Penulis: Hafidz Kudsi
TEPAT setahun usia pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin sejak dilantik 20 Oktober 2019 sebagai presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, depan Istana negara merdeka dipenuhi oleh lautan manusia yang menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Hal yang sama juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Banyak kebijakan Jokowi yang disorot selama setahun di
periode keduanya sebagai presiden. Namun yang paling menyedot perhatian publik
bahkan berujung pada aksi jalanan adalah pengesahan UU Cipta Kerja atau dikenal
juga UU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Selain bidang kesehatan dan ekonomi yang
tak luput dari kritikan.
Soal UU Cipta Kerja, setelah ketok palu pengesahan Rancangan
Undang-undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat senin (5/10/2020) sontak
mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Gemuruh suara lantang
penolakan oleh mahasiswa, buruh, LSM dan lainnya menggema di seluruh penjuru
nusantara. Mosi tidak percaya seketika menyesaki ruang jagat maya.
Tak terhindarkan, opini publik terbelah dua. Pro dan kontra
saling kekeuh dengan argumentasi masing-masing. Kelompok penolak menganggap RUU
ini bias kepentingan dan cacat prosedur. Sengaja memangkas hak para pekerja dan
memprioritaskan kepentingan para pengusaha.
Sebaliknya, tak sedikit juga yang mendukung sapu jagat yang
dianggap sebagai solusi untuk mengundang investor sehingga membuka lapangan
kerja seluas-luasnya. Dan, pemerintah ingin memastikan bahwa undang-undang yang
baru disahkan itu merupakan jalan keluar dari penghambat masuknya investasi dan
keribetan regulasi yang selama ini menjadi peluang terjadinya korupsi.
Tak ada yang menampik, aksi unjuk rasa merupakan kegiatan
konstitusional. Bukan ilegal karena tak butuh izin dari siapapun. Ada jaminan
yang jelas dalam pasal 28 UUD 1945, pasal 9 deklarasi hak asasi manusia dan UU
9/1998.
Belakangan aksi penolakan UU Cipta berujung rusuh. Perusakan
fasilitas umum pun menjadi pemandangan yang tak bisa dielakkan. Mobilisasi
massa yang begitu banyak memang riskan dan gampang tersusupi. Ada penunggang
tidak bertanggung jawab yang mencoba membuat kesan negatif terhadap aksi
tersebut.
Memang banyak yang menyayangkan. Muhammadiyah dan NU sebagai
Ormas besar di Indonesia ikut bersuara. Terlepas dari pendapat dua Ormas itu
yang seirama menolak UU Cipta Kerja ini, namun kerusuhan dan anarkisme
merupakan tindakan yang tak bisa dibenarkan. Ada tuntutan mengusut tuntas dan
membongkar siapa dalangnya.
Seperti mafhum, protes jalanan bukanlah pilihan
satu-satunya. Menolak undang-undang yang disahkan oleh DPR bisa juga dilakukan
dengan mengajukan uji formil dan materi ke Mahkamah Konstitusi. Jalan tersebut
juga legal dan ada prosedurnya.
Melihat kenyataan di lapangan, tanpa menafikan peran kontrol “civil society” yang terus bergelora, kayaknya lebih elegan seandainya ditempuh melalui judicial review ke MK sehingga bisa diuji formil dan materiilnya yang bermasalah dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sekali lagi, ini soal pilihan yang semuanya bisa dilakukan di negara demokrasi ini. Namun, memastikan pilihan yang lebih kecil mudaratnya sungguh merupakan kebijaksanaan. Mari kita sama-sama JR ke MK.