Penulis: Fauzan Nur Ilahi
![]() |
Gambar: misst3ri.blogspot.com |
Sebab sejak awal mereka memang dengan sengaja menceburkan diri ke dalam kolam yang sejatinya tak mereka sukai. Sehingga yang terjadi, ketika kegiatan belajar dan mengajar dalam aktifitas perkuliahan berlangsung, mereka tak tertarik dengan aneka materi yang diberikan. Apalagi nanti, saat skripsi.
Sebanyak 284
mahasiswa/i di Jakarta telah diwawancara. Umur mereka berkisar antara 18 sampai
24 tahun. Dan hasilnya, 34,5% di antara mereka mengakui bahwa dalam satu tahun
terakhir memiliki pemikirian suicidal a.k.a bunuh diri. Yang menarik adalah,
penelitian yang diprakarsai oleh Benny Prawira Siauw Si ahli suicidal
(suiciodolog) dan kepala koordinator Into
the Light ini, adalah survei perihal relasi antara keruwetan masalah
akademis dan hasrat bunuh diri mahasiswa.
Tak hanya itu,
salah satu data yang dipaparkan oleh jatimnews.com menyebutkan bahwa, terhitung
sejak Januari hingga Juli 2020, sudah 3 nyawa mahasiwa/i yang melayang akibat
depresi karena persoalan akademis. Dan jika dirunut sejak tahun 2014, maka
angka bunuh diri di Indonesia mencapai jumlah 10 mahasiswa/i. Penelitian ini
lebih spesifik mengatakan bahwa musabab dari hilangnya nyawa 3 orang mahasiwa/i
tersebut adalah SKRIPSHIT. Eh, skripsi maksud saya. Maaf typo. Males mau
ngapus jadi yaudah biarin aja.
Mengacu pada
beberapa data di atas, saya sebagai mahasiswa kok jadi kepikiran. Apa tidak
sebaiknya peringatan akan bahaya kematian tidak hanya dipampang di
bungkus-bungkus rokok dan baliho tata tertib lalu lintas, tetapi pada
lembar-lembar skripsi juga. Di cover
bagian belakang, misalnya. Agar para
pembaca juga tahu bahwa dalam proses pembuatannya, bukan hanya kemampuan
menulis serta menelaah teks dan konteks yang dipertaruhkan, tetapi soal nyawa.
Nyawa, Bung! Ini soal hidup dan mati, lho. Selain itu, peringatan semacam ini
berfungsi untuk mengajak para calon mahasiswa agar mikir dua kali untuk nyebur
dalam pertarungan hidup dan mati ini.
Sebagai mahasiswa
saya juga mikir, kok ya sampai sampai segitunya sih. Gimana ceritanya ya kok
sampai tugas akhir atau skripsi atau apalah itu istilah lainnya, menjadi
semenyeramkan ini? Pertanyaan ini saya rasa penting untuk meninjau apakah
memang logika pembuatan skripsi sebagai tugas akhir untuk mendapat gelar
sarjana ini sejak awal sudah keliru, atau memang karena mental mahasiwa/i kita
saja yang maunya suicide-suicide mulu?
Dikit-dikit depresi, dikit-dikit bunuh diri. Nah, untuk menyisir sejarah kelam
skripsi inilah tulisan ini lahir.
Namun informasi
awal bagi seluruh pembaca yang budiman meskipun tak bernama budi, tulisan ini
jelas tak akan menyajikan teori-teori serius dengan istilah-istilah populer
yang padat, njelimet, dan kaku persis seperti BH baru. Saya akan
menelaah berdasar pengalaman dan bacaan pribadi, sehingga jangan heran jika
pembaca menemukan umpatan di sana-sini karena jelas itu merupakan ekspresi diri
sebagai mahasiswa tingkat akhir yang juga sibuk dengan skripsi.
Bias? Ya, memang.
Lha terus kenapa kalo tulisan ini bias? Ada masalah? Mau ngajak gulat?! Eh, maaf.
Terbawa suasana. Ya sudah. Lanjut...
Salah Memilih Jurusan
Dalam beberapa
kasus mahasiswa/i yang bunuh diri karena depresi atas skripsi, mayoritas di
antara mereka sejatinya karena tak bisa menikmati proses dari pembuatan skripsi
tersebut. Entah dalam fase pengumpulan bahan, penelitian, sampai ke tahap
penulisan. Rasa tidak menikmati ini bisa kita tinjau dari beberapa hal. Tetapi
yang jelas, salah satu alasan yang menurut saya menjadi faktor penting adalah
kekeliruan dalam memilih program studi (prodi).
Salah dalam memilih
program studi atau yang lebih akrab dengan istilah salah jurusan adalah
fenomena yang tidak baru dalam konteks masyarakat kita. Kompetisi serta
regulasi penerimaan mahasiswa baru yang ketat nun aneh karena menyaring mereka
yang memiliki kemampuan “di bawah rata-rata”, yang mana status “rata-rata” ini
juga kampus yang buat, serta ketidakberdayaan masyarakat kelas bawah untuk
menjangkau prodi yang mereka minati semisal Hubungan Internasional (HI),
Kesehatan, atau program studi elit lainnya, adalah beberapa persoalannya.
Sehingga banyak di antara kita yang memilih opsi lain: yang penting kuliah aja lah.
Mau prodi-nya di mana ya bodo amat. Sehingga yang terjadi adalah, masuk ke
perguruan tinggi dan memilih salah satu prodi bukan karena berminat, tetapi
lebih mengejar status kuliah saja.
Jika yang terjadi
demikian, maka kita tak mampu berharap banyak agar mahasiwa/i tak depresi. Sebab
sejak awal mereka memang dengan sengaja menceburkan diri ke dalam kolam yang
sejatinya tak mereka sukai. Sehingga yang terjadi, ketika kegiatan belajar dan
mengajar dalam aktifitas perkuliahan berlangsung, mereka tak tertarik dengan
aneka materi yang diberikan. Apalagi nanti, saat skripsi. Sudah barang tentu
mereka melaksanakan rententan dari proses perkuliahan bukan karena dasar ingin
tahu, tetapi atas dasar ingin lulus.
Langkah yang bisa
diambil dari mahasiswa/i yang bernasib begini ya tidak banyak. (1) Memilih
mengikuti alur dan menahan diri dari segala bentuk depresi, (2) menyerah dan
meninggalkan segala tugas-tugas kampus yang seringkali akhlaq-less a.k.a gak ada akhlaq a.k.a gak ada otak, atau (3) dan ini yang paling mudah:
bunuh diri.
Dengan premis ini,
maka angka 34,5% yang menunjukkan mahasiswa/i selama satu tahun terakhir
mengaku sempat berpikir untuk bunuh diri bisa kita mengerti. Karena itulah
langkah instan yang dianggap paling mudah dilakukan serta dianggap paling bisa
menyelesaikan masalah. Dengan bunuh diri bukan hanya persoalan skripsi yang
selesai, perihal kewajiban kita untuk makan dan bernafas pun selesai!
Administrasi dan Regulasi
Yang Pelik
Namun, selain
fenomena salah jurusan, ada hal lain yang juga pantas kita renungkan. Yakni,
administrasi serta regulasi akademik yang pelik. Membahas ini, saya jadi ingat
sambutan dari salah satu kakak tingkat di fakultas yang saat itu mewakili
wisudawan/i di sana. Dia berkata, “Harapan saya, semoga Fakultas Ushuluddin ke
depan lebih memberikan waktu kepada para calon sarjana agar mereka sibuk
membedah teori, menelaah konsep-konsep, buku atau temuan baru daripada hal-hal
yang bersifat administratif.” Perkataan ini pantas kita telaah.
Bagi para pembaca
yang pernah mengalami pendidikan di bangku perguruan tinggi dan lulus (ingat ya
LULUS. Kalian yang D.O. jelas tak masuk kategori), tentu akan mengerti bagaimana
peliknya regulasi dan administrasi yang ada di dalamnya. Bahkan kadang tak
masuk di akal. Mulai dari urusan surat menyurat, tanda tangan, bimbingan,
revisi, serta tetek bengek lainnya yang begitu menjengkelkan. Alih-alih sibuk
meneliti, kita justru sibuk dengan urusan-urusan sejenis ini. Dituntut pinter,
tapi waktu kita dihabiskan untuk hal-hal yang menjauhkan dari pengetahuan itu
sendiri. Kan aneh.
Sistem administrasi
dan regulasi yang demikian bukan hanya menghambat pengetahuan dan kelulusan para
calon sarjana, tetapi juga pasti mengundang depresi berlebihan sehingga banyak
di antara para mahasiwa/i yang memilih untuk hengkang dari perguruan tinggi
bahkan sampai bunuh diri. Lagipula, sibuk dengan persoalan regulasi dan
administrasi kan tidak sejalan dengan orientasi pendidikan yang hendak
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Administrasi dan
regulasi perguruan tinggi kita jelas perlu dievaluasi. Dalam beberapa konteks,
kecuali ide orientasi sistem pendidikan yang cenderung worker/laborer-oriented, saya sependapat dengan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang mengatakan bahwa para guru (dan menurut saya
ini juga berlaku bagi seluruh masyarakat yang aktif dalam kegiatan pendidikan
di Indonesia), tidak lagi sibuk dengan soal-soal admnisitratif. Karena
bagaimana bisa fokus dengan kerja-kerja pendidikan jika kesibukan mereka hanya
mengurus soal administratif? Jangankan mikirin pendidikan, bercinta saja tak
sempat. Ini udah mirip slogan yang sering kita temui di gerobak-gerobak truk:
sibuk kerja, tak sempat bercinta.
Asing dengan Aktifitas Literasi
Di samping
faktor-faktor di atas, tentu saja masih ada faktor lainnya. Misalnya, banyak di
antara para mahasiwa/i yang walaupun mereka duduk dalam bangku perkuliahan,
sejatinya mereka asing dengan kerja-kerja literasi semisal menulis, membaca,
diskusi, atau meneliti. Padahal skripsi tentu erat kaitannya dengan
aktifitas-aktifitas semacam itu. Dengan “bekal” yang tak cukup, ditambah dengan
faktor-faktor seperti yang sudah disinggung di atas, maka akan menjadi paket
lengkap untuk depresi dan bunuh diri.
Bukan hendak
menyalahkan mahasiwa/i, karena memang skripsi, yang erat kaiatannya dengan
kemampuan menulis, adalah pekerjaan sulit bagi mereka yang tak terbiasa. Keterampilan menulis tak datang
dalam semalam bak kisah Sangkuriang membuat perahu besar kepada Dayang Sumbi.
Keterampilan menulis perlu dilatih terus menerus. Itu pun tak semudah melepas
keperjakaan. Eh, membalik telapak tangan maksud saya. Bahkan salah
seorang penulis ulung sekali pun akan mengatakan bahwa menulis sejatinya bukan
persoalan mudah.
Maka tak jarang
bukan kita menemukan banyak di antara rekan-rekan kita yang lebih memilih
memakai jasa joki skripsi. Ya mau bagaimana lagi, toh walaupun hal ini keliru
secara kode etik perguruan tinggi, tetapi mau menyalahkan ya juga susah. Banyak
di antara mereka memang tak mumpuni dalam keterampilan menulis sehingga bagi
rekan kita yang tipe begini, lebih baik mendengarkan penjelasan orang, atau
paling tidak membaca beberapa buku daripada harus menuangkan isi pikirannya ke
dalam bentuk tulisan. Belum lagi mereka juga dihantui dengan kata D.O., maka
lengkap sudah penderitaannya.
Lantas bagaimana
langkah yang bisa diambil? Ya mau tidak mau jika Anda memutuskan masuk ke salah
satu perguruan tinggi, mutlak harus terbiasa dengan aktifitas literasi semisal
menulis ini. Atau kalau tak mau ya sudah tak usah masuk ke sekolah formal. “Lha, terus
bagaimana dengan nasib pendidikan saya?”, tanya Anda.
Gengs, pendidikan
itu tak terbatas pada sekolah formal loh ya. Saya ingat salah satu cuitan Ayu
Utami di Twitternya. Dia bilang begini, “Saya suka belajar. Tetapi tidak secara
formal”. Apa ini salah? Ya jelas tidak. Pendidikan dan sekolah itu adalah dua
hal yang berbeda. Sekolah belum tentu menerapkan nilai-nilai pendidikan, tetapi
yang menerapkan nilai-nilai pendidikan sudah pasti itu “sekolah” (dalam arti
yang sebenarnya).
Selanjutnya,
seperti yang saya sarankan di awal tadi, perguruan tinggi juga harus pinter.
Agar para calon sarjana dan calon mahasiwa bisa siap dengan segala aktifitas
perkuliahan, termasuk perihal skripsi, perlu juga dicantumkan di cover skripsi dan di brosur bahwa:
“tugas akhir atau skripsi dapat menyebabkan kepala Anda pening, muntah-muntah,
kurang darah akibat begadang, kantung mata menghitam, pilek, putus dengan
pacar, depresi, sampai bunuh diri. Jika Anda tidak siap, silahkan kembali dan
urungkan niat Anda untuk masuk perguruan tinggi!”
Sekian. (Bung)