Penulis: Rohman (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Indonesia adalah tanah surga. Apapun yang ditanam di atasnya, akan tumbuh sesuatu yang memberi berkah dan kemakmuran bagi manusia-manusianya. Tapi dari pandang saya sebagai anak petani desa, kalimat-kalimat itu menjadi terdengar klise.
Setiap hari, dulu saya melihat orang tua dan warga
sekitar bekerja di lahan pertanian. Dari kacamata ini, pertanian seakan
terlihat sebagai kerjaan warisan, sebagai penerimaan atas keadaan, dan
sewaktu-waktu ditinggalkan bila ada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Kata
‘menjanjikan’ di sini merujuk pada maksud menjanjikan secara ekonomi, memberi
kemakmuran, dan bisa menjamin masa depan. Akibatnya, anak-anak muda kampung
lebih memilih pergi ke kota atau negeri tetangga untuk mengadu nasib mencari
penghidupan yang lebih “menjanjikan”.
Situasi ini menggambarkan sepintas betapa pertanian di
kampung (mungkin tidak semuanya), tak diminati oleh kalangan anak muda. Tentu
saja, saat ini titik balik mulai terlihat, meski belum banyak.
*
Titik balik itu terlihat dengan mulai terlihatnya peningkatan minat dari kalangan anak muda kepada dunia pertanian, diiringi dengan pergeseran cara pandang atas dunia pertanian dari yang semula menempatkannya sebagai suatu pekerjaan kasar, tidak menjanjikan, dan tidak “keren”. Apa yang mendorong titik balik itu? Mungkin ada banyak hal, tapi setidaknya kita bisa mencatat beberapa hal.
Pertama, makin besarnya diskursus pertanian ditandai
dengan tumbuhnya perguruan tinggi-perguruan tinggi yang membuka program studi
pertanian. Bila dulu pertanian sekedar digambarkan sebagai interaksi manusia
dengan tanah, tanaman, dan musim. Saat ini, ilmu pengetahuan yang didorong oleh
institusi-insitusi pendidikan menghadirkan pertanian sebagai suatu ilmu dan
“skill”. Tanda susulannya, prodi pertanian di kampus-kampus mulai diminati oleh
anak-anak muda dari kota maupun desa.
Kedua, seiring itu, pertumbuhan teknologi juga memberi
perubahan bagi dunia pertanian. Dengan modernisasi di bidang pertanian dalam
wujud hadirnya teknologi, maka kerja pertanian bukan saja dipermudah oleh
otomatisasi teknologi, tapi juga perlahan cara kita melihat diri kita sebagai
petani bergeser. Petani bukan lagi sekedar kerja kasar berbalut tanah, tapi
juga butuh “skill”. Singkatnya, bertani adalah bekerja dalam terang ilmu
pengetahuan tentang pertanian.
*
Yang dibutuhkan adalah kehadiran pemerintah. Kita akan tetap menagih komitmen kehadiran negara bagi pertanian. Tamparan keras bagi kita semua yang mengaku sebagai hidup di negara agraris tapi dibayangi oleh kenyataan semakin mundurnya dunia pertanian. Banyak lahan yang tak lagi jadi tempat bercocok tanam, tapi dialihfungsikan untuk hal-hal lain, seperti untuk bangunan mewah, jalanan, dan lain-lainnya. Protes-protes petani yang lahannya direbut oleh korporasi, dan tak hadirnya negara di sana menjadi catatan mundur bagi dunia pertanian.
Seandainya pemerintah, baik pusat dan daerah, mau
memperhatikan dengan sungguh-sungguh sektor pertanian yang semakin
dianaktirikan, maka tak ada kata terlambat. Justru dalam suasana saat ini, di
mana dunia pertanian kian mendapatkan perhatian kalangan akademisi, makin
dilirik oleh kalangan anak muda yang makin sadar dan cinta pertanian, hadirnya
keberpihakan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya untuk pertanian menjadi
momentum luar biasa.
Saya sempat bahagia saat Jokowi bilang di salah satu
media: anak muda jangan malu jadi petani. Bayangan saya, pernyataan itu
dilanjutkan dengan langkah nyata kebijakan pemerintah untuk semakin memihak
para petani. Kebijakan itu bisa berfokus pada bagaimana mendorong produktivitas
petani, penyediaan pupuk, aktif meninjau hasil petani, melindungi harga hasil
pertanian di pasar, dan bentuk-bentuk keberpihakan lainnya. Singkat kata,
pemerintah harus “hadir” dalam mendorong sektor pertanian menjadi semakin maju
dan menjanjikan secara ekonomi.
Bila keberpihakan seperti itu yang dihadirkan pemerintah,
maka ajakan agar pemuda tidak malu jadi petani punya arti yang kuat. Sebab
titik balik kesadaran pemuda untuk bertani menunjukkan bahwa mereka mencintai
sektor pertanian. Hanya saja pemerintah mesti mendorongnya dan menunjukkan
bahwa menjadi petani juga bisa makmur. Sebab pemerintah hadir untuk berada di
sisi para petani.
Titik balik itu terlihat dengan mulai terlihatnya peningkatan minat dari kalangan anak muda kepada dunia pertanian, diiringi dengan pergeseran cara pandang atas dunia pertanian dari yang semula menempatkannya sebagai suatu pekerjaan kasar, tidak menjanjikan, dan tidak “keren”. Apa yang mendorong titik balik itu? Mungkin ada banyak hal, tapi setidaknya kita bisa mencatat beberapa hal.
Yang dibutuhkan adalah kehadiran pemerintah. Kita akan tetap menagih komitmen kehadiran negara bagi pertanian. Tamparan keras bagi kita semua yang mengaku sebagai hidup di negara agraris tapi dibayangi oleh kenyataan semakin mundurnya dunia pertanian. Banyak lahan yang tak lagi jadi tempat bercocok tanam, tapi dialihfungsikan untuk hal-hal lain, seperti untuk bangunan mewah, jalanan, dan lain-lainnya. Protes-protes petani yang lahannya direbut oleh korporasi, dan tak hadirnya negara di sana menjadi catatan mundur bagi dunia pertanian.