Tanggapan ‘Tak Serius’ atas Cerpen Tentang Penolakanmu Dulu

Penulis: Abdullah SP



Kawan saya ini seorang penulis filsafat. Tapi diam-diam, saya menemukan di dalam blog-nya, rupanya dia juga sempat patah hati (mungkin hampir gila), dan ia menulis cerita pendek. Sepanjang 452 kata. Cukup panjang untuk sebuah ponsel esia jaman baheula. Bila itu ditulis sebagai pesan pendek, mungkin butuh berkali-kali pengiriman.

Judulnya: Tentang Penolakanmu Dulu. Judulnya begitu jujur. Tak ada kata-kata bersayap untuk sedikit mengaburkan perasaannya itu. Penulis ini nampaknya memang sedang curhat melalui cerpen. Curhat yang gagah. Mungkin juga tidak.

Cerpennya diawali dengan kalimat: “Malam ini, malam yang begitu dingin, angin bertiup lembut, namun bau matahari masih begitu akrab pada jendela kamar”.

Aku membayangkan si penulis sedang duduk di depan kamar kosan yang terbuka. Kosannya terbuka. Lalu kegelapan menyergap dirinya perlahan-lahan. Dan seiring itu, angin yang baik membelainya. Jadi, dia menulis “angin bertiup lembut”. Kalau anginnya kasar, mungkin dia akan menulis begini: “angin yang bangsat menggaruk-garuk tubuhku yang menggigil kedinginan”.

Tapi tidak begitu. Dia nampaknya begitu menyukai angin malam itu. 

Tapi pada penggal kalimat berikutnya, dia menulis begini: bau matahari begitu …bla-bla-bla. Mungkin saja begini, saat malam mulai menyergap kosannya, rupanya matahari terlambat pulang. Lalu baunya masih melekat di kosannya. Ehmm, aku membayangkan matahari mungkin meninggalkan jejak keringat. Eh tapi, matahari macam apa yang bisa singgah ke kosannya, atau menyisakan jejak keringat di jendela kamar penulis ini. Jangan-jangan ini bukan matahari … Oh Tuhan, jaga pikiran buruk saya.

Lanjut – sambal ngopi. Kalimat berikutnya, si penulis bilang:

“Melupakan kekecewaan pada secangkir kopi yang malah dirayakan semut”.

Kubayangkan semut-semut itu datang berbondong-bondong ke kosan si penulis. Melewati sedikit celah di kamarnya, lalu menuju kaki meja, dan sampailah pada cangkir yang berisi kopi hitam itu. Semut-semut ini datang berduyun-duyun, dengan seluruh kerabatnya. Mungkin mereka datang atas instruksi kepala suku semut yang hidungnya begitu “luar biasa” dalam menghirup aroma kopi si penulis. Mereka terlihat begitu bahagia.

Mereka berpakaian rapi, barangkali. Dengan berbagai aksesoris. Sebab si penulis menggunakan kata “dirayakan semut”. Ya kubayangkan saja ini memang hari raya para semut. Kapan hari perayaan semut? Ya setiap kali ada kopi yang dianggurin (bukan anggur).

Pertanyaan pentingnya: apakah si penulis bahagia saat kopinya dicicipi semut sedusun? Si penulis tak menjawab. Ia membiarkan soal ini menjadi masalah filsafat. Mungkin suatu hari, dia akan menuliskan spekulasi filsafatnya tentang “mengapa kopi selalu jadi tempat perayaan para semut-semut?” Jika betul ia menulis ini, aku akan jadi pertama yang siap meminjam bukunya…hahaha.

Lalu dia melanjutkan lagi: “Tepat di samping gelas, terdapat satu bungkus rokok lengkap dengan korek api kayu yang biasa kugunakan”. Mungkin rokoknya hasil beli sendiri, bukan minta pada kawannya. Lagi, kalau dia minta batangan kepada temannya, dan rokoknya terbiarkan tanpa bungkus, mungkin dia akan menulis begini: “terdapat beberapa batang rokok yang telanjang”, atau “beberapa batang rokok yang dibiarkan tanpa busana” (astaga).

Baiklah, sampai di sini saja untuk deskripsi latar tempat dan waktu. Sebab nampaknya sudah bisa terbayangkan: si penulis menulis saat hujan (jalan masih basah…), pada suatu sore yang diserbu hujan. Nah, berikutnya: “tiba-tiba lamunanku berubah menjadi melankolis”, nah di sini penulis mulai diserang kegalauan yang haqeuqeu. Dengan gawat dia menulis: “Pikiran itu menyerang dan menusuk hati hingga membuatku menarik nafas panjang dan memejamkan mata”.

Andai kalimat terakhir itu ditulis di tahun 2020, maka si penulis auto disebut sedang didatangi segerombolan virus-virus nackal tak kasat mata bernama Covid-19. Bukan hanya mantannya yang menjaga jarak, tapi masyarakat seluruh republik ini. Tapi untungnya, tulisan ini lahir lebih awal dari Covid-19, dan kita tak jadi curiga atau ketakutan.

Lalu virus macam apa yang menyerangnya di tahun 2016, saat ia menulis kalimat ini? Ia menjawab: “Wajah itu…dengan jilbab menutupi rambut, mata yang tajam, kedua pipinya penuh, yang jika dipandang dari dekat maka akan tampak sosok gabungan antara Dian Sastro dan Nabilah JKT48”. Hmm rupanya seleranya tinggi juga ya.

Siapa sih yang mirip gabungan Dian Sastro dan Nabilah? Oh, rupanya wajah itu ia temukan di tengah acara OPAK. Ia melibatkan nama Tuhan dalam pertemuan itu. Relijius sekali ya. Seharusnya ini ketemu di musholla biar lebih kuat nuansa relijiusnya. Tapi nampaknya si penulis tak mengarah ke situ. Dia hanya ingin mengatakan bahwa: ini loh pertemuan yang --- ehmmm gimana ya ---- wow gitu, ga disangka gitu. Pokoknya … is magic.

Dan seperti cerita-cerita romansa lainnya, si penulis ini – yang hatinya sudah ditusuk mata yang indah gabungan Dian Sastro dan Nabila JKT48 – jatuh tersandung, terperosok, terguling-guling, ke dalam lumpur cinta. Sebagaimana pada umumnya orang jatuh, kau tak bisa ditanya apa alasannya jatuh. Pokoknya dia jatuh cinta saja. Begitu juga dengan si penulis. Jatuh cinta. TITIK (pakai huruf kapital semua).

“Yang pasti aku bertemu, bercengkerama, berdebat, hingga akhirnya aku jatuh cinta padamu”. Apakah cintanya bertepuk kedua belah tangan? Masalahnya di sini.

“Kemudian, suatu waktu, aku mencoba mengutarakan perasaan. Tapi sayang, meski betapa kuatnya kau mengetahui kedalaman cintaku, kau tetap tidak bisa menerimaku. Sikapmu yang diam disertai dengan tetesan air mata, kuanggap sebagai penolakan halus”.

Apakah si penulis berhenti mengejar perempuan gabungan dari Dian Sastro dan Nabila itu? Jelas kalau diriku sendiri – ya diriku yang ini – pasti kukejar perempuan itu hidup-hidup. Kucintai dia hidup-hidup. Dan betul dugaanku, si penulis juga tak lekas menyerah. Dia mengejarnya. Berkali-kali ditolak, berkali-kali terus tegak. Sampai akhirnya kisah yang aduhai menyempurnakan perjuangan mengejar cintanya. 

Nah sebelum pada kesedihan lagi, ngopi dulu sebentar. Jangan buru-buru mengakhiri kisah “ending”-nya suram. Oke, satu tegukan kopi lanjut lagi. Bagaimana kelanjutan cerpen ini?

Setelah menjalin hubungan layaknya Romeo dan Juliet-nya anak-anak kampus, si penulis dan kekasihnya yang separuh Dian Sastro dan separoh Nabila itu akhirnya terpisah lagi. Hubungan mereka bila dihitung dalam bulan, ya sekitar 6-7 bulan.

“Meski dalam hanya sekitar 6-7 bulan aku harus kembali kepada gelap dan menceritakan kehilangan”. Tuh, kan.

Akhirnya si penulis nampak sebagai lelaki pesakitan yang tobat. Kehilangan membuatnya jadi bijaksana. Setidaknya terlihat dari pengakuannya: “…mencintai adalah menerima... Aku akan membawanya seringan kapas untuk bergerak, sebebas merpati untuk tidak saling mengikat. Yang penting ia tahu bahwa aku menunggunya, aku membutuhkannya”. 

Dan terus… “Namun kini, cerita beserta angan-angan itu sudah berlalu. Entah apa yang sedang kau kerjakan. Tapi yang pasti kau pasti tidak sedang memikirkan cerita kita”. Begitu pesimisnya kalimat ini. Suram betul. Apakah ia menulis kalimat ini menggunakan tinta air mata? Pasti tidak. Kecuali yang mengalir dari matanya adalah cairan hitam.

Dan kesuraman kisah cinta si penulis ini berlanjut dengan pengakuan-pengakuan yang lebih jujur dan penuh sedu-sedan penerimaan: “perlahan kudengar kabar bahwa kau sudah menjalin hubungan dengan seseorang. Tentu itu kabar yang menyakitkan. Namun layaknya jagoan, aku berusaha untuk tenang dan sok cool. Kendati perasaanku remuk dan ragaku mengamuk”.

Sebentar-sebentar. Raganya mengamuk. Apakah ia membanting barang-barang berharga di kosnya? Itu pun jika ada? Atau dia membanting dirinya sendiri, jika ia menganggap dirinya sebagai barang berharga, eh?

Di akhir, si penulis bilang: “aah, jika mencintaimu adalah dosa, sudah pasti aku adalah orang pertama yang masuk neraka”. Kau pikir kau adalah masyarakat Comala dalam cerita novel Pedro Paramo (ditulis Juan Rulfo) yang menganggap neraka begitu dingin hingga mayat-mayat yang sudah mati harus kembali pulang dulu untuk membawa selimut ke neraka.

Paling akhir, si penulis mengaku cerpen ini ditulis setelah melintasi kosmu (Ngintip dulu ngga sih).

 

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form