Penulis: Kanjat Sayuti
Bagi lelaki itu, kalimat singkat itu adalah inti dari segala projek filsafat yang ia tuangkan dalam penelitiannya. Bagaimana tidak, jauh sebelum seminar proposal, bahkan jauh sebelum tema skripsi ia temukan, kalimat itu telah ia tulis sebagai ‘kata pengantar skripsi’.
*
Kita mengenal Dedy Ibmar sebagai jendral
filsafat dari Ciputat. Bayangkan saja, Di usianya yang belum tua (tua-muda, nanti jadi perdebatan tersendiri), bukunya telah
terpampang hingga Gramedia, diundang dari kampus ke kampus lain, hingga
seringkali tampil bersama nama-nama besar seperti Rocky Gerung, Franz
Magnis-Suseno, dan Fahruddin Faiz.
Yang tidak kalah keren lagi, saat ini ia tercatat sebagai
mahasiswa S2 filsafat di Rusia, negara yang banyak melahirkan filsuf dan
sastrawan.
Tapi di luar pencapaian keren itu, ada hal yang bagi saya
sebagai temannya, jauh beribu kali lebih keren (tapi harus saya tambahkan: juga tak kalah sedih) dibanding semua capaian di atas itu, dan semua warga Ciputat
tau itu: lelaki ini penuh kisah mencinta yang menyayat!! (Ini yang buat dia
jomblo sampe sekarang).
Maka pantas saja jika Abdullah SP kembali mengemukakan
dalam tulisannya sebelumnya “Tanggapan Tak Serius atas Cerpen TentangPenolakanmu Dulu”.
*
“Teruntuk kau senjaku, terima kasih atas senyummu yang
paling indah”.
Bagi lelaki itu, kalimat singkat itu adalah inti dari
segala projek filsafat yang ia tuangkan dalam penelitiannya. Jauh sebelum seminar proposal, bahkan jauh sebelum tema skripsi ia temukan,
kalimat itu telah ia tulis sebagai ‘kata pengantar skripsi’.
Dan sepanjang riwayat skripsi itu, hanya kalimat itulah
yang tak pernah mengalami revisi sama sekali.
“Kamu tau ga kalimat mana yang paling filsafat di skripsi
ini?”
“Yang mana?”
“Kalimat ini”, ia tunjukkan kepada kekasihnya.
“Fokuslah skripsi setelah itu datang ke rumahku bersama
keluargamu”, dan larutlah mereka dalam kebahagiaan yang manja.
*
Hari yang ditunggu hampir tiba. Lelaki itu memeluk skripsinya. Dari wajahnya memancar bahagia. Satu tahun ia berjuang merampungkannya di tengah ancaman D.O.
Tapi segera wajah itu berganti redup. Ia menyadari satu
hal: ia harus menghapus sederetan kalimat di halaman persembahan yang berisi
pujian kepada sang kekasih yang telah menjadi milik orang lain.
“Teruntuk kau senjaku, terima kasih atas senyummu yang
paling indah”.
Kalimat ini adalah inti, ia adalah muara dari segala
skripsi itu. Lelaki itu bahkan tak kuasa menghapusnya, meski ia menyadari, kalimat
itu sudah pupus, kalimat itu harusnya lebih pantas berada pada skripsi orang
lain dibanding dia. Kalimat itu harusnya pergi bersama dengan kepergian
kekasihnya.
“Kesetiaan yang anjing” umpat lelaki itu.
Dengan perasaan kesal, sedih, dan benci, beginilah hasil
perubahan pengantar skripsi itu. (Ini real, pengantar ini bahkan masih bisa
diliat di Repositori UIN Jakarta.
“Penelitian ini sedikit banyak bahkan menjadi saksi
betapa pahitnya dunia mahasiswa. Semisal adanya ungkapan ‘Fokuslah setelah itu
datang ke rumahku bersama keluargamu’ dan ternyata berakhir pada kalimat ‘kau
bukanlah orang dari doa-doa ibuku selama ini’. Efeknya ialah, menjadi mustahil
bagi saya untuk mengulangi kesalahan mahasiswa umumnya, yakni menulis nama
seseorang pada lembar ini dengan kalimat cinta serimbun beringin, harapan
setinggi angkasa, tapi ternyata pupus di tengah jalan. Padahal skripsi
terlanjur abadi menghuni rak perpustakaan”
Dan belakangan saya tahu bahwa perubahan pengatar skripsi
itu tidak diubah di laptopnya, tapi komputer fotokopi pesanggrahan.
**
Setahun telah berlalu, Kini beberapa lembar dokumen keberangkatan menuju Rusia berada di tangannya.
Hampir tak pernah lagi dia berkomunikasi dengan mantan
kekasihnya: tak ada sapaan-sapaan rindu, berkasih-kasihan dengan intim apalagi.
Dan hampir setiap malamnya, sebenarnya lelaki itu selalu mencoba untuk
menghubunginya, tapi sayang, tombol ‘hapus’ pada keyboardnya selalu menang
melawan tombol ‘kirim’.
Dapatkah lembar-lembar ini menjadi alasan untuk saling
merekayasa pertemuan? Setidaknya untuk pertemuan terakhir? Gumamnya.
Tak butuh waktu lama, ia buka media sosial dan perlahan
mengetik pesan singkat kepada pujaannya. Kali ini, tombol ‘kirim’ benar-benar
ia pilih.
“Bisa kita bertemu malam ini? aku mau bicara”.
“Boleh, aku juga mau bicara” Balas mantan kekasihnya.
Dalam perjumpaan malam itu, mereka menjadi dua orang yang
hemat bicara. Mereka lebih banyak dihinggapi kekosongan.
“Maafkan aku”, perempuan itu memulai.
“Aku bertemu seorang lelaki, dia baik kaya kamu …” dan
sederet kalimat lainnya yang tak terduga tapi cukup menghunjam kekokohan
dirinya.
“Maaf kak, aku mau nikah di Januari”.
Dan kalimat akhir ini yang paling menusuknya. Ada air
mata yang menggenang tapi ia tahu ia tak boleh menangis.
Kalimat-kalimat ini adalah hal yang ia hindari, sehingga
ia memilih untuk ‘kabur’ ke negara lain. Tapi di ujung jerih payahnya yang
hampir berhasil itu, lelaki itu kembali tersungkur di hadapan perempuan yang
sama; senja yang menurutnya perpaduan antara Nabila JKT48 dan Dian Sastro.
Jika Dedy Ibmar hari ini muncul sebagai simbol Filsafat
Ciputat, justru dia lah orang yang ingin menghilangkan Ciputat, terutama dari
peta hidupnya.
Hari yang ditunggu hampir tiba. Lelaki itu memeluk skripsinya. Dari wajahnya memancar bahagia. Satu tahun ia berjuang merampungkannya di tengah ancaman D.O.
Setahun telah berlalu, Kini beberapa lembar dokumen keberangkatan menuju Rusia berada di tangannya.