Penulis: Ubaidillah Khan, S.Ag.
Masjid mempunyai banyak fungsi yang vital dalam pembentukan karakter ekonomi yang robbani sehingga sistem ekonomi yang islami tersebut bisa dijalankan secara sempurna.
Masjid idealnya ramai dipenuhi gairah muslimin untuk
menunaikan ibadah di sana. Tapi ironi memang selalu datang dengan gambaran yang
pahit. Masjid kian sepi.
Ironi lain adalah banyaknya anak-anak muda milenial yang justru
lebih tertarik ke mall atau tempat-tempat nongkrong. Ironi ini seakan
mengatakan: mall menawarkan banyak hal menarik. Sedang masjid tidak. Kini
tempat suci ini seakan hanya jadi tempat persinggahan orang tua yang lanjut
usia, dengan pikiran yang mungkin lebih besar mengarah pada akhirat. Sehingga
memilih mendekatkan diri kepada sang Ilahi.
Dulu ada banyak remaja masjid yang turut mengurus dan
mengelola masjid. Tapi saat ini, remaja masjid berkurang. Tentu ini bukan
kesimpulan universal, melainkan fakta-fakta partikular yang penulis tangkap. Dan
kita berharap, ada titik balik di mana masjid kembali digairahkan oleh kita
terutama bukan sekedar sebagai rumah ibadah, tapi juga difungsikan sebagai tempat
pemberdayaan ekonomi umat.
Bukan Sekedar Tempat Ibadah
Bukan hal baru bahwa masjid tidak hanya tempat ibadah tapi
juga sebagai tempat dakwah dan untuk meningkatkan ekonomi. Di zaman Rasulullah,
masjid berperan sebagai pusat informasi dan pendidikan. Masjid adalah tempat
ibadah kaum muslimin dengan peran strategis untuk kemajuan peradaban umat
Islam. Sejarah membuktikan berbagai fungsi dan peran masjid tersebut: ia bukan sekedar
tempat shalat, tapi juga sebagai pusat pendidikan, pengajian keagamaan, militer
dan fungsi-fungsi sosial-ekonomi
lainnya.
Philip K. Hitti, dalam History of Arab, menyebut masjid
pada zaman Rasulullah juga digunakan sebagai sarana pembelajaran untuk
mendalami ilmu-ilmu keislaman dan menguatkan ukhuwah dan jami’ah islamiah
di antara kaum muslim Muhajirin dan Anshar saat itu. Sebab itu, dengan merujuk
pada fakta-fakta sejarah, kiranya ini bisa menjadi pendorong titik balik dalam
upaya menghidupkan peran-peran strategis di atas.
Terutama dalam konteks peranan masjid dalam pengembangan
ekonomi islam, masjid bisa dikuatkan lagi sebagai penguat pondasi-pondasi
keislaman & pembelajaran teori-teori muamalah sebelum diterapkan di dunia
nyata.
Masjid mempunyai banyak fungsi yang vital dalam
pembentukan karakter ekonomi yang robbani sehingga sistem ekonomi yang
islami tersebut bisa dijalankan secara sempurna. Dari segi perekonomian secara
individu, masjid bisa digunakan sebagai sarana pengembangan pengetahuan dalam
hal keislaman dan atau ekonomi secara khususnya, guna mendapatkan makna-makna
muamalah secara mendalam baik teori maupun praktik yang nyata.
Rasulullah SAW telah mencontohkan multifungsi
masjid dalam membina dan mengurusi seluruh kepentingan umat, baik di
bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, militer, dan lain sebagainya. Untuk
itu, kita harus kembali membuka mutiara-mutiara sejarah tentang masjid. Sehingga
cakrawala berpikir kita semakin luas dan mendorong pada penguatan kembali
aktifitas masjid sebagai rumah ibadah dan sekaligus sebagai sarana strategis
kemajuan dan kemakmuran umat Islam
Masjid sebagai Pusat Perputaran Ekonomi
Di masa nabi, salah satu peran atau fungsi masjid adalah
sebagai pusat pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Baitu Mal (Zakat, Infaq, Shodaqoh,
dan Wakaf; ZISWAF). Di masa kini, peran-peran strategis untuk kemakmuran umat
ini bisa digairahkan kembali. Peranan penting ini bisa diperkuat oleh para
pengurus atau pengelola masjid. Ada nazir masjid, pengurus masjid, DKM masjid,
atau ta’mir. Mereka dapat memainkan peranan strategis masjid sebagai pusat
pemberdayaan ekonomi.
Secara spesifik, peran strategis pemberdayaan kemakmuran
umat di masjid itu merupakan tugas nazir atau panitia pengelola wakaf. Peranan
mereka sangat penting. Tapi masalahnya, dalam banyak kasus, tidak sedikit nazir
masjid yang kurang memiliki kecakapan (kapabilitas) dalam tugasnya yang sentral
tersebut. Selain persoalan kecakapan teknis, masalah wawasan keberagamaan juga
menjadi hambatan bagi peran ideal nazir ini.
Masalah wawasan yang sangat kontras terletak pada cara
pandang yang masih menempatkan hal ihwal beragama sebagai sebatas soal ibadah
dan aqidah, hanya tertarik dengan kajian keagamaan belaka, sehingga mereka
mengundang para ustadz yang ahli fiqih ibadah dan ahli teologi atau sufistik
saja. Nazir masjid sangat jarang memilih materi ekonomi Islam yang ruang
lingkupnya sangat luas. Padahal mengkaji ekonomi syariah sangatlah penting. Padahal
nazir masjid, khususnya yang membidangi dakwah, sangat menentukan kebangkitan
kembali peradaban Islam seperti masa lampau.
Ekonomi Islam bukan saja menjadi pilar dan rukun kemajuan
Islam, tetapi juga merupakan fardhu ’ain untuk diketahui setiap
muslim. Nazir masjid yang cerdas dan ingin kebangkitan Islam, akan menjadikan
materi ekonomi Islam sebagai salah satu materi kajian dalam pengajian agama di
masjid, baik dalam pengajian rutin atau tabligh keagamaan maupun dalam
khutbah jum’at.
Jika Nazir masjid sudah diisi oleh orang-orang yang paham
ibadah dan muamalah, paham sistem ekonomi islam, bukan tidak mungkin mereka
akan membangun sebuah Baitul Mal untuk pemberdayaan Ekonomi Umat.
Peran Baitul Mal untuk masjid sangat penting bagi ummat
atau jamaah. Baitul Mal yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan penyalur
dana baik itu untuk Zakat, Infak, Shodaqoh dan Wakaf maupun menyimpan uang
(koperasi) akan sangat membantu perekonomian umat atau jamaah setempat.
Jika semua dapat dibangun dan diterapkan, maka Insya
Allah peran masjid dalam Membangun Ekonomi Ummat akan terus berkembang.
Pembagian zakat akan merata, kemiskinan akan berkurang, jumlah mustahiq akan
berkurang, serta kesenjangan Perekonomian Ummat akan sejahtera di era milenial
dan digital ini.