Penulis: Robinsons H. Balamau
Dalam negara yang
menganut sistem demokrasi, sejatinya kedaulatan berada di tangan rakyat. Jadi,
rakyatlah yang punya kuasa. Sedangkan pemimpin (pemerintah) sejatinya adalah
pelayan. Tentu saja mengulang-ulang terminologi ini terdengar sebagai suatu
yang klise. Sebuah repetisi yang sebenarnya membosankan.
Tapi apa daya,
meskipun itu klise, kita tetap patut untuk terus mengulanginya. Sebab kenyataannya,
nilai-nilai dan semangat yang berada pada demokrasi belum sepenuhnya
terimplementasikan secara sungguh-sungguh. Banyak persoalan berkait kepentingan
rakyat (kepentingan umum) yang banyak tersandera oleh kepentingan elit. Masalah
inilah yang membuat semangat dari demokrasi perlu senantiasa diulang-ulang.
Dengan mengulang-ulang
terus agar semangat demokrasi ini diingat bahwa sesungguhnya rakyat adalah
pemilik kedaulatan tertinggi, bahwa seluruh wilayah yang berada di bawah
cakupan NKRI ini semestinya seluruh SDA-nya dimanfaatkan sebesar-besarnya demi
kepentingan rakyat. Inilah esensi dari kita tak bosan-bosan mengulang-ulang
esensi di balik demokrasi – andai saja kita masih sepakat bahwa demokrasi belum
membeku sebagai sekedar jargon belaka, tapi semangat.
Kopra (sebuah)
Anugerah?
Maluku Utara adalah salah satu wilayah Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam
yang melimpah. Salah satunya tentu
saja kelapa (kopra). Bahkan Maluku Utara dijuluki sebagai wilayah dengan komoditas
unggulan ini.
Tentu saja ini anugerah
yang menggembirakan. Sebab, dengan bergantung pada komoditas ini, masyarakat Maluku
Utara benar-benar terbantu, tersejahterakan secara ekonomi.
Tapi tahun 2017, bencana kapitalis hadir
dengan pola yang jahat dari sektor perdagangan. Hadirnya bikin harga kopra anjlok dan kemudian membuat petani terpukul
dari berbagai segi kehidupan. Dari aspek pendidikan, ekonomi, dan sosial. Bencana tersebut berlanjut sampai tahun 2018 dengan judul yang sama (anjloknya
harga kopra).
Dalam situasi ini,
Karl Marx benar bahwa keadaan membentuk kesadaran. Masyarakat yang gelisah dan
ditopang oleh masifnya konsolidasi kelompok elit-intelektual (mahasiwa) mengakibatkan
meletupnya gerakan massa. Seluruh wilayah Maluku Utara dibanjiri massa. Ini
sebuah alarm bagi para elit pemerintah untuk menengok lagi sejauh mana mereka
mengimplementasikan semangat demokrasi dalam konteks membagi kepentingan bagi
rakyatnya?
Belajar dari Gerakan
Massa di Era Orba
Gerakan massa yang
membanjiri wilayah Maluku Utara terutama dalam konteks menuntut keberpihakan
pemerintah agar mengupayakan kesejahteraan bagi petani kopra dan lain-lain
hanyalah gambaran kecil dari letupan-letupan yang pernah terjadi di masa lalu.
Bila mengacu pada
gerakan massa di masa 1998, soal utama yang membuat gerakan itu menjadi begitu massif
dan dahsyat terletak pada watak pemerintahannya yang zholim dan oligarkis. Rezim
dengan watak itu akhirnya digulingkan.
Apa yang bisa
ditangkap oleh pemerintah dalam konteks ini, terutama pemerintah Maluku Utara,
jangan sampai watak oligarkis dan zholim yang dimiliki orba justru diam-diam
diawetkan oleh pemerintahan hari ini. Kasus keberpihakan pada para kapitalis
yang merugikan petani kopra bisa dibaca sebagai potensi ke arah sana. Tentu
saja kita tak ingin ini terjadi.
Bukankah pasca
digulingkan rezim Orba, semangat baru yang kita gaungkan melalui jargon-jargon
reformasi adalah semangat yang menolak praktik otoritarianisme dan oligarkis? Bukankah
reformasi mengupayakan tegaknya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan wujud pemerintahan yang mandatnya berasal dari rakyat. Sebab
itu, rakyat disebut sebagai mandataris.
Sebab itu, layak sekali bila di era – yang disebut
– pasca reformasi ini, rakyat masih diam-diam mendapati praktik-praktik yang
jauh dari semangat demokrasi, di mana pemimpin memanfaatkan aparatur represif
dan ideologis sebagai garda depan pembantai rakyat dan pengekal kekuasaan untuk
segelintir oligarkis. Kita tak
ingin melihat watak itu diam-diam menghambat semangat demokrasi kita.
Makanya, rakyat
wajar mengingatkan itu melalui berbagai cara, termasuk gelombang protes.
“Didiklah rakyat dengan pergerakan,
didiklah penguasa dengan perlawanan”, demikian kata Marco Kartodikromo dalam novel
Student Hidjo.
Pilkada Halut
2020; Momentum Rakyat Mengingatkan
Pada tahun 2020 jadi momentum penting bagi rakyat untuk menentukan
pemimpin yang tepat yang jauh dari
watak oligarkis. Tahun 2020, tiap daerah akan menyelenggarakan pilkada. Di
sinilah, kuasa rakyat hendaknya mengambil peran penting, termasuk masyarakat
Halmahera Utara. Pilkada adalah ruang politik rakyat dalam
menentukan pemimpin yang akan menahkodai bahtera kabupaten ke arah yang lebih baik.
Tapi bisakah rakyat
mengambil langkah penting dalam momentum ini? Untuk menghindari pikiran pesimis,
maka kita harus yakin bahwa rakyat Halut bisa mengambil momentum yang baik. Kita
harus berusaha untuk menghindari kooptasi elit yang sekedar berkontestasi untuk
kepentingan sesaat saja.
Dalam hal ini, rakyat
mesti tercerahkan. Momentum politik harus jadi momen untuk meningkatkan
kesadaran rakyat agar tak jatuh pada sekedar momen seremonial belaka. Pilkada bukan
saja sekedar memilih pemimpin, tapi rakyat harus punya kesadaran bahwa pemimpin
yang dipilih hendaknya yang punya keberpihakan kepada masyarakat.
Tantangannya adalah
bagaimana rakyat mengujinya. Maka mau tak mau elemen elit-intelektual mahasiswa
harus bergerak untuk menjadi tameng idealisme yang menjadi pencerah bagi
mereka. Bila dalam momentum pilkada ini, konsolidasi kekuatan rakyat dan
elit-intelektual tidak bersatu untuk mendorong kepemimpinan yang berkualitas,
dan berpihak kepada rakyat, maka momen pilkada ini menjadi sia-sia.