Penulis: Nabil, Warga Kalabe'en, Sumenep
“BUMDES yang bisa dijadikan
percontohan hanya ada 10 BUMDES, 3.7%. Jadi masih perlu dilakukan berbagai
terobosan agar BUMDES lebih berdaya. Kalau gagasan saya, Desa harus memiliki agency, penggerak desa yang harus benar-benar bisa melayani dan memenej
(mengelola) bagaimana BUMDES itu benar-benar bisa berkembang”.
-- Kiyai Ali Fikri, Cawabup
Paslon No.2
***
Debat kandidat
II Cabup dan Cawabup Kabupaten Sumenep (23/10/20) jauh lebih semarak dan meriah
dibandingkan dengan debat kandidat I. Format debat yang relatif berbeda
dibanding debat I dengan mewajibkan paslon saling/silang pendapat melalui bahasa
lokal (Madura), plus moderator yang sangat adaptabel, membuat suasana debat tiap
sesi pecah dengan tawa. “Bapak-Bapak tojuk, tojuk,” timpal moderator seraya
menenangkan suasana yang riuh-rendah dengan tepuk-sorak dan tawa para hadirin.
Tak hanya
semarak dan meriah, debat II juga terasa lebih tajam dibandingkan debat I dalam
hal substansi yang diperdebatkan. Dengan mengambil tema “Memajukan dan Menyelesaikan
Persoalan Daerah di Tengah Pandemi Covid-19,” debat II menyasar banyak
persoalan: mulai dari masalah perizinan, infrastruktur, pembangunan desa dan pertanian,
sampai pada masalah pemberdayaan perempuan.
Sayang sekali,
debat yang semarak dan meriah itu terasa kurang lengkap karena Paslon No.1
tampil timpang, tidak full team, dan
hanya sendirian. Sedianya, dalam debat tersebut, A. Fauzi sebagai Cabup Paslon No.1
didampingi oleh Cawabupnya, Hj. Dewi Khilafah (Nyai Eva). Tetapi karena satu
dan lain hal, Cawabup Paslon No.1 sampai pada debat II belum mendampingi
Cabupnya. Alhasil, ketiadaan Cawabup Paslon No.1 membuat A. Fauzi betul-betul kewalahan,
timpang tidak karuan ketika menghadapi pertanyaan maupun tanggapan dari Paslon
No.2: Fattah Jasin-Mas Kiyai (Ali Fikri).
Ketimpangan tersebut semakin kelihatan
ketika A. Fauzi, Cabup Paslon No.1, ditanya soal bantuan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur untuk membangun infrastruktur berupa jembatan penghubung antara Gili
Iyang dan Dungkek. “Mengapa pengelolaan anggaran bantuan Pemprov Jatim tersebut
tidak bisa selesai dengan baik? Apa masalahnya, dan bagaimana menajemennya
sampai persoalan tersebut tak bisa terselesaikan? Bahkan jembatannya malah
ambruk tidak karuan”, tanya Fattah Jasin dalam bahasa Madura.
Mendapat pertanyaan tersebut, A. Fauzi
tampak kebingungan memberikan jawaban. Di tengah-tengah kebingungannya itu, ia
berusaha mencari pembenaran dengan melihat panduan normatifnya bahwa pemerintah
Kabupaten Sumenep di bawah komandonya sebagai Wakil Bupati, telah melakukan
tugas dan fungsi sesuai kewenangannya. Namun tak hanya itu, ia mencoba
mempertahankan diri sembari menyalahkan kontraktor pemenang tender yang tak
bisa bekerja dengan baik sehingga pengerjaan jembatan tersebut tak berjalan
baik, dan akhirnya ambruk terkena terpaan ombak.
Sebagai incumbent sekaligus Cabup yang hendak bertanding pada Pilbup 2020
ini, jawaban A. Fauzi di atas memperlihatkan bahwa ia tak paham tentang
bagaimana pemerintah membuat tender/lelang suatu proyek, apalagi proyek
tersebut skalanya besar, jembatan penghubung antar pulau. Padahal ia telah 5
tahun menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Sumenep (2016-2020). Menyalahkan
pemenang tender bukanlah argumen yang sama sekali dapat diterima.
Sebagai gambaran sederhana, tender/lelang
suatu proyek pemerintah, pada umumnya dilakukan dengan cara mengundang vendor (pihak
ketiga penyedia barang/jasa) untuk terlibat dengan mempresentasikan harga dan
kualitas yang dibutuhkan. Sebelum diputuskan siapa pemenangnya, panitia (pemerintah)
melakukan penilaian (baik dilakukan sendiri maupun konsultan) terlebih dahulu,
vendor mana yang kira-kira mampu melakukan pekerjaan tersebut, baik dari segi
kualitas maupun harga. Setelah itu, vendor dengan kualitas terbaiklah yang pada
akhirnya dipilih menjadi pemenang. Tak berhenti di situ, kontrak yang disepakati
juga tidak sekedar berisi harga dan pekerjaan, tetapi juga berisi tentang
risiko-risiko yang harus ditanggung oleh vendor pemenang apabila pekerjaan
proyek tersebut tak bisa terselesaikan secara baik.
Berpijak dari fakta ini, jawaban A.
Fauzi di atas memperlihatkan bahwa ia bukan hanya tak paham tentang panduan
normatif tender/lelang proyek pemerintah, tetapi juga sebagai pemimpin yang tak
memiliki kemampuan manajerial yang memadai. Alhasil, pemenang tender/lelanglah
yang dipersalahkan. Padahal, mereka sendiri pemegang kuasa anggarannya. Sebagai
pemilik otoritas, sedianya ia mencari jalan keluar dari projek yang tak kunjung
kelar tersebut bukan dengan mencari kambing hitam sebagai pembenaran.
Selain soal bantuan pembangunan
infrastruktur dari Pemprov Jatim yang “mangkrak”, Fauzi juga kelihatan tak
memiliki inisiatif dan terobosan penting dalam melakukan pembinaan terhadap
Pemerintahan Desa. Ketika ditanya tentang strategi penyelarasan kebijakan
berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dan SDM desa oleh panelis, Fauzi hanya
menjelaskan tentang Perbup yang telah dikeluarkan untuk memandu pemerintahan
desa.
Jawaban
normatif dari A. Fauzi ini kemudian ditanggapi secara genial oleh Cawabup Paslon
No.2, Kiyai Ali Fikri, yang datang dengan terobosan baru tentang perlunya
“agency penggerak desa.” Kiyai Ali Fikri menyoroti kinerja Pemerintah Kabupaten
yang lamban dalam mendorong terbentuknya BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).
Menurutnya, dari 334 desa yang ada di Kabupaten Sumenep, baru 270an yang
memiliki BUMDES. Dari 270an BUMDES tersebut, hanya 10 BUMDES atau 3.7% yang
layak untuk dijadikan percontohan sebagai BUMDES yang baik. Itu artinya, Fauzi
sebagai Wakil Bupati Sumenep dalam 5 tahun terakhir ini hanya “dapat” membina
10 Desa, sementara sisanya 324an Desa tak jelas nasibnya. Padahal, otoritas
Pemerintah Kabupaten relatif besar dalam hal pembinaan Pemerintahan Desa ini.
Selain itu,
sampai sejauh ini, masih banyak desa-desa di Sumenep yang belum memiliki kantor
permanen. Bagaimana dapat melayani publik dengan baik jika kantor desa saja
tidak mereka miliki. Kenyataan ini memperlihatkan betapa pembinaan pemerintah kabupaten
terhadap desa-desa yang ada di Sumenep sangat minim, jika tidak ingin dikatakan
tidak ada sama sekali.
Untuk
mengatasi kemandegan ini, Kiyai Ali Fikri menyodorkan gagasan agen penggerak
desa yang dapat berperan tak hanya sekedar mengelola BUMDES yang ada, tetapi
juga berfungsi meningkatkan kapasitas pemerintahan desa, baik dari segi manajemen,
perencanaan dan pelaksanaan anggaran desa, serta evaluasi terhadap pelaksanaan
tersebut. Peningkatan kapasitas pemerintahan desa ini dipimpin langsung oleh
Bupati/Wakil Bupati terpilih dengan menyelanggarakan pembekalan, training-training jangka pendek dan menengah,
studi banding ke desa-desa luar yang sudah maju.
Di samping
itu, Ppemerintahan desa juga diberikan materi tentang pengelolaan keuangan desa
yang sesuai dengan standar akuntasi sehingga pengelolaannya efektif dan efisien,
serta potensi penyimpangan dapat diminimalkan. “BUMDES yang bisa dijadikan percontohan hanya ada 10 BUMDES, 3.7%. Jadi
masih perlu dilakukan berbagai terobosan agar BUMDES lebih berdaya. Kalau
gagasan saya, desa harus memiliki agency,
penggerak desa yang harus benar-benar bisa melayani dan memenej (mengelola)
bagaimana BUMDES itu benar-benar bisa berkembang”, demikian kata Kiyai Ali
Fikri, Cawabup Paslon No. 2, menanggapi pendapat Cabup Paslon No.1 yang masih
normatif.
Tak hanya itu,
Kiyai Ali Fikri juga muncul dengan gagasan “BUMDES AWARD”, yaitu suatu
penghargaan atau apresiasi terhadap desa yang dapat mengelola BUMDES dengan
sangat baik. BUMDES AWARD ini bagi Kiyai Ali Fikri dikomandoi oleh Bupati/Wakil
Bupati terpilih yang diselenggarakan setiap tahun, agar setiap pemerintahan desa
berlomba-lomba untuk memajukan desanya masing-masing. Gagasan BUMDES AWARD ini
bukan sekedar seremonial semata, tetapi lebih dari itu, menjadi motivasi dan driving force (kekuatan penggerak) bagi pemerintahan
desa untuk mengelola dana desanya secara efektif, penuh dengan inovasi, dan
memberikan manfaat yang besar bagi warganya.
Sebagai kabupaten
yang hampir semua wilayahnya adalah desa, ide brilian dari Kiyai Ali Fikri melalui
“penggerak desa” di atas tidak hanya relevan dan solutif. Tetapi lebih dari
itu, ide tersebut menghadirkan harapan baru (new hope) bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat desa di Kabupaten
Sumenep untuk lima tahun mendatang. [wallahu
a’lam bisshawab]