Dominasi Pemilih Sosiologis di Pilkada Halut 2020

Penulis : Fridol Soroway

Pilkada Halut kali ini tidak jauh beda dengan sebelumnya ditilik dari perilaku pemilihnya. Faktor agama dan suku masih jadi salah satu penentu keterpilihan kandidat bupati. Konsekuensinya, tokoh agama/adat jadi primadona untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi penting untuk masa depan masyarakat di daerah tertentu. Sebab sejatinya masyarakat tidak hanya memilih kandidat atau individunya. Melainkan program kerja yang ditawarkan atau kebijakan yang dianggap dapat berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Perhelatan tersebut seyogyanya menjadi ajang adu program dan gagasan. Akan tetapi karena banyaknya irisan pemilih, terkadang kandidat yang terpilih tidak lahir karena programnya yang mapan.

Pilkada Halmahera Utara (Halut) sudah tiga kali melaksanakan sejak 2005. Pilkada Halut 2020 ini akan menjadi momentum pilkada yang keempat. Sekedar informasi awal bahwa Pilkada Halut 2005, 2010 dan 2015, Bupati terpilih yakni Ir. Hein Namotemo. Dan pada 2015-2020 Halut dipimpin oleh Ir. Frans Manery-Muhlis (FM). Keterpilihan dari kedua bupati ini menjadi menarik sebagai bahan acuan dan analisa untuk pilkada selanjutnya.

Setidaknya dapat mengaca pada pilkada terakhir. Hasil Pilkada 2015 bukan lagi menjadi rahasia umum lagi bahwa keterpilihan Bupati FM dipengaruhi oleh aspek sosiologis. Sebut saja isu-isu agama dan suku sangat santer dibicarakan di ruang publik. Sehingga secara sederhana kemenangan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh besarnya para pemilih sosiologis. Perilaku pemilih sosiologi ini preferensi utamanya yakni dalam hal kesamaan.  Yakni terkait dengan kesamaan agama, suku, ras, pendidikan dan lainnya.

Pemilih sosiologis tidak berpatokan pada program kerja yang ditawarkan kandidat. Atau juga tidak karena faktor kedekatan dengan partai tertentu. Ini perlu untuk diperjelas karena terkadang memang individu menjatuhkan pilihannnya karena banyak faktor. Mazhab Columbia ini memberikan penekanan sangat serius bahwa faktor-faktor sosiologis memiliki andil besar dalam membentuk perilaku memilih seseorang atau pun kelompok.

Setidaknya ada beberapa tipologi perilaku pemilih sebagai bahan acuan untuk melihat kecenderungan dalam memberikan suaranya pada Pilkada atau Pemilu. Sebut saja pemilih sosiologis yang sudah dijelaskan di awal, pemilih psikologi, rasional dan partyID. Perilaku psikologi dapat dilihat dari dua hal, pertama apakah seseorang merasa penting untuk dapat terlibat dalam isu-isu politik. Kedua, yakni preferensi (suka atau tidak suka) terhadap partai politik atau suatu kelompok tertentu.

Perilaku pemilih rasional secara sederhana dapat dilihat dari sikap pemilih terhadap program yang ditawarkan seorang calon bupati misalnya. Jika program tersebut dianggap bagus dan dapat memberikan efek langsung bagi perbaikan hidupnya, maka ia akan menjatuhkan pilihannya kepada kandidat tersebut. Dan begitu juga sebaliknya, jika program-programnya dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah atau tidak menarik, maka individu tersebut cenderung tidak memilih. 

Berbeda dengan partyID. Perilaku pemilih yang dianggap memiliki partyID, sudah tidak lagi melihat beberapa kriteria yang disebutkan di atas. Pemilih ini dipengaruhi oleh kedekatan dengan partai yang mengusung pasangan calon. Kedekatan dengan partai tertentu menjadi faktor utama seseorang untuk menjatuhkan pilihannya. Beberapa tipelogi yang dijelaskan di atas tersebut menjadi pegangan kita untuk mengetahui kecenderungan atau irisan pemilh yang paling banyak.

Pada Pilkada serentak Halut kali ini tidak jauh berbeda jika melihat perilaku pemilih.  Faktor agama dan suku masih menjadi salah satu penentu yang paling besar keterpilihan kandidat bupati. Konsekuensi dari hal tersebut ialah tokoh agama masih menjadi primadona untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Jadi tidak jarang para tokoh agama turun gunung dan berkampanye untuk mendukung kandidat tertentu. Tentunya ini wajar dalam bingkai negara demokratis.

Posisi selanjutnya yakni kesamaan suku. Ini juga menjadi faktor penting bagi para pemilih sosiologi. Sebab para pemilih tersebut akan merasa sangat dekat dengan seorang kandidat yang memiliki kesamaan suku dengannya. Sehingga secara garis besar tokoh adat memiliki peranan besar untuk hal ini. Akan tetapi dampak langsung dari kecenderungan pemilih sosiologis yang masih dominan ini, yakni program kerja yang ditawarkan menjadi tidak terlalu penting bagi masyarakat. Sehingga pemilihan tersebut bukan adu program dan gagasan, melainkan faktor lain yang sangat menentukan.

Pilkada serentak 2020 di Halut, sejauh ini menurut hemat penulis masih didominasi oleh para pemilih sosiologis. Dengan kata lain aspek ini masih sangat relevan untuk siapapun yang ingin memenangkan pemilihan. Sehingga para kandidat dapat memetakan dengan jelas basis-basis pemilihnya yang memiliki ciri-ciri seperti yang dijelaskan di atas. Meskipun Pilkada kali ini sedikit berbeda karena adanya pandemi Covid-19.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form