Penulis: Ben Yowes
Ini tidak terjadi di cerita pendek “Corat-coret di Dinding Toilet”-nya Eka Kurniawan yang bercerita tentang seorang bocah umur 20 tahun berpakaian punk yang terkagum-kagum dengan dinding toilet dan sehabis buang b*r*k terpikat untuk mencorat-coret dinding itu dengan protes kepada negara, yang lalu diikuti dengan coret-coretan yang lain.
Tapi memang saya akui, saat mendapati kenyataan ini, saya langsung terbayang kumpulan cerpen Eka Kurniawan yang anu itu,
yang beberapa bulan lalu sempat bikin geger publik Indonesia gara-gara polisi –
yang dengan serius dan jenius – menjadikannya sebagai barang
bukti para pelaku vandalisme bersama dengan beberapa buku Tan Malaka, dan buku
lainnya.
Karena saya bukan bocah berumur 20 tahun dalam cerpen Eka itu, maka saya mendapati toilet sudah berlumuran coret-coretan. Saya akan susun cerita ini secara kronologis hingga sampai pada perjumpaan dengan coretan-coretan protes di dinding toilet itu. Begini. Pada siang hari, di awal Nopember 2020, saya datang dari kota X menuju kota Y (lokasi berangkat dan tujuan sengaja disamarkan). Primajasa yang saya tumpangi berhenti di Pool Primajasa Cililitan.
Turun di sana tentu saja sebuah keterpaksaan. Penyebabnya arus balik yang padat di akhir pekan – ditambah liburan yang panjang – membuat Primajasa yang biasa saya tumpangi penuh. Belum lagi ditambah masa pandemi dengan kewajiban protokol kesehatan di dalam bis. Dua kursi satu orang. Berjarak. Akibatnya, para kernet bis memberi isyarat dengan tangannya setiap kali saya berusaha menyetopnya. Sebab sudah tak sabar menunggu, akhirnya saya putuskan naik bis ke arah Cililitan.
Peristiwa memasuki toilet umum di Cililitan dimulai
dengan desakan untuk buang air besar kecil yang dramanya sudah dimulai
di perjalanan. Untungnya, bono (nama samaran) mau bersabar dan tidak menumpahkan
hajatnya di celana.
Begitu bis berhenti di Pool, sebentar melipir neduh,
bertanya lokasi toilet umum, dan …. kakiku segera membawaku meluncur ke toilet
umum menerobos hujan yang mengguyur Cililitan. Meski kebelet, saya selalu ingat
hal penting untuk masuk toilet umum: memastikan ada uang receh dua
ribuan. Ada dua lembar dua ribuan di dompet. Tak ada lagi. Saya harap-harap
cemas. Di masa Pandemi, apakah harga toilet umum untuk sekali buang air kecil/besar
naik? Ternyata… (nanti kuceritakan di akhir).
Begitu masuk ke toilet, pertama kali yang kupikirkan, tentu buka celana – dimulai dari kancing seleretan (resleting atau ritsleting? Nanti tanya om Ivan Lanin soal kata yang tepat menurut KBBI). Setelah itu, barulah si bono (nama samaran yang tadi) bisa bernapas lega. Hajat kecil terpenuhi. Dan sebagai orang yang mencintai kebersihan, saya bersihkan bono. Lalu kusimpan lagi di balik celana yang ditutup dengan kancing seleretan.
Setelah itu, mata saya tertuju ke beberapa coretan di dinding toilet agak lama. Apakah saya mengalami kekaguman seperti bocah 20 tahun di dalam karya Eka? TIdak. Saya tak tahan berlama-lama di dalam toilet umum. Baunya (baca saja: wanginya) begitu tajam menusuk hidung. Maklum banyak bono yang muntah di tempat ini. Tapi di luar toilet, saya tak langsung ke penjaga toilet. Saya malah balik masuk lagi. Kukeluarkan ponsel pintar (smartphone, apapun tipenya). Ku foto coretan itu. Hasilnya seperti di gambar di atas. Ada gambar bono (saya tutup dengan gambar tengkorak), lalu tulisan-tulisan protes --- sudah kutulis di awal, tidak usah saya ulangi di sini kalimat protes itu.
Sebagai orang yang sempat bercita-cita jadi intel (entah itu dulu, dulu sekali), saya punya analisis begini: sosok yang menulis protes di toilet ini kemungkinan besar seorang demonstran yang sedang kebelet. Ini hipotesis umum. Tapi ada hipotesis lain: kemungkinannya, si demonstran ini tidak kebelet. Tapi ia sengaja masuk toilet umum untuk menuliskan protes belaka. Kita tau, siapapun punya kepentingan kepada toilet umum. Mulai dari masyarakat dari kelas paling bawah hingga paling atas, baik pejabat kampung hingga presiden pasti membutuhkan toilet umum (toilet umum untuk presiden ya mungkin berbeda dari kita).
Nah --- saya lanjutkan ya --- sang demonstran ini,
singkatnya, sadar betapa toilet umum adalah medium strategis. Sebab banyak
orang keluar masuk untuk sekedar buang hajat. Waktu buang hajat bisa cepat,
bisa juga lama. Tergantung jenis hajatnya, kondisi kesehatan si pembuang hajat,
dan tingkat kepadatan hajatnya. Perlu ditambahkan lagi, tergantung juga cara dan
mood si pembuang hajat. Ada yang mood banget kalo buang hajat sambil merokok,
nyanyi-nyanyi, baca puisi, baca buku-buku tebal seperti Omnibus Law buku
Karl Marx, atau sambilan lainnya. Juga ada yang jongkok, ada yang duduk. Ada
yang jongkok di kloset dengan tipe duduk. Ada yang duduk di atas tipe kloset
jongkok. (Sang demonstran ini detail sekali).
Hipotes kedua ini bisa diperkuat dengan hipotes lain lagi: jangan-jangan sang demonstran memang pernah baca “Corat-coret di Toilet”-nya Eka Kurniawan. Dari sana, ia mengambil inspirasi bahwa protes di dinding toilet akan dibaca oleh banyak orang. Mereka – warga toilet umum – sambil mengejan bisa menikmati coretan protes itu.
Kebenaran hipotesis-hipotesis itu tentu saja perlu diuji.
Tapi ini menunjukkan bahwa gairah untuk protes sudah terjadi di mana-mana. Protes
penolakan atas Omnibus Law tidak hanya terjadi di depan gedung-gedung terhormat
seperti gedung DPR (tempat ngopi para wakil rakyat), istana negara (tempat
presiden(nya?) rakyat), tapi juga di gedung terhormat yang lain, yakni toilet
umum (tempat rakyat yang kebelet buang hajat besar/kecil). Protes-protes
melalui toilet umum ini sangat gawat. Polisi harus mulai menjaga ketat
toilet-toilet umum. Jangan sampai kesadaran kritis dan protes terbentuk dari
toilet umum.
Saya saja yang masuk ke toilet umum semula didesak oleh kesadaran untuk buang hajat, keluar dari bukan hanya lega tapi mulai terbawa imajinasi untuk kritis dan protes. Bahkan saya merasa tak rugi untuk membayar uang sebesar --- seperti saya janjikan tadi --- dua ribu untuk secuil muntahan kencing dari si bono di toilet umum. Pokoknya, alerta! Alerta!