan dalam rangka romantisme atau bahan untuk petantang-petenteng karena kisah indah
masa lalu. Di antara para pembaca bahkan mungkin menganggap data di atas adalah
usang. Tetapi di sisi lain, lebih-lebih melihat bagaimana kondisi pemuda,
khususunya di dusun Bancek-Janten dewasa ini, beberapa sejarah di atas nampaknya harus kita
suguhkan ulang. Harus kita timang-timang kembali. Setidaknya demi dua hal. Pertama, untuk melihat bagaimana
sentralnya peran pemuda. Kedua,
untuk mengukur sampai di mana pemuda kita melaksanakan “tugas kepemudaan”-nya.
Dalam rangka itulah tulisan ini lahir.
Suburnya Kalangan Terpelajar (Bonus Demografi)
Menarik jika kita insyaf bahwa Bancek dan Janten
merupakan dua dusun yang melahirkan banyak sekali kalangan terpelajar. Dibandingkan beberapa
dusun di sekitarnya, dua dusun ini merupakan yang paling banyak menampung kalangan terpelajar. Mulai dari
yang menempuh pendidikan di bangku SMA/SMK/sederajat, Strata 1 (S1), bahkan
sampai Strata 2 (S2). Mereka bagian dari pemuda, mengingat usia mereka yang masih dalam kategori
produktif.
Dalam kajian
ekonomi atau dalam diskursus perkembangan masyarakat, ada istilah yang kita
kenal dengan ‘bonus demografi’. Banyaknya kalangan usia produktif yang salah
satu instrumennya adalah pemuda, erat kaitannya dengan istilah tersebut. Karena
secara sederhana, istilah bonus demografi merujuk pada potensi pertumbuhan
ekonomi, baik dalam suatu negara atau daerah, yang diakibatkan oleh merebaknya
penduduk yang berusia produktif daripada yang tidak produktif. Artinya,
suburnya bonus demografi yang ditandai dengan banyaknya kalangan terpelajar
seharusnya mampu menjadi salah satu faktor pertumbuhan dalam aneka sektor.
Bukan hanya terbatas pada ekonomi.
Namun rumus dunia
tidak pernah mengatakan bahwa yang baik dalam segi kuantitas, juga baik dalam kualiitas.
Buktinya adalah kondisi kalangan pemuda di dua dusun ini. Di tengah banyaknya
kalangan terpelajar, ternyata belum mampu menjadi sebuah alasan bagi kalangan
pemuda kita untuk bertindak progresif. Salah satu barometernya adalah absennya
kelompok, komunitas, perkumpulan, serikat, himpunan, atau organisasi atas nama kepemudaan yang orientasinya adalah menjadi
wadah bagi ide, gagasan, serta media kreasi rekan-rekan pemuda.
Padahal komunitas
atau perkumpulan ini mutlak perlu dalam kehidupan bermasyarakat, kehidupan
bernegara, serta kehidupan beragama kita. Komunitas akan menjadi media bagi
pemuda untuk melanjutkan atau mengabdikan pengetahuan yang mereka dapat dari
bangku-bangku sekolah. Persoalan yang muncul dalam suatu kelompok masyarakat
akan menjadi kasus-kasus yang menantang pengetahuan mereka untuk diaplikasikan
ke dalam kehidupan nyata.
Sebuah komunitas
atau perkumpulan juga mampu menjadi pemersatu dari tiap kemampuan yang dimiliki
oleh rekan-rekan pemuda, serta menjadi kekuatan yang ideal dalam suatu
masyarakat. Sebuah upaya yang dilakukan secara individual (lone wolf) tentu saja tidak berarti negatif, tetapi upaya serta
perjuangan yang dilakukan secara bersama atau berkelompok, apalagi persoalannya
menyangkut hal-hal kemasyarakatan (sosial), maka komunitas tentu adalah langkah
yang bijak.
Menumpuknya Beragam Persoalan
Hal kedua yang juga
harus diinsyafi oleh kita adalah beragam persoalan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Ini adalah sebuah keniscayaan, di mana setiap kelompok masyarakat
pasti menyimpan persoalan dan potensinya sendiri-sendiri. Sehingga adalah tugas
kita sebagai pemuda untuk menjawab persoalan-persoalan ini, serta
mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam kelompok masyarakat tersebut.
Dalam kasus di dusun
Bancek dan Janten, untuk melihat beberapa persoalan yang dimaksud, kita
misalnya bisa menunjuk pada adat serta kebiasaan yang justru mengikat dan
menyiksa. Semisal tradisi tahlilan pasca kematian yang selalu (bahkan seakan
“wajib”) diikuti dengan acara makan-makan. Tradisi ini menjadi bermasalah bukan
pada konteks tahlilannya, tetapi lebih kepada kewajiban menghidangkan makanan
oleh pihak yang sedang dirundung kesedihan akibat kematian, terhadap mereka
yang datang tahlilan tanpa peduli dengan situasi atau keadaan si tuan acara.
Bagi mereka yang yang berasal dari kalangan ekonomi menengah
ke atas mungkin hal ini tak jadi persoalan. Tetapi bagi masyarakat kebanyakan,
yang notabene berada pada posisi ekonomi menengah ke bawah, tradisi semacam ini
jelas menyiksa. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah dirundung
sedih akibat kematian, masih dipaksa menguras harta benda pula. Hal ini terjadi
karena dalam suatu acara tahlilan yang biasanya diadakan selama 7 hari
berturut-turut, belum ditambah dengan beberapa tamu yang datang, cukup untuk
sekedar menjual satu hewan ternak yang harganya puluhan juta. Alhasil, kewajiban yang sejatinya tidak wajib
ini alih-alih menuai pahala, justru mengikat dan menyiksa.
Ini adalah satu
dari sekian banyak persoalan yang erat kaitannya dengan tradisi. Belum lagi
kita misalkan hendak menyoal yang lebih serius seperti kesejahteraan para
petani, sistem pasar tembakau yang kian merugikan petani, kebijakan pemerintah
daerah yang menjauh dari kepentingan masyarakat, peningkatan mutu pendidikan,
serta segudang persoalan lainnya yang muncul di tengah-tengah kita.
Sikap tutup mata
dan telinga seakan-akan kita tidak tahu tentang seabrek persoalan ini tentu
tidak bijak. Dan jika kita hendak bermimpi tentang perubahan, maka kalangan
pemuda nampaknya pas untuk memegang peranan ini. Karena, seperti yang dikatakan
sejarah, dari kalangan merekalah yang sejak dahulu mampu menentang stigma dan
logika umum yang menyimpang. Dan tentu saja, “dobrakan” tersebut dilakukan
dengan teroganisir.
Upaya Merawat Generasi
Beberapa penjelasan
di atas akhirya membawa kita pada pembahasan yang ketiga. Yakni pentingnya
merawat generasi. Ini adalah alasan penting mengapa komunitas pemuda di dua
dusun ini harus ada. Kita sudah cukup lelah dan muak menyaksikan kalangan pemuda
kita ditarik-ulur sampah modernisme dan para kapitalis yang saat ini bergeser
menjadi CEO atau pemilik resmi sebuah aplikasi.
Rasa-rasanya,
beredarnya narkotika di kalangan pemuda, korban balap liar, acuhnya pemuda
terhadap pendidikan, eksploitasi pemuda dengan game-game online atau aplikasi
lain yang menghisap para pemuda dan bahkan menjadikan mereka lupa akan
kehidupan yang sesungguhnya, sudah menjadi pemandangan yang tak asing bagi
kita. Sudah kian banyak di antara kalangan pemuda kita yang makin asyik
mengkonsumsi sampah modernisme dan tak sadar bahwa diri mereka sejatinya
menjadi konsumen dari pemilik aplikasi-aplikasi gadget yang kian hari kian kaya dengan menghisap
uang mereka.
Jika kita hendak
menelaah bagaimana fenomena ini bisa terjadi, maka salah satu alasanya adalah
absennya komunitas pemuda di dua dusun ini. Sehingga, banyak di antara kalangan
pemuda mencari kesenangan serta kenyamanan pada kelompok atau komunitas (atau
kita lebih akrab dengan kata tongkrongan)
lain yang kita tidak bisa menjamin efek seperti apa yang diberikan oleh
kelompok tersebut. Jika demikian, maka persoalan yang muncul dalam kalangan
pemuda tidak bisa kita salahkan hanya pada individu mereka semata. Sangat
mungkin dalam hal ini kita juga salah, karena kita sudah abai pada upaya-upaya
untuk merawat generasi. Salah satunya dengan membentuk komunitas kepemudaan.
Fenomena seperti ini jelas tak bisa kita biarkan. Jika kita tetap bersikap sok tidak tahu, maka jangan heran bila generasi mendatang (yang di antara mereka akan ada anak-anak kita) juga akan mengalami nasib yang sama, atau bahkan mungkin lebih parah. Tentu kita tidak mau ini terjadi. Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa alasan yang telah dipaparkan di atas, keberadaan komunitas kepemudaan yang di Bancek dan di Janten mutlak perlu dalam kehidupan kita dewasa ini.
Keberadaan komunitas semacam ini tentu akan sangat membantu kita dalam banyak bidang, tetapi tentu juga menuntut kita untuk menyisihkan banyak waktu, tenaga, dan perjuangan agar komunitas tidak memiliki umur yang pendek. Dan memang membangun komunitas apalagi berharap perubahan dalam ranah sosial membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Setengah dasawarsa merupakan waktu yang minimal. Bahkan sangat mungkin dibutuhkan waktu yang lebih lama dari itu. Maka dibutuhkan komitmen dan kepedulian kuat, diimbangi dengan konsistensi perjuangan yang kokoh agar apa yang menjadi cita-cita bersama dapat dicapai. Sekian.