Penulis: Gazali
Pilkada 2020 yang akan digelar pada 9 Desember 2020 banyak menuai
sorotan kritik. Soal utama dari kritik tersebut berpijak pada masalah pandemi
yang saat ini belum menunjukkan kondisi melandai. Sehingga gelaran tersebut
justru diyakini berpotensi menjadi
klaster baru bagi penyebaran Covid-19.
Potensi
terbentuknya klaster baru Covid-19 itu tidak hanya diyakini terjadi pada hari pelaksanaan
Pilkada 2020 yang bakal menimbulkan kerumunan di lokasi TPS. Tetapi juga masa
kampanye yang sudah dimulai saat ini. Kritik itu menyebut bahwa kampanye yang berlangsung
selama 71 hari, di tempat terbuka dan mengundang
massa justru sangat potensial menjadi titik
penyebaran Covid-19. Terlebih banyak calon kepala daerah yang tak patuh
pada protokol kesehatan.
Pilkada
2020 ini bakal dilaksanakan di 270 wilayah,
meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Dengan melihat itu, jumlah yang
tidak sedikit, bukan? Sebab
itu, banyak tokoh dan ormas menolak
pilkada digelar di masa pandemi.
Salah
satu ormas Islam yang bersuara mendesak pemerintah agar tunda Pilkada 2020
adalah NU dan Muhammadiyah. Keduanya bersepakat mestinya pemerintah untuk saat
ini lebih memfokuskan kebijakannya pada penanganan krisis kesehatan yang
diakibatkan oleh Pandemi Covid-19. Kemaslahatan untuk kemanusiaan dan kesehatan
merupakan prioritas yang mesti menjadi fokus pemerintah saat ini.
Usulan
atau pertimbangan kedua ormas Islam ini mestinya ditanggapi serius oleh
pemerintah. Soal mengedepankan kemanusiaan adalah amanah dari UUD 1945. Abuya
Said Agil Siradj bahkan dengan tegas mengatakan bahwa: keselamatan jiwa tidak
dapat dinegosiasikan, terlebih oleh kegiatan politik (Republika, 23/9).
Pernyataan ini saya garisbawahi dalam dua hal. Pertama, pernyataan
ini menunjukkan sebuah ‘penekanan’ penting yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah. Bahkan bila pemerintah peka, pernyataan ini
mestinya dipandang sebagai suatu desakan yang wajib dilaksanakan. Tak ada
negoisasi lagi terkait prioritas penanganan kesehatan.
Kedua,
pernyataan ini juga tidak sekedar mewakili pandangan NU, melainkan merupakan
kegelisahan publik yang hingga saat ini tak menemukan suatu gambaran yang baik
dalam penanganan Covid-19 dari pemerintah dengan melihat fakta-fakta suspek,
kematian, dan juga masih minimnya 3T (testing, tracking, treatment).
Sayangnya,
bila melihat kegigihan pemerintah untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 ini,
saya sendiri menjadi sangat pesimis bahwa Pilkada 2020 ini bakal ditunda.
Terlebih pemerintah melancarkan berbagai pernyataan yang bisa dinilai sebagai
alibi, pembelaan, dan serangkaian pernyataan tak masuk akal dalam mendukung
Pilkada 2020.
Padahal
mestinya pemerintah cermat membaca desakan NU dan Muhammadiyah. Pertama, usulan kedua organisasi ini sangat
manusiawi, dan menunjukkan suatu perasaan ‘peduli’ yang sangat besar, serta paling masuk akal
untuk situasi saat ini. Kedua, NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi
besar yang memiliki keanggotaan yang luas di seluruh Indonesia. Sehingga sangat
mungkin bila pemerintah tetap melaksanakan Pilkada, maka potensi golput sangat
besar.
Kemana
IDI?
Ada satu organisasi yang sangat
disayangkan di tengah situasi saat
ini justru tak banyak muncul untuk bersuara, yakni IDI. Padahal dalam polemik
antara Pilkada 2020 dilanjutkan atau ditunda, ada persoalan besar yakni
kesehatan yang menjadi pertaruhan besar. IDI sebagai organisasi orang-orang
yang punya konsen atas persoalan kesehatan mestinya ikut memberikan pandangan
yang objektif sesuai dengan pengetahuan mereka.
Mereka
tentu punya pandangan yang lebih kuat. Pandangan mereka didasarkan oleh
keilmuan dan fakta-fakta objektif yang sejalan dengan konsentrasi keilmuannya.
Saya meyakini bila mereka ikut ‘speak up’ dalam soal ini dan turut memberikan
desakan kepada pemerintah sebagaimana NU dan Muhammadiyah, bisa saja pemerintah
lebih berpikir lagi untuk mempertimbangkan mereka.
Sayangnya
harapan itu tinggal harapan. Hingga saat ini, saya tak mendengar bagaimana
sikap IDI terkait masalah ini.