Penulis: Max Tole
Ini tulisan serius.
Bahkan lebih serius dari jurnal di J-Stor itu. Ini adalah ungkapan diri, yang
aku yakin mewakili banyak orang yang memiliki profesi yang sama denganku: joki
skripsi.
Sampai sejauh ini,
aku tak pernah menilik sejak kapan profesi ini muncul. Pada masa revolusi
agrikultur dulu, jelas jasa joki skripsi tidak ada. Selain budaya aksara masih
belum lumrah, memang petani mana yang butuh dengan jenis manusia yang rela
berlelah-lelah menulis hanya demi sesuap makan semacam itu. Tangan lihai
penulis joki skripsi jelas tak penting bagi masyarakat yang kala itu profesinya
lebih kepada sektor agrikultur.
Jadi paling
mungkin, profesi ini muncul pada masa pasca revolusi industri. Di mana, sesuai
dengan premis Yuval Noah Harari, pekerjaan mulai bergeser dari yang semula
terfokus pada sektor agrikultur, industri, kemudian jasa. Masa itu, tentu saja
budaya aksara juga sudah mulai dikenal bahkan sudah lumrah di kalangan manusia
di samping budaya komunikasi oral.
Tetapi persetan lah
dengan kapan profesi ini mula-mula muncul. Umur profesi joki skripsi nampaknya
setua rasa malas dan kebodohan dalam diri manusia. Dua hal yang bagi sebagian
orang nampak negatif, tetapi, justru anugerah bagi mereka, para joki skripsi.
Karena jelas
mustahil akan muncul profesi ini jika semua manusia pandai dan rajin. Takkan
ada jari-jari lentik joki skripsi yang walaupun ogah-ogahan tetap menulis atas
nama cuan, jika tak ada kemalasan dan kebodohan dalam beberapa jenis manusia.
Maka, sebagai
manusia, marilah kita rayakan segala bentuk ketidaktahuan dan kemalasan yang
kita miliki. Bukankah atas dasar dua sikap ini pulalah segala macam teknologi
di kehidupan kita ini muncul?
Kita malas berjalan
maka muncul kendaraan. Kita malas menghitung maka muncul kalkulator. Kita malas
mengingat segala hal, maka muncul komputer dan segala alat untuk menyimpan data
penting dalam kehidupan umat manusia. Semua ini berawal dari rasa malas dan
kebodohan umat manusia.
Jadi, selain
menguntungkan bagi para penulis joki skripsi yang menderita, kebodohan dan
kemalasan juga berguna bagi kehidupan kita.
Dalam konteks
profesi ini, nampaknya sukar kita berdebat soal apakah ini profesi yang baik,
atau justru membawa petaka atas kehidupan umat manusia; apakah ini profesi yang
menolong, atau justru menyuburkan kebodohan kepada masyarakat kita.
Jangan dulu
berdalil ini termasuk tindakan kriminil atas nama etika jurnalistik atau
peraturan perguruan tinggi yang bilang demikian. Jangan! Kita perlu seperangkat
filsafat etika yang cukup kompleks untuk membahas perihal ini.
Pasalnya begini,
menulis itu bukan perkara gampang. Menulis skripsi apalagi. Jika kita menolak
bahwa kemampuan menulis itu taken for
granted¸ maka kita nampaknya akan setuju kalau kemampuan menulis itu perlu
latihan yang tak sebentar dan membutuhkan waktu yang lama untuk mampu
menguasainya. Jadi sangat wajar apabila muncul banyak mahasiswa yang enggan
atau kadang memang tak mampu untuk menulis skripsi.
Pun ada pula yang
memang karena alasan kerja, sibuk urus keluarga, sibuk urus istri, entah istri
sendiri atau istri orang, mereka akhirnya tak sempat menulis skripsi. Maka
duhai pembaca yang budiman, di sinilah letak urgensi joki skripsi. Dia bak Sakh
Rukh Khan yang menjadi pahlawan dalam film-film bollywood bagi mereka, kriteria
manusia seperti yang telah kujelaskan.
Alhasil, kita, para
joki skripsi, berada pada posisi yang dilematis: antara baik dan buruk, antara
jahat dan tidak. Mayoritas orang menganggap bahwa profesi ini buruk hanya
karena ini: kebohongan atas suatu karya. Lha lantas jika memang si joki skripsi
tak pernah mempermasalahkan
karyanya “dibajak”, kenapa malah kalian yang repot?
Tetapi biarlah. Toh
mau dijelaskan bagaimanapun, profesi ini tetap saja dianggap “minus”. Beda
dengan profesi yang juga menjual jasa lainnya semisal pengacara. Padahal kita
tahu sama tahu bahwa pengacara juga bukan profesi yang absen “minus” jika mau
lebih kritis. Kecuali pengacara yang masih memiliki idealisme tinggi (bisa
dipastikan pengacara jenis ini miskin dan memiliki hidup yang miris).
Poinnya, hidup
sebagai joki skripsi sama sekali tak menarik. Hasilnya pun tak seberapa. Lebih
banyak lelah, emosi, serta waktu yang tumpah daripada “gaji” yang didapat.
Walau sudah begini, masyarakat tetap saja masih membebani kami para joki
skripsi dengan cap-cap tidak baik. Ah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Udah
gitu, tangganya besi dan lipet dua pula. Sialan!
Oleh karena itu, jika
dulu, filsuf Yunani, yang juga dikutip oleh Soe Hok Gie, pernah berkata bahwa
mereka yang paling beruntung di dunia ini adalah yang tak pernah dilahirkan,
atau paling banter adalah yang mati muda, maka di jaman industri atau istilah
yang lebih kekiniannya di era revolusi industri 4.0 ini, nampaknya manusia yang
paling beruntung bukan yang tak pernah lahir atau modar di usia muda, tetapi
mereka yang atas berkat dan nikmat Tuhan yang Maha Esa, telah dijauhkan dari
salah satu profesi yang dianggap berbahaya setingkat mata-mata: joki skripsi!