Penulis: Fauzan Nur Ilahi
Ternyata apa yang kita sebut kemajuan atau
perkembangan tak selamanya kita lihat sebagai hal yang positif. Kemajuan dan
perkembangan ini nampaknya hanya berlaku bagi kamus manusia.
DALAM masa yang banyak menyisakan waktu
luang ini, IR, banyak hal yang ingin aku tuangkan dalam tulisan. Syukur-syukur
kau dapat membacanya. Berbagai peristiwa yang kutemui di kampung halaman,
setelah hampir 5 tahun kadung betah di daerah asing, cukup membuat pikiranku
menyimpan banyak hal yang ingin sekali kuutarakan. Aku melihat banyak hal yang
sejak kecil begitu dekat denganku, tetapi belum sempat kurefleksikan,
kupikirkan dalam-dalam. Walaupun kini juga banyak muncul fenomena baru.
Selain itu, IR, waktu luang yang melimpah ini sangat berguna
buatku setidaknya untuk menonton berbagai film menarik, serta bercumbu dengan
buku-buku bagus yang belum kubaca. Pertemuanku dengan berbagai film dan buku
ini juga merangsang jemariku untuk menulis beragam komentar, atau hanya untuk
sekedar berbagi hasil bacaan dan tontonanku selama masa luang di kampung ini.
Nampaknya terlalu banyak hal yang ingin aku
sampaikan padamu ya, IR. Tetapi biar kau tak jenuh, akan kusebutkan beberapa
saja, IR. Selebihnya, mungkin akan kutuliskan dalam surat-surat selanjutnya.
Semoga sempat dan gairah menulisku memiliki umur yang panjang.
*
Pertama adalah tentang aktifitas membaca.
IR, dalam beberap minggu kemarin, aku sempat merasa bahwa hidupku terbilang
mandek. Stagnan. Aku bahkan semakin berjarak dengan buku, atau dengan notebook
sebagai media yang biasa kugunakan untuk menulis. Bahkan sekedar menulis
catatan harian pun, yang notabene sudah menjadi habit bagiku sehingga sehari saja tak menulis catatan harian, maka
perasaan tak nyaman muncul, itu pun jarang kulakukan. Otakku disesaki informasi
media sosial yang sejatinya tak kubutuhkan, serta kegiatanku terbawa kebiasaan
umum yang sejatinya sama sekali tidak mencerminkan diriku yang sebenarnya.
Kebiasaan manusia yang hidup di desa atau
kampung seperti di daerahku juga begitu, IR. Media sosial, internet, serta
teknologi nampaknya merombak banyak sekali aspek. Tiga hal ini nampaknya sudah
mampu memasuki sela-sela kehidupan kita. Tentunya termasuk bagaimana cara kita
hidup dan berinteraksi. Sehingga dengan kondisi yang demikian, sikap tidak bisa
lepas dari tiga hal tadi patut untuk dimengerti.
Sampai akhirnya pada satu titik aku merasa
sudah tidak waras, IR. Aku merasa otakku yang terlalu disesaki oleh medsos,
internet, dan teknologi yang pada dasarnya tak kubutuhkan, akhirnya menjadi
semacam tempat sampah. Waktu yang kuhabiskan untuk mengonsumsi hidangan dari
telepon genggam bahkan mengalahkan waktu yang kugunakan untuk menulis dan
membaca. Diskusi? Oh, aktifitas semacam itu tak bisa kita bayangkan seperti di
wilayah sekitar kampus, IR. Kegiatan diskusiku di sini mentok hanya ketika
berada di warung kopi atau saat ada pelatihan literasi saja. Selebihnya, ya
sekedar makan-berak-tidur semata.
Pada titik seperti inilah aku merasa harus
menarik diri agar kembali membaca. Dari kalimatku di atas kau mungkin akan
mengerti, IR, bahwa saat aku berkata “menarik diri agar kembali membaca” itu
bukan hanya soal menambah wawasan, tetapi lebih-lebih untuk menuju kewarasan.
Untuk menetralisir racun medsos, internet, dan teknologi yang kian lama kian
membuat candu.
Kau jangan salah sangka, IR. Aku tak
berkata bahwa tiga hal yang kusebutkan itu tidak berguna dan hanya membawa efek
buruk semata. Tidak, IR. Tidak. Aku hanya ingin bilang bahwa mengonsumsi secara
membabi buta apa yang disajikan medsos, internet, serta teknologi adalah opium
yang mematikan. Atau, dalam istilahku, membuat otakmu tak waras. Jadi
membacalah, IR. Setidaknya kau ada harapan agar otakmu tak gila. Ini pesan yang
juga akan kusampaikan ke anak-anakku kelak.
*
Hal kedua yang ingin kusampaikan adalah aku
ingin berbagi hasil bacaan. Dua hari lalu aku baru saja menyelesaikan buku
Sapiens-nya Harari. Cukup lama waktu yang kubutuhkan untuk merampungkan
pembacaan terhadap buku ini, IR. Karena selain porsi jam membacaku sedikit,
beberapa bulan terakhir ini, seperti yang kusebut di atas, tak tekun membaca.
Ditambah buku ini memang cukup tebal, akhirnya aku baru menyelesaikannya dua
hari lalu.
Terlalu banyak informasi baru jika aku
harus menjelaskannya satu per satu. Jadi mungkin aku akan memaparkan beberapa
saja, IR. Yang aku anggap pantas kau baca, serta ingin sekali aku bagikan saja.
Buku ini cukup untuk menutupi kehausanku
terhadap sejarah kita, homo sapiens; para manusia. Tak banyak buku sejarah yang
kubaca, IR. Dan aku sangat bersyukur dapat berjumpa dengan buku satu ini.
Setidaknya, Sapiens masuk dalam daftar buku yang membuatku terkesan di samping
tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Aku dibuat tercengang dengan
penelusuran serta pemaparan Harari tentang sejarah kita, dari awal – artinya
masa di mana sejauh sejarah dapat menjaungkaunya, hingga masa di mana kita
hidup saat ini.
Sebagai orang yang sedari dulu tak
mengikuti perkembangan sains dan memang tak mendalaminya, aku tertegun dengan
pemaparan tentang perkembangan sains yang begitu cepatnya. Sains tidak hanya
mampu mengurangi angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit dan perang,
tetapi sains sudah sampai pada apa yang Harari sebut dengan proyek Gilgamesh –
satu mitologi yang menceritakan seorang raja bernama Gilgamesh dari Uruk yang
hendak menaklukkan maut. Ya, IR. Sains hari ini sudah sampai pada tahap itu.
Bahkan, teknologi yang merupakan anak
kandung sains, sudah berkembang sampai pada tahap menggabungkan antara
teknologi (non-organik) dan dzat organik semisal tubuh manusia (cyborg), atau
non-organik dengan non-organik semisal robot.
Beberapa kemajuan ini terjadi beberapa
milenium terakhir sejak manusia mengalami revolusi kognitif. Sungguh
perkembangan yang luar biasa bukan, IR? Aku bahkan tak mampu membayangkan
dengan pasti bagaimana kehidupan yang akan dihadapi anak-anak kita kelak?
Apakah mereka akan memiliki teman-teman robot – walaupun sejatinya saat ini
kita tengah berteman dengan robot-robot bernama HP, laptop/PC, kendaraan mesin,
serta teknologi lebih canggih lainnya? atau kita akan punah dan digantikan oleh
robot-robot ini? entahlah, IR.
Ini adalah penjabaran sekilas. Kau akan
menemui banyak peristiwa lebih mencengangkan jika memasuki penjelasan Harari
pada buku ini. Kau sangat mungkin akan membayangkan bagaimana jika pikiran kita
sebagai manusia mampu ditransfer ke dalam suatu rakitan besi/logam yang
disambungkan dengan kabel-kabel sehingga rakitan ini mampu memiliki kesadaran
semisal kita. Lantas apakah mereka layak disebut manusia, atau justru mereka
akan menganggap kitalah yang bukan manusia? Kau juga sangat mungkin akan
tercengang dengan suatu proyek yang disebut creyogenics – suatu proyek yang
menyediakan jasa menyimpan mayat (dibekukan) yang nantinya siap “dibangkitkan”
kembali apabila sains sudah mampu menjawab dan menaklukkan maut. Bagaimana, IR?
Kau berminat?
Tetapi di samping perkembangan dan kemajuan
ini, ada yang menarik, IR. Aku tak sabar menjelaskannya kepadamu. Begini.
Ternyata apa yang kita sebut kemajuan atau perkembangan tak selamanya kita
lihat sebagai hal yang positif. Kemajuan dan perkembangan ini nampaknya hanya
berlaku bagi kamus manusia. Sementara mahkluk atau spesies semisal badak,
harimau, landak, jerapah, tumbuhan, serta ekosistem di sekeliling kita justru
mengalami pengrusakan seiring dengan apa yang kita agung-agungkan dengan
“kemajuan” dan “perkembangan”.
Harari berbeda dengan sejarawan lain. Dalam
penjelasannnya, dia juga menyentuh persoalan kebahagiaan. Dia bertanya, apakah
kemajuan dan perkembangan ini juga membawa dampak kebahagiaan terhadap manusia?
Kau tahu apa jawabannya, IR? Jawabannya adalah tidak! Banyak data untuk
membuktikan ini, IR, dan aku sepertinya tak usah jelaskan di sini. Kau bisa
mencarinya di internet atau membaca bukunya langsung.
Dengan ini, kita nampaknya sudah harus
menafsir ulang tentang “kemajuan” dan “perkembangan”. Bukan untuk menolak perkembangan sains.
Menghalau perkembagan sains sama tidak mungkinnya dengan menghalau ombak di
lautan. Perkembangan sains bermula dari keingin tahuan dan keinginan manusia
untuk menaklukkan maut. Jadi tentu mustahil untuk menghindarinya. Akhirnya yang
bisa kita ambil, meminjam perkataan Harari, adalah dengan “mempengaruhi arah”
dari perkembangan sains itu sendiri. Artinya, kita tidak ingin sains hanya
menjadi alat pemuas kerakusan manusia, tetapi lebih jauh dari itu, sains juga
menjadi jawaban dari kerusakan ekosistem kita.
Walaupun, IR, rasa-rasanya bermimpi dunia
yang nir ketidak-adilan serta nihil kerusakan nampaknya mustahil. Sejarah telah
membuktikannya. (Bung)