Penulis Olifia Hukunala
PEREMPUAN memiliki keunikan tersendiri dalam praksis
demokrasi. Konon perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum laki- laki.
Namun, keterlibatannya dalam mengakses ruang publik masih dilematis padahal
populasi penduduk indonesia didominasi perempuan.
Data Dukcapil Kemendagri per 30 Juni 2020 menyebut penduduk
Indonesia berjumlah 268.583.016 jiwa. Terdiri dari 135.821.768 orang laki-laki
dan 132.761.248 perempuan. Kenaikan jumlah penduduk tiap tahun juga didominasi perempuan
dengan rata- rata 0,88 persen dibandingkan dengan penduduk laki-laki 0,77
persen. Data ini menunjukan bahwa dari sisi kuantitas, sangat potensial bagi
perempuan untuk memenangkan kontestasi politik di panggung lokal maupun
nasional. Namun faktanya justru keterlibatan perempuan masih minim dalam
ruang-ruang publik.
Sebenarnya ada banyak upaya mendorong keseteraan perempuan
di bidang politik. Salah satunya dengan regulasi affirmative action. Elisabeth S Anderson (2002), dalam artikelnya Integration, Affirmative Action, and Strict
Scrutiny, menyebut bahwa affirmative
action ini bertujuan menghilangkan hambatan dalam sistem norma terhadap
kelompok sebagai akibat sejarah ketidakadilan, ketidaksetaraan dan sebagainya. Kebijakan
ini mengupayakan masyarakat yang inklusif sebagai prasyarat demokrasi,
integrasi dan pluralisme serta kesetaraan atas dasar identitas: ras, gender, etnisitas
dan orientasi seksual.
Dalam konteks keberpihakan negara terhadap partisipasi
perempuan dalam politik praktis, regulasi affirmative
action ini memberi peluang bagi perempuan dengan pemberian 30 persen kursi
di parlemen baik pusat maupun daerah. Kendala dalam implementasinya, regulasi ini
masih sebatas simbol, sifanya masih terbatas pada pemenuhan syarat prosedural,
dan belum menyentuh substansi keberpihakan negara bagi perempuan. Selain itu,
keterwakilan perempuan di ranah publik masih diperhadapkan dengan berbagai
tantangan baik di level nasional maupun daerah. Yakni pagar tinggi budaya patriarki
yang memungkinkan perempuan hanya sebatas komoditi politik praktis. Entahlah!
Patriarki sendiri merupakan sistem sosial yang menonjolkan
dominasi kaum laki-laki sebagai pihak satu- satunya yang memiliki hak politik,
berperan sebagai leader dan memiliki
hak istimewa dalam penguasaan property
right. Sebaliknya, perempuan
sebagai kelas nomor dua dalam strata
sosial kemasyarakatan.
Sistem sosial ini mengakibatkan beberapa hal. Pertama,
terbentuknya konstruksi berpikir kolektif yang tertanam dalam masyarakat bahwa
laki-laki lebih pantas memimpin. Kedua, kaum laki-laki mendominasi ruang
publik, dan dengan sendirinya menutup ruang ekspresi kaum perempuan yang
sebenarnya memiliki hak yang sama terhadap akses di ruang publik baik secara
politik maupun secara ekonomi dalam negara demokrasi. Dengan demikian,
perhelatan politik praktis didominasi oleh kaum laki-laki.
Komoditas Politik
Menurut logika ekonomi, “suatu barang bisa dinilai
bermanfaat jika memiliki nilai tukar”. Begitupun kontestasi politik, pasar
politik dengan dinamika yang cukup kompleks, menghadirkan wacana, isu, dan ide
sebagai strategi untuk merebut simpati massa. Pada pilpres 2019, ada pihak-pihak
yang memunculkan wacana “The Power of emak-emak” sebagai strategi
untuk mendapat simpati kaum hawa dengan menjanjikan berbagai program pemberdayaan
perempuan.
Isu perempuan memang memiliki daya tarik dan nilai tukar
hingga kerap dieksploitasi demi kepentingan politik melalui iming-iming
pemberdayaan perempuan dan memperjuangkan kepentingan, dan hak-hak perempuan. Namun
tak jarang isu-isu tersebut hanya sebatas pemanis (lips service).
Padahal bila merujuk pada data DP4 Kementerian Dalam
Negeri untuk pilkada 2020, jumlah pemilih perempuan mencapai 52.616.521 jiwa,
dan pemilih laki-laki berjumlah 52.778.939. Data ini menujukan bahwa secara
kuantitatif jumlah pemilih perempuan sangat potensial menang dalam pertarungan
politik.
Kendati demikian keterwakilan perempuan sebagai
pengambil kebijakan dalam even pemilukada masih minim. Pada pilkada 2020, hanya
ada 157 calon perempuan pada Pilkada 2020. Dengan rincian, 5 orang maju sebagai
calon pemilihan gubernur (Pilgub), 127 orang maju dalam pemilihan bupati
(Pilbup) dan 25 orang maju dalam pemilihan walikota (Pilwalkot). Sangat jauh
ketimbang calon laki-laki yakni sebanyak 1.329 orang. Dengan demikian, jumlah
kandidat perempuan di pilkada 2020 ini sebesar 10,6 persen. Naik kurang lebih
dua persen dari pilkada 2018.
Meskipun ada kenaikan, tapi itu belum membahagiakan. Harapan
besarnya adalah bahwa kehadiran perempuan di kancah politik tidak sekedar
representasi memenuhi tuntutan prosedural affirmative
action, tetapi agar representasi perempuan dapat mengubah wajah produk
kebijakan politik yang berpihak pada kepentingan kaum perempuan dengan
kebutuhan dan permasalahannya.
Visi-Misi
Pasangan Calon
Amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan
pembangunan nasional mengatur bahwa visi-misi kandidat yang terpilih akan
menjadi basis sekaligus rujukan penyusanan rencanan pembangunan jangka menengah
daerah dan alokasi sumber daya serta anggarannya. Visi-misi pasangan calon
kepala daerah merupakan instrumen strategis penentu bagi arah kebijakan rencana
pembangunan daerah selama lima tahun. Sebab itu, visi-misi kepala daerah bukan sekedar memenuhi
syarat konvensional pemilu tetapi diharapkan bisa menjawab persoalan
pembangunan di daerah.
Sejalan dengan ini, urgensitas isu perempuan dan kontribusinya
bagi pembangunan daerah penting untuk dikemas rapi di dalam visi-misi kepala
daerah dalam rangka menjawab tantangan pembangunan nasional dan global. Mengapa
demikian? Sebab kemajuan suatu negara atau daerah dapat diukur dari sejauhmana
orientasi kebijakan politik pembangunan dari skala nasional hingga daerah
bersifat inklusif, pro keadilan gender dan kaum minoritas.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2018, daerah
dengan tingkat indeks pembangunan manusia rendah dapat
berakibat bagi indeks pembangunan gender di wilayah tesebut baik level provinsi
maupun kabupaten/kota sebagaimana gambar berikut.
Contoh kasus pada provinsi Maluku dan Papua yang
menunjukan bahwa disparitas dan ketimpangan pembangunan manusia dan indeks
pembangunan gender masih rendah. Dan ini berdampak negatif bagi kualitas
pembangunan secara umum. Sebaliknya daerah provinsi maupun kabupaten/Kota
dengan tingkat pembangunan manusia yang baik berdampak bagi indeks pembangunan
gender dan pembangunan daerah secara umum pula. Maka penting untuk menentukan framework rencana kebijakan politik
pembangunan dengan menjadikan isu perempuan sebagai bagian dari salah satu
prioritas pembangunan di daerah dalam visi-misi kepala daerah.
Implikasinya visi-misi kepala daerah juga diharapkan
dapat menjadikan perempuan sebagai subjek pembangunaan politik di daerah dengan
melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang pro-kepentingan serta kebutuhan
perempuan. Urgensitas isu perempuan diakomodir di dalam visi misi kepala daerah
agar masuk dalam basis dan acuan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
daerah yang merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka
periode selama lima tahun juga menjadi bagian inheren dari penjabaran terhadap
visi-misi dan program kepala daerah dengan berpedoman pada rancangan daerah
serta memperhatikan RPJM nasional serta mudah dikontrol oleh publik.
Penulis adalah Aktivis Perempuan Tani HKTI dan Mahasiwa Pasca Ilmu Politik pada
Universitas Nasional Jakarta