Oleh: Akhmad Kholil
Politik – dalam pengertian yang kita sederhanakan sebagai
praktik dukung-mendukung pada pilkada, pilpres, pileg, atau pil-pil lainnya –
sejatinya bukan untuk dihadapi dengan perasaan jatuh cinta yang mendalam. Dalam
Bahasa anak gaul jaman now: jangan “baperan” (bawa perasaan) dalam politik.
Ungkapan ini ada benarnya. Politik itu sejatinya ujian bagi
akal sehat kita untuk menimbang-nimbang secara matang dalam menjatuhkan
dukungan. Ikut-ikutan belaka, jelas itu tidak baik. Jangan coba-coba. Bukan
hanya itu menunjukkan miskinnya kita dalam mencari informasi, tapi juga menjadi
hilangnya kita sebagai manusia yang berpikir-kritis di depan politik.
Politik Akal Sehat
Apa konsekuensi dari cara kita memandang politik dengan
akal sehat seperti di atas? Setidaknya ada kelegaan untuk menerima apapun hasil
akhirnya. Sebaliknya, jika kita menghadapi politik layaknya berhadapan dengan Gisel
Anastasia Maimunah (tetangga jauh yang cantik itu) dan kita jatuh cinta
sejatuh-jatuhnya tanpa memberikan ruang bagi “akal sehat” kita, maka
takut-takut nanti kita susah “move on” kalau junjungannya tak dapat memenangkan
kompetisi itu.
Tapi lebih dari sekedar itu, saya sebenarnya hendak mengatakan
bahwa bila saja kita menempatkan politik sebagai suatu objek yang disikapi
dengan “akal sehat”, maka cakrawala berpikir kita menjadi lebih luas. Kita
menjadi lebih objektif dalam menilai. Kita bisa menerima perbedaan-perbedaan
isi kepala kita untuk saling mengomentari. Kita bisa lebih santai untuk
berkomentar sejalan dengan kekayaan sudut pandang berpikir kita masing-masing.
Singkatnya, politik di atas akal sehat ini akan membawa kita pada suasana yang
lebih “santuy-santuy”, suasana yang bisa melahirkan kehangatan di kedai-kedai
kopi.
Sebaliknya, bila pikiran kita sudah di-“kerangkeng” dalam
alam fanatisme politik, dengan cinta yang buta (meski punya mata dan hati),
maka cara berpikir kita menjadi lebih sempit. Warna berpikir kita menjadi
miskin, di mana yang tersisa adalah warna hitam dan putih. Pilihanku putih.
Pilihanmu hitam. Akal sehat kita akan ditimpahi oleh rasionalisasi-rasionalisasi
semu yang mengantarkan pada upaya untuk “glorifikasi” (melebih-lebihkan kebaikan)
sosok atau kandidat yang kita pilih dan “demonisasi” (melebih-lebihkan keburukan)
sosok yang mereka pilih.
Glorifikasi dan demonisasi di dalam praktik politik kita
tidak akan membawa kita pada sikap yang kritis dan mencerdaskan. Sebab dengan
cara pandang “hitam-putih” itu, yang kita cari bukan “kebenaran” masing-masing
secara kritis, tapi menebalkan kebaikan pada satu pihak dan menebalkan
keburukan di pihak lain. Bila pikiran kita dikuasai oleh cara pandang seperti
itu, maka wajar bila kita mudah “tersulut” dalam fanatisme dukung-mendukung
yang semu. Isu-isu tertentu – yang dieksploitasi demi pemenangan – menjadi
riskan dalam mengelabui pikiran kita. Siapa yang rugi? Silahkan isi sendiri
titik-titik di sini…
Merayakan Perbedaan bukan Permusuhan
Di samping politik (dalam pengertian politik elektoral)
sebagai arena untuk menguji akal sehat kita, maka sejatinya hajatan politik
adalah arena untuk merayakan perbedaan-perbedaan. Ingat, bukan perbedaan yang
dipicu oleh sentimen dan fanatisme, tapi lebih dari itu adalah sebuah perbedaan
yang berpijak pada akal sehat-kritis-objektif kita.
Kalau kita tak mau belajar di hajatan politik yang dekat,
kita bisa “tengok” negeri paman Sam, Amerika Serikat – negeri yang jauh itu. Pertarungan
Paman Joe Biden versus Paman Donald Trump itu telah membelah masyarakat AS ke
dalam dua kubu yang benar-benar sengit. Saat Paman Donald Trump tak mau terima
kekalahan dan menganggap dicurangi, aksi demonstrasi dari kubu pendukung Paman
Trump ikut menolak. Sebaliknya, pendukung Paman Biden melakukan aksi tandingan.
Saya belum tahu apakah ada yang pacaran putus, persahabatan
putus, suami-istri bercerai, akibat masalah pilihan fanatik atas politik kemaren?
Nanti kalau saya sudah dengar info, saya kabari kawan-kawan biar ambil
pelajaran dari sana. Tapi BBC News (9 Februari 2017) pernah memberitakan bahwa
ada seorang suami ditinggal istrinya yang sudah dinikahi 22 tahun sebab
persoalan perbedaan politik.
Gayle McCormick, sang istri, menganggap pilihan suaminya
(saat itu, suaminya memilih Trump) sebagai bentuk “pengkhianatan”. Kita tak tahu
apakah itu sekedar soal politik, atau politik menjadi alasan mereka bercerai.
Tapi ini bukan khas di sana, di dalam politik kita, fenomena-fenomena seperti
ini bisa kita temukan begitu banyak.
Poin utama yang kita tekankan, jangan sampai pilkada
menjadi begitu “berkuasa” mendikte hidup dan relasi sosial kita. Jangan sampai
kita bermusuhan, jadi saling berjarak, dan terjebak dalam konflik politik yang
sebenarnya kita tak benar-benar memperoleh apa yang kita pertengkarkan.
Dalam konteks pilbup Sumenep, saya hanya ingin tegaskan:
ingat, kita lebih dahulu bersaudara dan berguru daripada adanya pilbup kali
ini. Pilbup Sumenep baru “netas” kemarin. Jangan hanya karena pilbup, ada sentimen
atau bahkan benci pada guru dan saudara. Jangan sampai menggadaikan sikap dan
hormat kita pada guru dan saudara hanya karena ingin junjungan kita menang. Politik
itu sesaat, tapi bersaudara dan berguru itu selamanya.
Jika pun junjunganmu menang, memang kau dapat apa? Jangan
membela orang mati-matian jika tak berani mati membela saudara dan guru. Dukung-mendukung
dalam politik memang tak ada yang gratis apalagi “ikhlas”, pasti ada
kepentingan dan juga ada kalkulasi untung-rugi di sana. Namun hidup kita tak
selesai hanya dengan urusan politik belaka.
Setidaknya berdamailah layaknya banner-banner politik
yang tersebar itu, meski atas-bawah tak masalah. Meski beda posisi tak saling
emosi. Beda pilihan boleh. Bodoh Jangan!
Rabu, 4 November 2020