Penulis: Deyna Mikaila Juba
Bila sejarah pernah mencatat peristiwa maha besar yakni perang
Mahabharata yang berhari-hari dan melibatkan para ksatria ‘pilih tanding’ dari
pihak Pandawa dan Kurawa, maka penulis sejarah hari ini harus siap-siap lagi
menulis rencana perang besar yang akan terjadi antara Puan Maharani dan 100 orang
pengacara pasukannya melawan Nikita Mirzani dengan 1000 pasukan jinnya.
Perang besar memang kadang disulut oleh soal remeh-temeh,
soal harga diri, atau kekuasaan. Itu juga yang menjadi penyulut rencana perang
100 pasukan Puan melawan 100 jin. Ingat, penulis sejarah mesti harus jauh-jauh
hari memberikan bocoran kepada kita, masyarakat jelata, agar bisa melindungi
diri.
Nikita Mirzani (biar tidak capek singkat saja: NM)
memulai genderangnya dengan menulis: “Kenapa Ibu Puan Maharani matiin
mikrofonnya? Kurang fair ketika orang sedang menyuarakan suaranya tapi tidak
bisa didengar. Negara ini di bangun atas dasar Pancasila. Masih ingat enggak
Pancasila dari 1 sampai ke-5. Jangan sampai aku datangkan Tante Lala ini ke DPR
RI”.
Pasukan 100 Pengacara PM
Rupanya pernyataan ini memicu amarah besar dari pasukan
Puan Maharani (singkat juga ya: PM). Mereka yang tergabung dalam Gema Puan
Maharani Nusantara (GPMN) memandang ini sindiran yang keras. Mereka tidak ingin
ratunya, sang PM, dibiarkan diserang. Situasi ini menegangkan sekali. Ibarat
ungkapan: senggol (dikit), bacok. Tapi pasukan ini memang luar biasa
kesetiaannya kepada sang PM.
Langkah yang diambil oleh GPMN tidak tanggung-tanggung.
Mereka kumpulkan 100 orang yang berasal dari pasukan pengacara. Mereka mendesak
NM agar meminta maaf kepada PM. Tak banyak waktu yang diberikan kepada NM. Dia
harus meminta maaf dalam waktu 1x24 jam.
“Kami lagi mempersiapkan (tuntutan untuk Nikita Mirzani).
Jadi teman-teman GPMN seluruh Indonesia ini lagi membuat rumusan hukumnya.
Tinggal tunggu tanggal mainnya”. Tunggu tanggal mainnya. Ingat, kata-kata ini
sering digunakan oleh pendekar-pendekar sakti yang ada di cerita-cerita. Jika
mereka ingin menuntut balas, dan yakin hari pembalasan berpihak kepadanya, maka
kata-kata ini: “tunggu tanggal mainnya.. tunggu, tunggu”. Bayangkan wahai
jelata, apa yang akan terjadi di hari itu?
Bayangkan kau hanya punya waktu dalam 1x24 jam (satu
harmal kata Pram, satu hari satu malam) dalam keadaan tertekan, harus minta
maaf, dan jika tidak… jika tidak… jelas konsekuensinya. Bayangkan. Kalian yang
tak punya perlengkapan perang, sebaiknya jurus siaga cepat ini: buru-buru minta
maaf dan lekas kelar persoalan.
Dan untuk menambah dramatis situasi ini, terutama bagi
masyarakat jelata yang tidak tahu pengacara, ini saya tegaskan kepada kalian:
pengacara bukan kalangan sembarangan. Mereka bersenjatakan pasal-pasal. Jangan
coba-coba kalian melawan pengacara, apalagi 100. Satu saja, plis jangan.
Senjata pasal-pasal yang mereka miliki bisa membuat kalian tak dapat berkutik.
Kalian bisa tertunduk lesu tanpa perlawanan di balik jeruji. Habis kalian.
NM Siap Kerahkan Pasukan 1000 Jin
Tapi NM ternyata bukan kaleng-kaleng. Dia tak mau meminta
maaf begitu saja. Jadi waktu 1x24 jam bukannya digunakan untuk memikirkan cara minta
maaf yang elegan tapi justru menambah situasi tegang dengan perlawanan. Bahkan
NM seolah terus memelototi perputaran jam selama 24 jam. Mungkin dia tidak
tertidur untuk menikmati detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam
hingga sampai pada batas waktu yang dijanjikan sebagai ‘tanggal main’,
maksudnya tanggal perang. Mungkin juga dia tertidur dan memastikan ‘alarm’
disetting tepat pada waktu yang ditentukan sebagai ‘tanggal main’ (maksudnya
sekali lagi, tanggal perang).
Tepat pada saat waktu sudah melewati 1x24 jam, NM tak
lupa memulai lagi perlawanan. Dengan penuh semangat perang, ia bilang: “Are You
Ready? Terlalu banyak bacot. Udah 1x24 jam nih”. Lihat subtitle, are you ready
artinya kalian sudah siap. Terlalu banyak bacot artinya terlalu banyak omong,
banyak bicara. Ini udah 1x24 jam, artinya ayo siap perang.
Dan dengan tegas, dia tidak mau minta maaf. Dia menantang
siapa yang berani-beraninya meminta NM untuk minta maaf. Siapa? Ayo siapa? Ayo siapa?
(Tolong gunakan suara yang marah ya, jangan lembek membaca: ayo siapa? Ayo siapa?
Ini bukan pertanyaan biasa. Ini tantangan perang terbuka). Ini lengkapnya dari
NM:
“Siapa yang suruh suruh gue minta maaf?!!!? Siapa? Ha?!
Emang bacot gue ngomong apa. Berarti udah tau dong ya kekuatan gue itu kayak
gimana kalau gue harus terus terang sama 100 orang. Jangankan 100 orang, lebih
dari itu gue berani. Sini kalau berani lawan gue satu-satu”.
Jelas dia tak gentar melawan 100 pengacara. Dan justru
ini semakin membuat NM percaya diri bahwa dirinya, yang hanya seorang, justru
harus dilawan 100 orang. Kenapa tidak lawan satu-satu? Kenapa 100 pasukan lawan
satu NM? Jelas, pasukan PM membaca dengan baik bahwa NM memiliki kesaktian yang
luar biasa. Ada kekuatan besar yang berdiri di belakang NM. Siapa?
Usut punya usut, rupanya NM memiliki 1000 pasukan jin
yang loyal kepadanya. Dia bisa gerakkan jin-jin itu sekali sapu pasukan lawan.
100 pengacara lawan 1000 jin. Bayangkan perang seperti apa yang akan terjadi.
Pengacara dengan senjata pasal-pasalnya, dan 1000 jin dengan kekuatan tak kasat
mata. Ngeri. Ngeri sekali. Mendengar ini, hatiku ‘dag-dig-dug’. Seperti ingin
copot. Ini perang luar biasa. Patut ditunggu.
Akankah Perang Terjadi?
Hingga detik ini, para penulis sejarah yang akan menjadi
saksi rencana perang besar masih belum memberikan kabar akankah perang besar
ini akan terjadi. Kabar-kabar bermunculan bahwa rupanya pasukan PM mengklarifikasi
bahwa 100 pasukan pengacara itu hanya sebagai ‘legal opinion’. Mereka tidak
akan diturunkan sebagai pelapor.
Tapi bumbu perang sindir masih terus berlanjut. Pasukan
PM menyebut NM hanya cari simpati publik. Perang nampaknya belum akan terjadi.
Sebab pasukan PM justru menyuruh agar NM berkarya dulu dan berprestasi dulu.
Bila penulis sejarah tidak bisa melukiskan imajinasi
tentang perang, biarkan rencana perang besar ini untuk sementara waktu menjadi
konsumsi para penikmat fiksi. Biarkan rencana perang 100 pasukan pengacara
melawan 1000 pasukan jin itu terbayang dramatiknya dalam imajinasi kita, dan
semua rakyat jelata.
Ingat wahai jelata. Tetap waspada. Perang terjadi bukan
hanya adanya niat, tapi terjadi karena adanya kesempatan.