Penulis: Kayla
KALAU bukan kecoa, cicak, ular, atau mahluk-mahluk non-manusia lainnya, kalian pasti tahu kopi (atau bahasa tongkrongannya ‘ngopi’). Semua orang tentu tahu, kopi adalah sejenis minuman yang umumnya berwana putih tua (untuk tak menyebut hitam hehe).
Ini minuman ‘berkelas’ (high class) dalam sejarahnya.
Bahkan minuman yang khas ini pernah dibaptis. Maklum, konon kopi disebut
minuman setan.
Pada awalnya kopi dipandang sebagai minuman kelas elit.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmatinya. Jadi, siapa pun di masa itu
yang ingin disebut manusia ‘high class’, nongkronglah di kedai kopi, dan
nikmatilah seteguk (dua teguk, atau lebih) minuman setan itu.
Tapi hari ini, kopi bisa ditemukan di mana-mana. Di
kedai-kedai yang tak lagi selalu dikategorikan ‘waw’, ‘wadidaw’, dan kata
‘mewah’ lainnya. Kali ini kopi bisa ditemukan di kedai-kedai berkelas nan mewah
hingga warung kopi di pinggiran jalan yang tempatnya – maaf maaf – berbagi
dengan got dan gerobak sampah sekali pun (juga ada).
Tapi yang menarik dari kopi, keberadaannya jadi penanda peradaban.
Begini. Ada suatu masa kopi (tepatnya kedai kopi) tercatat dalam sejarah
sebagai ‘saksi’ dan ‘arena’ bagi lahirnya gagasan kritis, pergerakan dan
percintaan. Mungkin bukan hanya masa itu, melainkan akan terulang-ulang di lain
waktu dan kesempatan. Sepanjang ada manusia yang tak habis-habis dibuai
perasaan cinta, harapan, dan utopia tentang masa depan. Dan tentu saja ada
kedai-kedai kopi.
Tapi tiga hal – gagasan, pergerakan, dan percintaan – di
atas, seakan itulah yang paling sering dan asik dibicarakan di kedai-kedai
kopi. Demikian seringnya. Akhirnya menjadi begitu klise, dan menggelikan bagi
sebagian orang.
Seakan telah lumrah bahwa tempat di mana seseorang dengan
asik menikmati secangkir kopi, adalah ruang publik yang sebenarnya. Di sanalah
tempat bertukarnya pikiran, dan segala hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan
sebelumnya.
Dalam percintaan, kopi adalah dalang segalanya. Ia seolah
menyihir muda-mudi untuk bercengkrama. Tidak terkecuali kalangan tua yang mengalami
puber ke sekian. Tidak luput dari aroma sihir si hitam kopi.
Soal pergerakan, tanpa kopi tidaklah lengkap. Bahkan
strategi-strategi yang dahsyat dan mendunia lahir dari tempat kopi. Alias
kongko-kongko yang sedikit produktif. Ini jelas tercatat dari penggalan sejarah
yang sudah-sudah. Seperti revolusi Prancis yang gagasannya dimulai dari tempat
ngopi. Kurang lebih seperti itu.
Tetapi, kopi memiliki sisi lain. Ia seringkali juga hanya
sebagai alasan. Alasan yang kadang tidak masuk akal. Buktinya tidak sedikit
orang yang pergi ngopi, ternyata ia malah minum teh dan teman-temannya. Bahkan
ada yang malah minum susu. Aneh sekali.
Sesekali tempat ngopi untuk hal remeh-temeh. Karena tidak
jarang seseorang pergi minum kopi hanya sekedar untuk menonton orang yang
menonton.
Coba bayangkan, anda adakalanya pergi mencari tempat
ngopi yang rame. Hanya sekedar untuk melihat-lihat orang yang juga sama-sama
melihat kita.
Akhirnya kita hanya menonton orang yang juga menonton
kita. Tapi ini sebuah penanda bahwa lingkungan itu hidup, dan penuh dengan
gairah kehidupan.
Soal yang lain, itu hanya bumbu belaka. Karena yg sangat
sering, kita hanya pergi ngopi untuk menonton orang yang menonton.
Tags
Coretan