Penulis: Ludiro Prajoko
Lelaki ini, tampaknya nyentrik. Nama lengkap: Abimael Guzman Reynoso. Gemar dipanggil Gonzalo, dengan ‘awalan’ Kamerad. Tentu bukan orang sembarangan. Asal usul kata kamerad, katanya, dari bahasa Russia. Memang, kata itu akrab bagi kalangan sosialis Marxian, dan nyaris menjadi ‘identitas’ kiri. Kamerad, kata seorang kawan, artinya: kawan. Maka, dulu, para tokoh Partai Komunis Indonesia, saling memanggil dengan panggilan kawan: kawan Aidit, kawan Nyoto, ……
Kamerad Gonzalo seorang Guru
Besar Filsafat di sebuah universitas di Peru. Filsafat: piranti lunak yang
penting bagi manusia dan kehidupannya. Kegunaannya tidak sekedar untuk memahami
dunia. Lebih dari itu, untuk mengubah dunia, kata Marx. Bagi Marx, filsafat tak
cocok diibaratkan sebagai burung hantu Dewi Minerva yang terbang ketika hari telah
beranjak gelap. Artinya, filsafat (selalu) tertinggal di belakang realitas.
Marx benar, dunia memang harus
diubah. Sebab, terlalu banyak ketidakadilan di dalamnya. Lebih-lebih jaman
revolusi industri yang ia saksikan. Lalu,
Marx merumuskan filsafat yang cocok untuk berkelahi: mengubah dunia secara
radikal, revolusioner, membabat habis! Bagaimana pekerjaan itu dilakukan? Marx
membangun sebuah jalan besar yang
direkomendasikan untuk dilalui: Sosialisme
ilmiah- Komunisme.
“Ada hantu bergentayangan di
Eropa, hantu itu: komunisme”, kurang lebih demikian kalimat pembuka Manifesto
Komunis yang ditulis Marx dan Engels tahun 1884. Tapi, ramalan Marx
meleset. Marx yakin, Jerman tahun 1884
sudah siap sepenuhnya menyelenggarakan revolusi, mengantarkan kemunculan hantu
ciptaannya untuk memenangkan kaum proletar: buruh! Seakan menggenapi nubuat
Peter Alexeyev, yang oleh Lenin disebut sebagai seorang buruh revolusioner besar,
sebelum diadili pada awal 1877: ‘lengan-lengan berotot dari jutaan buruh akan
diacungkan, dan penindas yang lalim, yang dijaga oleh bayonet-bayonet tentara,
akan dihancurkan menjadi debu’. Begitu petikan dari buku Lenin “Revolusi: dari
mana dimulai?.
Terbukti kemudian, revolusi hantu
Jerman menuai kegagalan. Tentu Marx tak berhenti meramal. Dalam ‘Komune Paris’,
kembali Marx meramalkan: Perancis,
Hungaria, Austria adalah tanah harapan, di mana hantu itu akan bermunculan.
Ternyata, hantu itu muncul di Rusia, tahun 1917. Susul menyusul hantu itu
bergentayangan di mana-mana dan, orang bengis selalu muncul, di sembarang
tempat, di hadapan kita.
Kamerad Gonzalo seorang komunis
yang gelisah. Tak bermaksud mengubah dunia, hanya Peru. Sebuah negeri di kawasan
Amerika Selatan. Jalan yang dilaluinya:
sebuah gang yang ditarik lurus dari jalan besarnya Marx. Nama gang itu, Sendero Luminoso: jalan setapak yang terang. Dan, kamerad Gonzalo, sungguh ugal-ugalan,
menerabas semua batas dan marka jalan ke-manusiaa-an.
Guru Besar filsafat memang tak
serta merta seorang filsuf, Sofia, Sufi. Karena itu, tak wajib kiranya berlaku
bijak, penuh kasih nan arif. Atau, jangan-jangan, dalam belantara filsafat,
tersedia juga aliran buat kelakuan yang melampaui batas: Bengisisme, Anti Humanisme-Radikal,
… Terserahlah, pokoknya rujukan
filosofis bagi para pembengis.
Awal tahun 60-an, Kamerad Gonzalo
bergabung dalam faksi pro Mao, sempalan gerakan komunis Peru pro Moscow.
Revolusi Kebudayaan dan Tentara Merah begitu memikat hatinya. Kamerad juga
terkesima menyaksikan perang rakyat Vietnam Utara, yang memaksa Amerika mengamuk
di Hollywood, menciptakan
perang-perangan dalam serial Rambo untuk menumpahkan dendam dan kekesalannya seraya mengembalikan ongkos perang yang
telah dikeluarkan.
Lebih dari seperempat abad,
dengan telaten, Kamerad Gonzalo membangunan pemberontakan. Ia memang seorang
yang dengan sepenuh hati melaksanakan tugas: merancang strategi Perang Rakyat
Peru. Kamerad mengemas Marx, Lenin, Stalin dan Mao, menjadi semacam kapsul agar
mudah ditelan rakyat Peru. Untuk pekerjaan itu, Kamerad mengikuti petunjuk
seorang tokoh radikal Peru: Jose Carlos Mariategui. Hasilnya: Partida Comunista Revolucionario-Sendero
Luminoso, Partai Komunis Revolusioner-Jalan Setapak yang Terang.
Menggantikan nama sebelumnya: Partida
Comunista Revolucionario-Bandera Roja, Partai Komunis Revolusioner-Bendera
Merah.
Namun, Kamerad Gonzalo akhirnya patah hati, lantaran tokoh-tokoh
utama Revolusi Kebudayaan di Cina: “Geng Empat” digebuk. Kamerad memutuskan
berpisah dengan Partai Komunis Cina. Salam perpisahannya menakjubkan: Kedutaan
Cina, juga Soviet di Ibu Kota Peru, Lima, serentak meledak dalam satu malam.
Sendero Luminoso unjuk bom.
Sendero memang mengorganisasikan pasukan teroris, dan
hidupnya bergatung pada pohon coca. Tak aneh, 60 persen cocaine di pasar dunia
dipasok Peru. Bisnis itu menjadi sumber pendapatan yang ajeg. Di lembah
Huallaga, di mana hamparan coca tinggal dipanen, ribuan petani patuh. Sendero
melindungi mereka dari upaya penghancuran sarana produksi cocain oleh
pemerintah Peru maupun Amerika.
Sendero juga mengatur pembagian lahan, pembayaran coca
petani, dan negosiasi harga dengan kartel-kartel Columbia. Mengontrol lebih dari
300 ribu hektar kebun coca, bandara, dan memungut sejenis pajak ekspor. Dari
varia usaha itu, Sendero belanja senjata di pasar internasional, juga dari para
petinggi tentara yang korup, yang menjual senapan layaknya kembang gula.
Selama 12 tahun perjuangannya, 23.000 jiwa melayang, kembali
ke rumah Bapa. 4.000 orang tak tentu rimbanya, lenyap. Sendero memang memiliki
pasukan perang. 3-5 ribu tentara siap tempur sewaktu-waktu, plus 6-10 ribu
gerilyawan paruh waktu. Dalam keseharian, Sendero tampil sebagai alternatif
pelayanan masyarakat dengan mengelola pendidikan, budaya, perawatan kesehatan,…
disela-sela menyabot listrik, jembatan, dan tentu saja perusahaan asing.
Pembunuhan terhadap pegawai pemerintah, guru, pemimpin sipil
dan politik, dan siapa saja, berlangsung tanpa a..i..u.. Dengan cara itu,
Kamerad Gonzalo yakin, seluruh bangunan negara akan segera ambruk. Editor koran
Sendero di luar negeri, El Diario
International, merangkap penanggungjawab propaganda Sendero di manca
negara, Luis Arce Borja, memberikan keterangan: Pada tahap Strategic defense (1980-1989), 35 ribu orang telah dibunuh. Pada
tahap berikutnya, strategic equilibrium,
dimana kekuatan Pemerintah dan Sendero berimbang, Ia menaksir sejuta rakyat
Peru bakal tewas.
Kamerad, mengapa harus begitu banyak tumbal? Mengapa harus
ada begitu banyak manusia bengis? Di Peru, jawabannya menggetarkan hati. Mari
kita ikuti penjelasan Sang Kamerad: “Berkenaan dengan kekerasan, kami memulai
dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan Kamerad Mao: kekerasan adalah hukum
universal, tanpa kecuali! Tanpa kekerasan yang revolusioner, kita tak akan bisa
mengganti satu kelas dengan yang lain. Dan, revolusi Peru akan sempurna,
setelah rakyat menyeberangi sungai darah”.
Peru, sebuah negeri yang, waktu itu, menjadi ajang kebrutalan
tentara, ketakbecusan polisi, kemiskinan yang parah, korupsi yang merajalela,
ketidakadilan dan ketimpangan yang akut, tidak hanya ladang subur bagi coca,
tetapi juga komunisme, revolusi, kebengisan,
….
Alhamdulillah, Puji Tuhan, kita tidak seperti Peru. Sebab, kita
tak punya perkebunan coca.