Kaum Muda, Idealisme dan Pilkada

Table of Contents

Penulis: Rivaldo Djini (Pemuda asal Loloda) 


"POLITIK ADALAH ETIKA UNTUK MENGABDI DAN BUKAN CARA UNTUK BERKUASA" (Johanes Leimena, Tokoh pendiri GMKI)

Pemuda itu salah satu aset bangsa dan negara. Bila merujuk pada sejarah, tak diragukan lagi bahwa mereka sudah ambil peran saat Indonesia mula-mula terbentuk dan berdikari. Sumpah Pemuda, misal, hanyalah satu momen penting yang menunjukkan betapa pemuda sangat berperan aktif dalam upaya memberikan yang terbaik untuk lingkungannya.

Sebagai aset bangsa dan negara, maka dalam perkembangannya pemuda hidup, berada, & berpihak kepada kepentingan masyarakat. Pemuda ditakdirkan sebagai pihak yang dituntut untuk punya kontribusi besar kepada masyarakatnya. Tuntutan itu merupakan konsekuensi logis dari keberadaan dan keistimewaannya sebagai kelompok elit terdidik.

Secara lebih spesifik dalam politik, maka keberadaan kaum muda sejatinya mewakili arah kepentingan politik masyarakat. Wujud keberpihakannya bisa bermacam-macam. Bisa dalam wujud mengedukasi kesadaran politik masyarakat (terutama dalam momen-momen menuju pilkada, sebagai bagian dari hajatan demokrasi), mengambil peran dalam menyuarakan kepentingan masyarakat, mendorong kebijakan yang pro terhadap masyarakat, menghadirkan berbagai jalan keluar atas kesulitan masyarakatnya, dan peran-peran leadership lainnya di masyarakat.

Dalam momentum pilkada, persoalan yang sering mengemuka adalah ketegangan politik, konflik sosial yang berpotensi memecahbelah bangsa. Selain itu, momentum politik elektoral sering diisi oleh para demagog yang pandai bermain-main retorika terutama untuk memperoleh hati masyarakat. Bahasa kasarnya, mengecoh masyarakat.

Dalam hal ini, fokus kaum muda mengambil peran mengurangi ketegangan politik, dan mengedukasi masyarakat untuk fokus pada demokrasi yang berkualitas. Wujud demokrasi berkualitas bisa dilakukan dengan mendorong masyarakat agar cerdas dalam menentukan pilihan, agar memperhatikan secara betul tiap-tiap janji politik para kontestan, melihat rekam jejaknya, tidak mudah percaya, dan seterusnya.

Bila hal itu dilakukan oleh kaum muda dengan sungguh-sungguh, dikawal betul demi menghadirkan sikap kritis dari masyarakat, maka setidaknya ada beberapa hal positif. Pertama, masyarakat dapat meningkat kesadaran politiknya. Sehingga, politik tidak sekedar diikuti secara main-main, atau sekedar ikutan tetangga. Tapi benar-benar didorong oleh kesadaran untuk menentukan pilihan politik. Sehingga, dalam proses ini, masyarakat punya pertimbangan matang dan rasional dalam menunjuk kandidat yang jadi pilihannya.

Kedua, bila masyarakat teredukasi dengan baik, kesadaran politiknya ditingkatkan, dan tidak mudah tergoda oleh janji-janji politik yang sekedar jadi basa-basi politisi, maka hal ini akan mendorong suasana politik yang lebih kompetetif. Para kandidat tidak hanya berbenah dalam konteks meyakinkan publik lewat kata-kata, tapi mereka didorong untuk mulai semakin memperhatikan aspek-aspek penting dari gagasan dan program kampanye politik mereka. Kontestasi gagasan dan kampanye politik yang makin meningkat ini maka secara sendirinya membawa dampak lanjutan yakni peluang terwujudnya hajatan demokrasi yang lebih berkualitas.

Mengapa harus pemuda yang ambil bagian penting ini? Kita bukan tak percaya pada golongan tua. Tapi kalangan muda – terutama mahasiswa – merupakan kalangan yang masih diterangi oleh idealisme yang menggebu-gebu. Mereka lebih bisa diandalkan untuk mewujudkan idealisme ke dalam wujud gerakan nyata. Bila kita mencoba membongkar arsip ingatan sejarah tentang gerakan-gerakan besar di Indonesia maka tak sedikit kita akan mendapati bahwa mereka yang berada di garis depan, dengan kelantangan pikir dan keberanian tindakan, tak lain adalah kalangan muda – mahasiswa.

Para bapak pendiri bangsa ini – Soekarno dan Hatta – lantang bersuara dan kemudian menjadi actor-aktor gerakan sudah sejak masih mahasiswa. Momentum-momentum kemerdekaan yang terjadi 17 Agustus 1945 diawali dari peristiwa Rengasdengklok – yakni penculikan atas Soekarno-Hatta ini – oleh kalangan muda yang pada akhirnya melahirkan proklamasi kemerdekaan. Begitu nekad, tapi sejalan dengan idealisme mereka.

Kata Tan Malaka, “idealisme adalah kemewahan terakhir mahasiwa”. Sebab kita masih mahasiswa, anak muda, dengan pikiran yang terdidik, marilah kita mengambil peran penting dalam upaya menghadirkan kontribusi positif dalam momentum pilkada 2020. Mengutip ungkapan bijak dari Johanes Leimena, Tokoh pendiri GMKI: politik adalah etika untuk mengabdi dan bukan cara untuk berkuasa.

Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment