Tiga Keberhasilan yang Tertunda untuk Jadi Jutawan MLM

Penulis: Ben Yowes


Bila orang bijak mengatakan kegagalan sejatinya adalah keberhasilan yang tertunda, maka dalam hidupku ada sekian kisah yang bisa dibilang keberhasilan yang tertunda. Entah sampai kapan tertundanya keberhasilan itu. Ini soal keberhasilan tertunda saya untuk menjadi seorang jutawan lewat jalur bisnis Multi Level Marketing (MLM).

Kisah ini sebelumnya sudah saya ceritakan kepada kawan-kawanku di suatu kedai Kopi, Sangkopas, di Yogyakarta. Sebagai seorang yang ingin didengarkan kisah sedihnya, sontak kawan-kawan di kedai itu menyambut cerita ini dengan ekspresi yang sangat jauh dari yang diharapkan: mereka tertawa “ngakak” atas faktor-faktor keberhasilan yang tertunda ini.

Untuk memperindah cerita kegagalan (terlalu panjang menggunakan kalimat orang bijak: keberhasilan yang tertunda) ini, saya bagikan ke dalam tiga babak.

Babak Pertama

Kisah bermula saat aku lulus Madrasah Aliyah. Pikiran yang menggebu di benak seorang yang baru lulus MA adalah bagaimana bisa lanjut kuliah. Lanjut kuliah dengan tanpa membebani keuangan orang tua. Pikiran itu bersambut dengan momen saat kawan kelas mengajakku bertemu seniornya. Dia kuliah di Kanjuruan Malang. Singkatnya, kami datang ke rumahnya.

Pertemuan itu mengesankan. Senior kawan itu terlihat ‘keren’ di mataku. Pertama, dia masih muda. Nampak dia memperhatikan betul cara berpakaian. Sehingga nampak mengesankan. Kedua, saat ia mulai berbagi pengalaman, cerita-cerita dia begitu meyakinkan dan membuat diriku makin terkagum-kagum. Dia adalah seorang mahasiswa yang secara finansial sudah mantap. Tidak membebani ortu. Maka sampailah pada hal penting yang ingin dia bagi kepada kami.

Keberhasilannya dalam kuliah dan mantap secara finansial saat itu sebab ia bergabung dengan Amway. Apa itu? Amway adalah salah satu bisnis MLM dari Amerika Serikat. Dalam hampir berjam-jam, dia bercerita keberhasilan itu. Dia bercerita pengalamannya dari hidup susah hingga jadi sosok yang mapan secara keuangan. Dan itu berkat Amway.

Saat menyampaikan itu, dia begitu mantap. Meyakinkan. Dia bagikan kepada kami pola keberhasilan itu melalui metode bisnis yang dijalankan. Dia sampaikan produk-produk bisnis MLM itu, pola keuangan yg bisa bikin kita kaya. Dia rincikan sedemikian rupa matematika bisnis di hadapan kami. Waktu itu, saya belum mengenal Mario Teguh. Tapi dia begitu mengagumkan.

Di hari itu, aku demikian optimis dan mengutuk hidup yang hanya dihabiskan untuk menikmati kemiskinan. Secara tak langsung, dia mengajarkan kami untuk hidup ‘terencana’. Rencanakan hari-harimu agar bisa mantap keuanganmu. Rencanakan hari-harimu agar di kantongmu selalu ada uang melalui kerja keras di bisnis MLM itu. Hidup penuh keberhasilan secara ekonomi di hari tua. Jadi jutawan.

Saat aku sudah memahami dengan baik, dan dibawa melayang oleh optimisme yang terbang tinggi, aku disadarkan oleh satu syarat untuk menjadi orang sukses di MLM ini. “Kau hanya perlu memulai ini dengan membeli produk Amway ini?” sembari ia menyodorkan menu paket produk itu: ada pembersih muka, badan, obat-obatan dan lainnya.

“Membeli produk?”

“Ya”.

Punya produk hanyalah langkah awal. Selanjutnya, aku harus menemui beberapa orang lagi untuk aku prospek (sebetulnya doktrin untuk membeli ikut model bisnis ini dan tentu saja membeli produk itu). Orang itu harus membeli produk Amway itu dariku, dan seterusnya orang yang aku prospek harus lanjut memprospek orang lain dan agar mau membeli produk itu. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Model bisnis yang berjenjang-jenjang itu memang masuk akal. Tapi bagaimana dengan orang-orang di bawahku, maukah dia membeli produkku? Apakah aku bisa sepiawai itu memprospek orang lain? Kalo aku gagal memprospek orang lain, itu berarti aku tak dapat keuntungan dari bisnis itu dan produk-produk yang aku beli akan gagal? Atau kalau orang yang aku prospek gagal memprospek orang lain untuk jadi kaki-kaki bisnis dan seterusnya.

Semua pikiran itu melesat-melesat dalam pikiranku. Berbaur antara pesimis dan optimis. Keduanya saling bersaing. Tetapi yang membuatku tak dapat menjalankan bisnis itu: aku tak punya uang sebesar 250-500 ribu untuk membeli produk MLM itu. Maka harapan tinggal harapan saat itu.

Babak Kedua

Sewaktu aku di Yogyakarta, aku sudah hampir lupa dengan bisnis MLM. Tapi aku punya seorang kawan. Namanya F. Aku baru kenal dia. Dan perkenalanku dengannya karena diliputi kesamaan nasib: sama tak punya uang. Definisi tak punya uang: untuk makan susah. Harus pandai cari pinjeman sana-sini. Dan F, kawanku ini, sangat lihai dan piawai untuk meyakinkan orang lain agar mau meminjamkan duit untuk dia. Aku sebagai kawannya, tentu senang. Bisa menikmati duit pinjamannnya.

Suatu hari, dia berubah. Perubahan itu nampak dari caranya memandang hidup. Dia terlihat lebih optimis dan serius memandang soal ekonomi. Dia mulai terlihat menata masa depan dengan baik. Saat itu, nampaknya juga ia sudah melupakan kebiasaannya yang suka pinjam duit.

Perubahan yang lain tentu saja pada penampilannya. Dia lebih rapi. Ia nampak lebih segar, berwibawa, dan tentu sekali lagi – omongannya lebih serius. Dan selalu soal kalkulasi ekonomi. Ku dengar, dia juga mulai banyak memberikan nasehat soal masa depan dan ekonomi kepada kawan-kawannya. Dia sudah lagaknya macam orang berduit betul. Tapi dia tidak pernah mem-prospek temannya sendiri: aku.

Akhirnya aku tahu, tanpa sepengetahuan dia. Rupanya dia bergabung dalam bisnis MLM. Kalau aku tak salah namanya Duta Bussiness School (DBS). Waktu itu, banyak mahasiswa UIN Sukijo (Singkatan ngasal anak-anak untuk UIN Sunan Kalijogo) yang ikut bisnis MLM itu. Setiap sore, ada satu lingkaran mahasiswa di satu titik di kampus. Aku mencoba duduk di taman kampus yang tak jauh dari mereka. Aku dapat mendengar orasi para pemimpin bisnis MLM itu.

“Kita harus merencanakan masa depan kita…”, “Kita harus kejar mimpi-mimpi kita”, “Kemiskinan tidak boleh memasung kita, kita harus lepas dari kondisi ini”, kira-kira kalimat-kalimat macam itu yang aku dengar. Andai aku memang seorang jutawan MLM, dan diberi kesempatan berorasi di sana, aku akan teriakkan kalimat-kalimat ini: “orang-orang yang gagal merencanakan isi kantongnya dengan uang, sudah pasti gagal ngopi dengan menyenangkan”. Atau mungkin aku akan mengutip riwayat hidupku sendiri: “Tak kan pernah ada cerita tentang seseorang yang menipu pedagang angkringan dengan siasat duitnya terjatuh dan akhirnya memutuskan minta maaf dan ngutang, bila kita merencanakan hari depan dengan kantong yang tak kering dari uang”.

Sore itu, dan sore-sore yang lainnya, aku hanya bersemangat mendengarkan kutipan-kutipan kalimat penyemangat yang datang dari para pemimpin bisnis MLM yang sedang berorasi di halaman kampus itu. Andai aku bagian dari mereka – yang sudah punya produk sendiri, dan berhasil mem-prospek orang-orang di bawahnya, mungkin aku…bisa jadi jutawan. Tapi lagi-lagi, aku harus memulainya dari membeli produk dengan uang. Mungkin 250-500 ribu. Tapi aku tak punya uang. Aku lebih berani ngutang untuk makan daripada ngutang untuk bisnis MLM yang mencerahkan di masa depan.

Kawanku sendiri, si F ini, sudah berbulan-bulan menggeluti dunia bisnis MLM. Tapi akhirnya dia kembali ke asal. Tak lagi berdandan rapi. Dan omongannya tak lagi seserius ngomongin matematika ekonomi dan kantong uang di masa depan. Dan memang banyak terdengar desas-desus hal-hal remeh: manipulasi penampilan agar meyakinkan, meminjam properti berupa motor atau mobil mewah saat prospek orang lain, dan cerita-cerita lainnya.

Babak Ketiga

Saat berpindah ke Ciputat, rupanya MLM belum sepenuhnya berakhir. Ada saja kawan-kawan dekatku yang tiba-tiba memakai jas keren, sepatu pantopel hitam nyes-nyes, rambut dipoles, wajah segar, dan obrolannya mengagumkan seperti para motivator hidup.

Di babak ini, justru kawanku ini sangat aktif mengajakku untuk berubah, untuk menatap masa depan hidup yang lebih cerah lewat bisnis MLM. Kalimat-kalimat yang digunakannya begitu memaksa tapi ia – mungkin karena piawai ngomong – susah dibantah. Setiap kali aku berusaha mencari celah membantah, dia sudah sediakan berbagai macam alasan. Akhirnya aku menyerah.

Apakah aku ikut? Jelas aku ikut makan kalau dia ngajak. Ditraktir pokoknya. Aku terus-menerus menyediakan kuping ini untuk mendengarkan motivasi hidup, kalkulasi ekonomi masa depan, kantong agar selalu terisi, dan pensiun dini. Semua motivasinya menggetarkan. Tapi aku juga sudah mulai bosan dengan motivasi MLM. Sayangnya dia sahabatku sendiri. Maka sekali lagi, aku harus ikuti saja seluruh untaian bahasanya.

Apakah aku akhirnya ikut di MLM? Mirisnya di sini. Lagi-lagi, betapa pun tertariknya aku untuk ikut di bisnis ini, rupa-rupanya uang tak merestuiku. “Aku sangat tertarik, tapi belum punya uang. Bagaimana kalau untuk bisnis ini, beli produk ini, aku pinjem dulu duit dari kau, nanti aku ganti dua kali lipat kalau aku sudah sukses sebagai jutawan bisnis MLM ini?”

Kawanku nampak tak yakin aku bakal sukses. Makanya dia tak pernah mau meminjamkan uang untuk aku sukses di bisnis MLM. Atau mungkin dia memang tak yakin bahwa rantai bisnis MLM seperti ini tak punya prospek yang meyakinkan? Atau ia sendiri sebenarnya tak punya uang, kecuali cukup untuk traktir di warteg? Entahlah.

Pokoknya, seluruh kegagalanku untuk menjadi jutawan MLM disebabkan oleh satu hal: tak punya uang untuk membeli produk awal.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form