Oleh: Fauzan Nur Ilahi
(Surat ini ditulis untuk seseorang dengan inisial IR. Untuk saat ini, dan mungkin di saat yang lain, tak perlu lah kita tahu siapa yang dimaksud IR).
Bagian 1
Sudah sekian lama aku ingin menulis surat ini,
IR. Namun walaupun jemariku sebetulnya tak tahan ingin segera menceritakan
banyak hal kepadamu melalui tulisan, beberapa kendala memaksaku untuk menunda
dan melaksanakan aktifitas lain yang kuanggap lebih mendesak. Syukurlah, hari
ini aku memiliki waktu luang yang cukup untuk sekedar berdua dengan notebook
kesayanganku, dan menulis surat ini untukmu.
IR, akhir-akhir ini ada beberapa peristiwa penting
(setidaknya menurutku) yang ingin sekali kubagi denganmu. Entah kau berminat membacanya atau tidak.
Tetapi aku berharap, sekalipun kau malas membacanya dengan teliti, setidaknya
bacalah ala kadarnya beberapa penuturanku sebentar lagi. Siapa tahu akan berguna
bagimu pada suatu nanti. Baik, aku mulai saja ceritaku...
***
IR, kemarin aku baru menyelesaikan sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis favoritku. Kau pasti tahu itu. Judulnya “Hoakiau di Indonesia” (selanjutnya Hoakiau).
Tentu kau ingat buku itu, kan?
Betul, IR. Buku itu adalah hadiahmu yang kau berikan pada hari
ulang tahunku. Duh, betapa senangnya aku kala seorang agen dari salah satu
perusahaan jasa pengiriman barang menelponku dan mengabari bahwa ada sebuah
paket yang dikirim atas namamu. Tak dinyana isinya adalah dua buah buku.
Keduanya membahas soal Pram. “Sungguh paket istimewa”, pikirku waktu itu. Maka
tak heran, IR, apabila aku menyelesaikan buku itu dalam waktu yang terbilang tak
terlalu lama. Sekitar satu minggu lebih beberapa hari. Karena memang aku senang
dengan karya-karya Pram. Cara dia menulis membuatku tak jemu untuk membaca.
Buku ini juga memberikan kesan yang mendalam
bagiku. Surat ini pun aku terinspirasi dari buku tersebut. Saat membacanya, aku
dibuat kagum oleh metode Pram dalam mengumpulkan data serta menelisik sebuah
fakta atau mungkin yang kadung dianggap “fakta”. Selain kemampuannya dalam
mengarang, kecakapan Pram dalam menelaah persoalan patut kita pelajari, IR. Dia
tidak hanya pandai dalam menyulam tulisan, tetapi dia juga sejarawan ulung!
Aku memang beberapa sudah membaca karya-karya
Pram yang lain, tetapi hanya yang berbentuk novel. Aku belum pernah membaca
tulisan Pram yang “seserius” buku yang kau beri. Selain buku ini, satu-satunya
tulisan Pram yang tak bergenre novel dan sudah kubaca adalah “Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu” (walaupun tak sampai hatam). Tetapi apabila kita hendak membahas
tentang keilmiahan metode, tentu saja Hoakiau akan aku tunjuk lebih utama. Hal
ini patut dimaklumi karena buku yang kusebut lebih awal adalah sebuah catatan Pram
saat berada di penjara, sedangkan buku yang kusebut di akhir tidak demikan. Hoakiau
yang Pram tulis dengan model surat itu (seperti yang kutulis saat ini) tidak
lahir dalam penjara. Saat itu Pram mampu melakukan aneka penelitian dan
penelusuran. Sehingga data yang dimuat pun menjadi lebih lengkap.
Sebelum membacanya, aku bahkan tak menyangka
bahwa Pram akan sejauh itu dalam menelusuri persoalan Hoakiau di Indonesia –
bahkan sesekali dia juga menyinggung situasi etnis Tionghoa dalam cakup
internasional. Kutipan dari berbagai koran, buku, serta data-data yang
dikeluarkan oleh banyak sumber terpercaya, membuat kekagumanku terhadap Pram
bertambah. Terlepas ideologi serta sikap politik Pram pada waktu itu, kita
sebagai bangsa Indonesia harus bangga punya penulis sekaliber Pramoedya Ananta
Toer.
Inilah satu ceritaku, IR.
Ada hal lain yang
masih aku ingin bicarakan denganmu. Tetapi agaknya tak mungkin aku tuang semua
dalam surat kali ini. Selain aku khawatir ceritaku tumpang tindih, aku juga
tidak mau kau jadi bosan dengan isi surat-suratku. Jadi, biarlah nanti suratku
yang selanjutnya menyusul dan menceritakanmu tentang hal-hal yang belum
kusampaikan itu.