Cerita dari Dau

Penulis: Fauzan Nur Ilahi 



"Kemampuan kita mengelola ekonomi setidaknya untuk kebutuhan sehari-hari sebagai seorang mahasiswa, akan berpengaruh pada kemampuan kita untuk menjaga idealisme".

Dau, Jum'at 13 November 2020.

Kedai kopi berjejer rapi. Cukup banyak untuk ukuran satu wilayah kecamatan. Tetapi tak susah dimengerti jika kita melihat beberapa kampus yang terdapat di kecamatan Dau dan sekitarnya, yang secara otomatis juga akan berimbas pada banyaknya jumlah mahasiwa/i di sekitar tempat ini. Sepengamatanku, di sekitar daerah ini menyimpan lebih dari 5 kampus besar di dalamnya. Di antaranya ada Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Malang, Politeknik Malang, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Negeri Malang, dan beberapa kampus yang lainnya. Kondisi ini jelas menjadi ladang basah bagi mereka yang hendak membuka kedai kopi.

Sudah seminggu lebih aku di sini, berkunjung ke salah satu kawan yang kuliah di Universitas Tribuwana Tunggadewi, Kota Malang. Cuaca yang adem dan gaya hidup yang erat dengan mahasiswa, cukup untuk sekedar membuatku betah di tempat ini. Waktu yang lebih banyak dihabiskan di kedai-kedai kopi, yang akhirnya mampu menyajikan banyak sekali waktu untuk menulis dan berbincang tentang apa pun, adalah beberapa kebiasaan yang menurutku sangat "mahasiswa" sekali.

Maka, IR, jika setiap kesan yang kudapat selama keberadaanku di Dau harus kutuliskan ke dalam surat ini, maka aku pikir surat ini akan menjadi panjang dan membosankan. Obrolan di kedai kopi yang mengasyikkan, cuaca yang adem serta suasana yang tak sesak dengan kebisingan seperti di Jakarta, pemandangan Gunung Arjuno yang selalu mampu menghilangkan lelah dari beragam tuntutan kehidupan, potret Kota Malang dan Kota Batu dari puncak Bukit Paralayang yang begitu mempesona, adalah beberapa cerita yang mungkin tak akan selesai dalam satu lembar surat. Jadi aku tak akan menceritakan beberapa hal itu dalam surat ini kepadamu. Aku memilih hal yang lain.

I

Dalam suratku ini, aku justru tertarik membicarakan soal ekonomi serta bagaimana keterkaitannya dengan kemampuan kita memagari idealisme. IR, sebagai mahasiswa perantauan yang juga cukup lama hidup di luar daerah, aku merasa ada yang pantas kita tiru dalam kehidupan teman-temanku sebagai mahasiswa di Kota Malang ini. Terutama dalam upaya mereka menutupi kebutuhan ekonomi. Banyak di antara mereka yang memilih untuk terjun ke salah satu profesi tertentu semisal pengusaha toko klontong atau tempat makan, pebisnis, sampai menjadi driver ojek online guna menutupi kebutuhan sehari-hari mereka sebagai mahasiwa. Tentu saja cara ini berhasil.

Maka jangan heran jika kau berkunjung ke sini dan menemukan kehidupan mereka yang kurasa sudah berada pada zona aman: kontrakan yang terbilang baik, pola hidup yang juga baik, atau singkatnya mereka agak jauh dari kata “melarat”. Bukan karena manja dan mengandalkan orang tua, namun karena pada dasarnya mereka memang cukup baik dalam urusan ekonomi, khususnya dalam hal etos kerja. Setidaknya mereka mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. Ya, walaupun sokongan dari orang tua juga tidak bisa dibilang tidak ada.

Lantas mengapa hal ini menjadi penting? Karena menurutku, kemampuan kita dalam mengelola ekonomi setidaknya dalam konteks kebutuhan sehari-hari untuk ukuran seorang mahasiswa, akan berpengaruh pada kemampuan kita untuk menjaga idealisme. Bukankah tak jarang, IR, kita melihat banyak di antara kawan kita yang terpaksa “menggadaikan” idealisme mereka hanya karena mereka lapar dan butuh uang untuk bayar kos? Mereka rela melakukan suatu hal yang menurut mereka sejatinya tak baik atas nama memenuhi kebutuhan primer diri.

Dalam kehidupan mahasiswa, fenomena sejenis ini jelas tak asing bagi kita, IR. Maka tak salah adagium yang mengatakan bahwa kefakiran lebih berpotensi terhadap kekafiran (baca: ketidakadilan; kebatilan). Karena manusia memang secara naluri tentu akan melakukan apa pun agar tetap hidup. Apalagi hanya soal menggadaikan idealisme. Tentu saja tak akan menjadi pertimbangan berarti. Homo homini lupus dalam Leviathan-nya Thomas Hobbes mungkin akan lebih mudah dimengerti ketika kita menengok fenomena semacam ini.

Mungkin karena sebab inilah kita sering mendengar bahwa sikap yang idealis sering dibentur-benturkan dengan sikap yang realistis. Seakan tak ada jalan tengah, tak ada grey area. Bahkan tak jarang sikap idealis mendapat respon dengan nada mencibir semisal, “Memang kau bisa hidup dengan sikap idealis semacam itu?”, “Kapan mau hidup mapan kalau hanya mengedepankan idealisme?”, atau perkataan lainnya yang intinya menganggap bahwa sikap sok idealis sudah tak kompatibel dalam kehidupan yang kian pragmatis-materialistis ini.

Memang kita harus akui bahwa sukar membicarakan sikap idealis sementara kehidupan kita masih luntang-lantung. Agak aneh jika kita berbicara soal kesejahteraan sementara kita masih melarat. Karena itu, IR, aku merasa bahwa salah satu cara agar idealisme kita tetap terjaga adalah dengan menjaga kemerdekaan kita. Salah satunya tentu saja kemerdekaan dalam perihal ekonomi. Karena cukup susah untuk bersikap idealis sementara kebutuhan kita banyak bergantung pada orang lain.

II

Ah, IR. Nampaknya aku terlalu jauh berbicara hal ekonomi denganmu dalam surat kali ini. Sampai-sampai aku lupa bahwa semula aku menulis surat ini untuk berbagi kesan saat aku berada di Dau. Baiklah, IR. Kita tinggalkan dulu persoalan ekonomi dan tetek bengeknya. Aku akan kembali menceritakan pendapatku tentang kehidupan teman-teman mahasiswa di sana serta kondisi di Dau.

Di atas sudah aku jelaskan apa-apa saja yang dapat kita ambil dari kehidupan rekan-rekan mahasiswa di sana. Namun, menurutku ada yang minus di tempat ini. Dan nahasnya, hal yang minus itu merupakan nafas dari identitas kita sebagai pemuda, mahasiswa, dan manusia: membaca, diskusi, menulis, atau aktifitas lain yang mendekatkan kita dengan buku dan pengetahuan. Hal ini pantas disayangkan.

Karenanya, jika kau berada di tempat ini maka pantas untuk berhati-hati. Jika tak pandai me-manage diri, waktumu hanya akan habis di tempat kopi. Tanpa karya, dan tak ada progresifitas apa-apa. Memang inilah jebakan situasi "nyaman". Jika kau terbuai, maka waktu luang hanya akan menjadi waktu yang sama sekali percuma. Jadi jangan heran jika di tempat ini kau akan jarang menemui pemuda-pemudi yang menenteng buku di kedai kopi atau sibuk saling beradu argumen tentang salah satu teori dan temuan baru dalam sebuah jurnal atau buku.

Kau mungkin juga akan merasa bahwa kehidupan rekan-rekan di sana lebih terasa sebagai dunia pekerja, alih-alih mahasiwa. Mulai dari kesibukan mereka, atau orientasi dari pemikiran mereka yang cenderung bussines-oriented. Tak salah memang, hanya saja akan menjadi keliru jika upaya pengembangan intelektual justru mereka tinggalkan. Bukan berniat men-judge, aku hanya merasa bahwa setiap kesibukan yang merongrong waktu kita, sebagai mahasiswa, pemuda, serta kaum terpelajar tentu kita juga tak boleh abai dengan pengetahuan.

Hah, walau bagaimanapun, ini hanya penilaian subjektif, IR. Kau boleh setuju, boleh saja tidak. Toh aku juga tak akan memaksakan untuk kau memiliki penilaian sama. Keberadaanku di Dau juga tak sampai berbulan-bulan. Tentu pasti ada fenomena yang luput dari pengamatan. Dan mungkin saja fenomena itu justru berbanding terbalik dengan apa yang aku jelaskan di atas. Di sini aku aku lebih memilih untuk bersikap ala filsuf postmo, di mana penjelasanku bukanlah sebuah Logos, satu kebenaran tunggal. Sangat mungkin kau akan menemukan realitas yang sama sekali berbeda dengan penjelasanku dan itu sah saja.

Lagi pula, surat ini aku tulis bukan untuk menggantikan “kitab suci” yang akan memberikanmu aneka kebenaran. Surat-suratku hanya sekumpulan catatan tentang pikiran, perasaan, komentar, atau respon dari sesuatu. Apa pun itu. Jadi kau tinggal baca dan silahkan terima jika kau setuju, atau kritik jika kau tak sepakat. Aku akan sangat senang bila terjadi pertukaran pikiran di antara kita. Sekian. Semoga hari-harimu menyenangkan. (Bung)

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

2 Comments

  1. Memang bener yang di katakan. Sebagian dari mahasiswa sudah mulai lupa bahwa buku adalah salah satu guru pegetahuan. Hanya saja mungkin membaca tidak harus dengan selalu membawa buku. Seperti kata pemuda madura dalam cuitannya "Kujadikan hal yang kutemukan sebuah pelajaran.
    Supaya saya sadar.
    Mana yang pantas di perjuangkan
    Atau di tinggalkan" (K_Tektek)
    Aahhh mungkin argumenku tidak terlalu penting karna bukan kebenaran yang tidak wajib di terima oleh semua orang.
    Selamat berkarya (BUNG)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mantap bung. Yang penting jangan lupa ngopi.

      Delete
Previous Post Next Post

Contact Form