Penulis: Fauzan Nur Ilahi
Dalam suratku yang kedua ini, kau akan
menemukan beberapa cerita, mungkin sesekali komentar dan kritikku terhadap
beberap persoalan. Jika di antara beberapa pendapatku kau tak setuju atau
bahkan ingin memberikan catatan di sana-sini, kau boleh mengatakannya nanti,
IR. Oleh karena itu, kau baca sajalah dulu isi suratku. Setidaknya kau akan
tahu bagaimana sikap dan pendirianku.
Ceritaku kali ini menyangkut literasi.
Tepatnya budaya literasi di kampungku. Ada banyak hal yang perlu kita
perhatikan, IR. Terutama dengan kondisi minat literasi yang boleh dibilang tak
begitu baik iklimnya. Aku merasa, persoalan semacam ini bukan hanya terjadi di
daerahku. Mayoritas daerah di Indonesia sepertinya mengalami situasi yang sama.
Hal ini bisa kita lihat dari salah satu hasil penelitian dari Program for International Student Assessment
(PISA) dan UNESCO yang mengungkap bahwa di antara 61 Negara, Indonesia
menempati posisi 60 dalam konteks literasi, dan tentu kita tak bangga dengan
pencapaian ini.
Kau mungkin membaca tentang banyak
penelitian yang memperlihatkan bagaimana pelajar di Amerika Serikat mampu
menghatamkan sekitar 10 sampai 12 buku dalam setahun. Itupun mereka masih kalah
dengan Finlandia. Apa maksudnya ini, IR? Bagaimana kita menyikapi data-data
tadi? Di sini kita jadi mengerti, bahwa budaya literasi Republik ini masih
sangat perlu diperbaiki. Dan segala bentuk perbaikan, tidak ujug-ujug datang
dari kayangan. Ia harus diupayakan, diperjuangkan.
Aku yakin kau juga merasa bahwa kita adalah
generasi yang dibesarkan dalam budaya literasi yang tak bisa dibilang baik.
Persis seperti yang aku gambarkan di atas. Dalam umur kita yang semakin tumbuh
dewasa, kita banyak berkenalan dengan buku-buku, aneka pemikiran dan ideologi.
Kita mulai menjelajahi dunia ide dan gagasan. Kita semakin insyaf bahwa suatu
peradaban akan maju beriringan dengan majunya ilmu pengetahuan. Kita ditampar
oleh kenyataan bahwa selama ini kita lupa akan suatu hal yang luar biasa: yaitu
pemanfaatan nalar serta kegiatan literatif lainnya yang sangat membantu kita
menjalani kehidupan yang aneh ini. Oleh karena itu IR, aku senang saat kau
mendorongku melaksanakan kegiatan yang kuadakan minggu-minggu ini. Ya, suatu
kegiatan yang berorientasi meningkatkan budaya literasi itu.
Seperti yang pernah kau dengar, aku bersama
bantuan beberapa kawan, melaksanakan dua kegiatan yang berorientasi sama. Hanya
saja dilakukan di dua tempat yang berbeda. Dua tempat itu sama-sama pesantren. Jaraknya tak jauh dari
rumahku. Tentu senang sekali rasanya bisa melaksanakan suatu kegiatan dengan
maksud mengembangkan budaya literasi di pesantren. Mengapa senang? Alasanku
adalah karena dua hal: Pertama,
menurutku pesantren adalah tempat yang cocok untuk dijadikan lahan sebagai
pembentukan tradisi literatif. Karena selain para pelajar berada dalam satu
tempat yang sama, mereka juga memiliki fasilitas serta kesempatan yang melimpah
untuk membaca buku, menuliskan gagasan, serta mendiskusikan beragam hal (dengan
catatan sistem yang ada mendukung terciptanya situasi yang demikian).
Kedua, stigma bahwa pesantren adalah tempat yang minim literasi dan hanya
berkutat pada pemikiran Islam klasik, tampaknya juga harus kita benahi.
Terlepas stigma ini benar atau tidak. Karena menurutku, di mana pun tempatnya,
selama sebuah tempat mendasari dirinya sebagai wadah bagi pendidikan, maka
menjadi mutlak hukumnya untuk menanamkan budaya literasi bagi setiap mereka
yang berada dalam wadah itu. Tak terkecuali di pesantren. Para santri harus
memiliki hak yang sama untuk mempelajari serta menjadi apa yang mereka
inginkan. Berpretensi mencetak segenap santri untuk semuanya menjadi kiai,
tentu adalah sebuah keinginan yang tingkat utopisnya mencapai taraf over. Akan lebih bijak jika kita
berupaya menjadikan mereka ‘alim dalam
bidang mereka masing-masing.
Kadang aku merasa iri, IR. Aku ingat
dahulu, di masa-masa awal kuliah, aku membaca sebuah buku karangan Nurcholish
Madjid atau yang biasa disapa Cak Nur. Mati-matian aku membaca buku yang cukup
tebal itu. Belum lagi, bagiku yang masih sangat minim bacaan dan belum terbiasa
membaca, persoalan yang dibahas Cak Nur dalam buku itu terbilang “berat”. Judul
bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban”.
Suatu antologi makalah Cak Nur di Paramadina yang kemudian dibukukan. Tetapi
walaupun hasil pembacaanku masih jauh dari kata paham, tingkat PD-ku sudah
meledak-ledak kala itu. Aku merasa menjadi manusia paling pintar karena
menganggap jarang-jarang ada mahasiswa tingkat awal membaca buku itu. Sebelum
akhirnya gendang telingaku sakit saat mendengar bahwa salah satu kawanku
ternyata sudah menghatamkan buku itu di pesantren. Persis saat dia duduk di
bangku madrasah ‘aliyah dulu!
Kepongahanku retak bahkan hancur seketika.
Itulah alasan mengapa aku iri, IR. Aku
merasa ketertinggalanku berlipat-lipat. Sudah tidak punya kemampuan teknis
apapun, soal literasi juga jauh tertinggal. Pikiran yang muncul kala itu hanya
satu: untuk mengejar ketertinggalan ini tidak bisa dilakukan hanya dengan cara
yang biasa. Tidak bisa aku hanya berjalan untuk mengejar mereka yang di depan.
Maka tidak boleh tidak aku harus berlari. Sejak saat itulah, IR, aku
menghibahkan waktu, materi, dan badanku hanya untuk kegiatan membaca, menulis,
dan berdiskusi.
Oleh karena itu, tentu kita tidak mau
kejadian semacam ini masih terus berlanjut ke generasi selanjutnya. Sudah
semestinya mereka tumbuh dalam budaya literasi yang semakin baik. Sudah saatnya
mereka menjadi penggerak agar Negara ini tak melulu menduduki posisi 60. Sudah
saatnya mereka merasakan nikmatnya ilmu pengetahuan demi kehidupan yang lebih
baik. Dan menurutku IR, modal utamanya adalah ini: literasi! (Bung)