Lelaki Penambal Ban dan Anak Lelakinya

Penulis: Ludiro Prajoko (Pengamat Sosial Budaya)


Hidup miskin di jaman yang oleh John Dewey disebut kultur uang, pasti menyedihkan. Walaupun miskin mungkin garis bujur hidup seseorang yang harus dicumbui secara ikhlas. Namun, mencumbui ke-miskin-an seraya menyaksikan sejumlah orang bergelimang harta tentulah penemuan diri di pojok sial kehidupan yang hanya menawarkan rasa nyeri.

***

Di bilik kiri jantung kota Mataram, tegak berdiri sebuah Mall, yang tumbuh semakin besar dari tahun ke tahun, sebuah tanda kemoderenan. Setiap kota memiliki kewajiban untuk menyediakan sebuah gedung yang besar, praktis, harus tampak megah, tetapi tidak perlu indah dengan gaya arsitektur dan dekorasi yang menerbitkan decak kagum, karena gedung itu tidak dibaktikan untuk Tuhan. Mall dirancang untuk aneka barang dalam jumlah yang melampaui batas. Bagi masyarakat moderen, mall menyerupai rumah sihir yang menelan manusia dengan segenap keriuhannya yang dibaktikan untuk laba dan gaya hidup. 

 Di depan Mall itu, di seberang jalan, berderet ruko dengan halaman parkir cukup luas. Di tempat itu, kala hari berangsur gelap, sejumlah orang sibuk di bawah tenda, berdagang makanan menjaring rejeki. Tapi, juga ada seorang lelaki yang menggantungkan rejekinya pada orang yang sedang sial: tukang tambal ban.   

Malam itu, tampaknya ia kurang beruntung. Belum ada ban yang harus ditambal. Lalu, ia melakukan pekerjaan yang bijaksana: tidur! Ditilik dari posisi tidurnya, tindakan itu pasti disengaja. Seorang lelaki, tampaknya belum genap 40 tahun, terlentang nyenyak di pelataran semen sebuah ruko. Peralatan kerjanya masih tersimpan rapi ditempatnya, sebuah kotak kayu. Pertanda jasanya belum laku. Di sebelahnya, anak lelakinya juga nyenyak tidur beralaskan papan pendek, tutup kotak tempat peralatan menambal ban. Kakinya ditekuk seperti posisi janin dalam kandungan, lelap.

Kejadiannya boleh jadi begini: sejak sore ia menunggu seseorang yang sedang sial, datang menuntun motor dengan bannya yang kempis: situasi yang oleh Von Newman disebut zero sum game. Tapi, ia sedang kurang beruntung, orang sial yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Ia akhirnya kalah oleh rasa lelah yang sepakat menyerang bersama kantuk. Lalu..tidur terlentang di tengah keramaian orang lalu lalang. 

Sebuah tindakan yang bijaksana. Karena: 1) Mematuhi isyarat tubuh. Jangan-jangan, ia telah membaca Foucault tentang keganasan materialisme-kapitalisme, yang membuat jiwa menundukkan dan menjajah tubuh tanpa peduli teriakan letih tubuh yang dipaksa mengejar sesuatu yang dirindukan jiwa: materi. 2) Menghindarkan diri dari tindakan subversif. Hidup miskin di jaman yang oleh John Dewey disebut kultur uang, pasti menyedihkan. Walaupun miskin mungkin garis bujur hidup seseorang yang harus dicumbui secara ikhlas. Namun, mencumbui ke-miskin-an seraya menyaksikan sejumlah orang bergelimang harta tentulah penemuan diri di pojok sial kehidupan yang hanya menawarkan rasa nyeri. Dari sanalah semua revolusi sosial dimulai. 

Tetapi, lelaki itu tidak menatap pameran kapitalisme di depannya dengan sorot mata iri.  Mungkin saja ia sempat sedikit mengiba, namun tak terlihat tanda-tanda ia telah menggugat Tuhan akan  nasibnya. Ia pasti tidak berpikir untuk memimpin pemberontakan. Tampaknya juga tidak terlintas dalam benaknya untuk melakukan tindak kriminal: mencuri, sekalipun korupsi, yang secara genetis satu spesies dengan mencuri, tetapi lebih ganas, sudah lazim ditindakkan oleh bukan kalangan penambal ban. Ia juga tidak gelisah yang menunjukkan gejala depresi. Juga sama sekali tidak terlihat persiapan untuk bunuh diri. Ia hanya tidur. Kiranya, tidurnya itu setara dengan tidur siangnya seorang muslim taat yang sedang berpuasa Ramadhan. Sebuah bentuk ibadah, yang darinya seseorang akan diganjar pahala. Kalkulasi Tuhan memang tidak bisa dicerna dengan logika pemilik modal.

Di rumah, istrinya pasti sedang menunggu. Boleh jadi sambil mendekap bayi perempuannya, menjaganya dari gigitan nyamuk. Menghela nafas, memejamkan mata dengan segenap cinta dan harapan suaminya pulang sebelum tengah malam, membawa uang secukupnya.  Kanda.. Esok hari, seiring terbit matahari, beras, minyak, … harus dibeli, tunai. Sebab, sampai malam ini, tak terdengar  kabar dari radio, juga tetangga, kalau barang-barang itu, besok, dapat diperoleh secara gratis di warung-warung. Musim menjarah toko juga sudah berlalu. Sekiranya terjadi salah musim, tak elok barang jarahan itu untuk anak-anak kita. 

Sementara, di tempat kerja sang penambal ban, seseorang lelaki berdiri tak lebih dua depa dari tubuh mungil anak lelaki sang penambal ban yang terkulai lelap. Tanganya menenteng bungkusan kecil, melangkah mendekati dua lelaki lelap itu. Tertegun sejenak, tampak khawatir akan mengganggu tidur mereka.  Bungkusan kecil itu diletakkan di depan hidung si bocah, lalu pergi meninggalkan mereka. Dalam hati ia berbisik: Tidak mungkin Tuhan lupa mengurus mereka malam ini.

Mataram di malam hari adalah saat-saat terakhir pengabdian ayam taliwang. Seekor ayam taliwang bakar, sepiring nasi dengan dua porsi pelecing kangkung dengan aneka sambal, segelas besar jeruk hangat dan sepiring pepaya yang dikucuri jeruk nipis, hanya Rp. 41.000. Hidangan yang tidak akan habis dimakan satu orang yang memiliki perut berukuran sedang, sekalipun dilahap saat kelaparan. Akibatnya: penyia-nyiaan sebagian yang dihidangkan. Kemubadziran yang timbul karena salah persepsi tentang porsi. Pengalaman yang memberikan rasa sesal berkepanjangan. 

Syukurlah, segera setelah itu, lelaki tukang tambal ban itu, sudah sibuk menambal dua buah motor yang bocor bannya. Einstein benar: Tuhan memang tidak tampak dan juga tidak jahat.  Anak lelakinya juga terjaga, duduk bersila, mulutnya baru saja istirahat dari kesibukan mengunyah sesuatu. 

Bila satu kali tindakan penambalan ban motor diganjar Rp. 10.000 dan, anggap saja tukang tambal itu akan mendapat tambahan dua kali penambalan, maka, malam itu, ia membawa pulang Rp.40.000. Karena malam sudah beranjak larut, Mataram mall segera akan tutup dan peluang datangnya ban kempis kelima patut diabaikan.  Untung, lelaki itu pasti belum membaca uraian Prof. Henslin: money has become the single most important criterion for determining our standing with others.

Jika benar lelaki itu memiliki dua orang anak dan (cukup) seorang istri, sementara diasumsikan tidak memiliki sumber pendapatan lain. Maka, keluarga tukang tambal ban itu hidup dengan pengeluaran kurang dari US$ 2 per orang per hari. Nah.. apa kata (Bank) Dunia…?!


Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form