Penulis: Ben Yowes
Alkisah. Konon di negeri antah-berantah, datanglah sesosok dengan
wujud manusia. Warga baru. Orang-orang di negeri
antah-berantah itu tak ada yang tahu asal-usulnya. Mereka penasaran dengan sosok tersebut. Lantaran meski sosok itu berwujud manusia,
tapi ia seperti memiliki tanda-tanda sebagai malaikat.
Pertanyaan itu tinggal pertanyaan. Tak satu pun warga yang berani menanyakan identitas orang itu. Tapi warga menerimanya dengan
baik. Singkat cerita, sosok itu hidup bersama-sama dengan warga masyarakat di
negeri antah berantah itu.
Orang-orang begitu mengaguminya. Orang-orang tak
perlu menanyakan siapa sosok sebenarnya. Cukup mereka berpikir kalau sosok ini
adalah manusia berhati malaikat atau malaikat yang mewujud manusia. Ia sangat
baik sekali, peduli dengan orang-orang, dan benar-benar mencerminkan diri
seperti sosok malaikat.
Kedatangannya telah mengubah pandangan pesimis warga di sana
yang selama ini dibayangi pikiran bahwa di dunia ini tak mungkin ada pemimpin
berhati malaikat, yang ada cuma iblis. Lantaran para pemimpin besar di negara
antah berantah itu mencerminkan perilaku yang tak disenangi warganya: penuh
janji, licik dan suka intrik.
Suatu hari, warga berkumpul
secara diam-diam. Ini suatu keberanian pertama sebagai puncak kekecewaan atas
perilaku para pemimpinnya selama ini. Mereka menggelar rapat. Segera mereka
menetapkan kesepakatan. Malaikat itu bakal diangkat sebagai pemimpin.
Tapi rupanya rapat itu telah bocor. Para pemimpin negeri antah berantah mendengar
semua itu. Insting mereka berkata: ini tanda bahaya. Maka mereka segera menemui
sosok manusia malaikat itu. Terjadi pembicaraan. Sebulan kemudian, negeri antah
berantah berpesta. Warganya begitu senang.
“Kita menang. Kita akan dipimpin oleh manusia malaikat.
Dipastikan negeri ini bakal makmur sejahtera”.
Bulan demi bulan berlalu. Tahun demi tahun di bawah kepemimpinan
manusia malaikat itu rupanya tak ada perubahan besar. Para warga gelisah.
Sedangkan pemimpin-pemimpin lama berpesta pora. Warga berkumpul. Mereka membuat
surat dan dikirimkan kepada pemimpin barunya, manusia malaikat itu. Hingga ke surat
yang ke seribu. Tak ada balasan.
Lalu rapat lagi. Dan terjadi perdebatan heboh.
“Tak ada malaikat di negeri ini”, kata salah seorang warga
dengan wajah lesu.
“Atau mungkin, dia memang bukan malaikat seperti yang kita
duga”.
“Tidak, saya yakin dia itu seorang malaikat. Mata saya tak
mungkin salah. Tanda-tanda yang melekat pada dirinya jelas. Dia seorang
malaikat”.
Tapi kekecewaan membawa mereka kembali pada keyakinan lama:
tak ada malaikat di negeri ini. Akhirnya diputuskan, warga seluruh negeri antah
berantah akan menggelar protes. Awal protes ditunjukkan dengan pengabaian seluruh aturan
negeri antah berantah. Mereka menganggap tak memiliki
pemimpin.
Bulan-bulan berikutnya, protes mereka semakin keras. Masing-masing
mereka membawa bermacam-macam pengeras suara. Yang diprotes sangat kesal.
Suara mereka yang protes menjadi sangat terdengar jelas. Tidur mereka diprotes menjadi terganggu.
Maka terjadilah pencurian atas semua bentuk pengeras suara milik
warga. Pencurian itu berlangsung begitu cepat. Dalam seminggu, semua pengeras
suara milik warga hilang dicuri oleh sosok-sosok misterius. Tapi ada satu toa
yang paling nyaring yang dimiliki oleh pemimpin protes mereka. Tapi toa satu-satunya
itu rusak secara misterius. Tak ada yang tahu bagaimana toa yang normal itu
menjadi tidak bersuara.
“Kejam. Keterlaluan. Pengeras suara kita satu-satunya kalian
matikan”, protes warga.
Mereka menggelar protes lagi. Tapi kali ini tanpa toa.
Mula-mula, mereka susah sekali protes tanpa pengeras suara. Tapi mereka tak
habis cara. Mereka latihan teriak. Hasilnya mengagumkan. Suara lantang mereka
bisa menggantikan fungsi toa. Suara mereka kini lebih nyaring daripada toa. Tak
ada lagi alasan para pemimpin negeri antah berantah tak mendengar protes mereka.
Para pemimpin yang diprotes tak kehabisan cara. Suatu hari,
warga antah berantah mendapati penyakit kolektif. Mereka semua tiba-tiba tidak
bisa bersuara. Mereka bisa berbicara satu sama lain tapi mereka tak bisa
bersuara dalam protes. Setiap kali mereka mencoba berteriak protes, teriakan mereka
tak menggema keluar. Hanya seperti terdengar di dalam dirinya sendiri.
Enam bulan kemudian, seorang tabib datang dan meneliti
penyakit aneh ini. Sang tabib berusaha menyembuhkan penyakit kolektif itu. Tak
susah rupanya bagi sang tabib. Hanya dalam seminggu, semua warga di sana bisa
bersuara lagi. Protes mereka bisa terdengar lagi.
Sambil tertawa, sang tabib mengatakan: “penyakitmu itu
hanyalah ulah usil seseorang. Ada sistem pengeras suara dalam tubuhmu yang
dimatikan. Itu sebabnya, kalian menjadi tidak bisa bersuara”.
Sang tabib akhirnya memberikan suatu obat yang katanya mujarab.
Obat untuk melindungi diri dari hilangnya suara mereka. Obat itu ternyata
mujarab. Bertahun-tahun kemudian, tak ada lagi penyakit aneh hilangnya suara
akibat protes.
Bagaimana dengan nasib pemimpin manusia malaikat itu?
Sang tabib rupanya juga seorang yang mampu melihat hal-hal yang tak bisa dilihat oleh mata. Dia bercerita.
“Sosok itu memang malaikat. Tapi negeri Antah-Berantah ini sudah dikutuk. Jadi
siapa pun yang masuk ke negeri ini, lalu berkuasa. Maka ia tak bisa kembali
menjadi malaikat atau manusia. Mereka akan menjadi iblis”.
Sang tabib itu akhirnya pergi menghilang. Suatu hari terdengar kabar, sang tabib telah masuk ke lingkar kekuasaan. Dan ia dibenarkan oleh ramalannya sendiri: siapa pun yang masuk ke lingkar kekuasaan di negeri Antah-Berantah ini, dia akan jadi iblis. Sang tabib kini telah pandai beretorika.