Main Mata Soal Nasib

Ditulis Ben Yowes

Piqsel.com


Ada satu ramalan “tak serius” yang muncul dalam satu obrolan santai tapi memiliki dampak yang luar biasa di masa depan. Jadi, aku berbicara tentang obrolan di masa lalu. Obrolan ini terjadi di dalam lingkar pertemananku di pesantren. Sebutlah dengan inisial-inisial saja. Ada S. Wajahnya agak bulat. Tubuhnya gendut. Ada L. Tubuhnya – saya sebutkan – gempal saja. Dan ia terlihat kuat untuk adu gulat. Di masa kini, ia dipanggil juragan. Ada M. Tubuhnya mungil. Tapi di antara kami, dia yang punya otak paling jenius (terutama kalau dikaitkan dengan komputer), paling komunikatif, dan hidupnya ditumpuki hutang-hutang untuk sekedar rokok. Ada diriku yang juga tergabung di sana (kurus, dengan rambut kayak hutan).

Lalu ada H. Paling tinggi di antara kita. Yang menonjol darinya: dia selalu tak ingin mengalah. Gengsi tinggi. Tapi cerita ini pada akhirnya berpusat pada dirinya. Sebab dia punya pacar, cantik, dan berasal dari desa – yang kami olok-olok sebagai – pedalaman. Waktu itu, kami terjebak pada pikiran tentang hirarki kota-kampung. Yang pertama lebih keren, modern, dan penuh kemajuan. Yang kedua tertinggal, tidak modern, dan penuh kemelaratan. Kami mengidamkan hidup di kota, beranak pinak di sana, dan punya profesi layaknya orang-orang kota, orang-orang modern.

Si S bercita-cita ingin jadi pejabat. Dia menyebut nama-nama jabatan yang mentereng: bupati, gubernur (seingatku, dia hanya menyebut dua itu, tak sampai jadi presiden – mungkin dia sadar, berimajinasi juga butuh sadar diri). Lingkaran kami menyetujui cita-cita si S. Tubuhnya yang gemuk, perutnya buncit, itulah alasan yang membuat cita-citanya masuk akal.

Lalu Si L. Dia ingin jadi pengusaha. Dia tak menyebut usahanya secara spesifik (barangkali dia juga tak tahu jenis usaha apa yang menurutnya bikin sukses). Pokoknya, dia menyebut dirinya kelak jadi pengusaha sukses. Kami lagi-lagi menyetujui. Bibinya L punya toko sembako. Ibunya sendiri pernah jualan rujak. Jadi, menurut kami, mungkin itulah yang sedikit membuat kami menganggap cita-citanya masuk akal.

Giliran M. Si mungil jenius ini. Sudah pasti kami setuju saja saat dia bilang dia nanti akan sukses dengan kejeniusannya, entah jadi perancang robot atau keahlian apapun yang berkaitan dengan kemenonjolan kejeniusannya itu. Aku sendiri juga membayangkan jadi pejabat, kadang jadi pengusaha, kadang jadi perantau yang sukses, pokoknya ada kata sukses. Itu saja. Terbayang saja kata sukses dan diamini oleh lingkaran kawan-kawan, aku sudah senang saja.

Persoalan muncul manakala giliran si H. Waktu si H bilang hendak menjadi pengusaha sukses, kami lantas sepakat tidak setuju. Dan kami – kecuali H – berkonspirasi untuk mengakali agar si H tidak punya cita-cita yang sukses. Kami saling main mata – kecuali si H. Kami benar-benar menikmati konspirasi itu. Si H kelabakan. Terutama saat kami saling menguatkan untuk menjatuhkan si H.

Bila disusun secara sedikit sistematis, mengapa H akan bernasib miskin, dan tidak sukses (seperti kita), alasan kami: sebab si H punya pacar, seorang perempuan yang berasal dari desa – yang kami anggap – tertinggal. Jadi jalan cerita yang akan membuatnya dia miskin adalah ikatan cinta dengan perempuan itu. Sebutlah inisial perempuan itu adalah Y.

Jadi si H ini kelak akan menikahi si Y, pacarnya – yang menurut kami cantik (kami sendiri iri sesungguhnya kok bisa-bisanya si tinggi H dan tak tampan ini bisa memperoleh cinta si Y). Dia akan tinggal di desa itu. Tiap hari – dalam prediksi kami – dia bersama istrinya bolak-balik dari rumah ke tempat taninya. Si H hanya akan jadi seorang petani. Suatu hari, kami – yang sudah jadi pengusaha, pejabat, perantau, dan ilmuan yang sukses – datang untuk reuni kawan lama. Kami mendatangi rumah si H. Sejak perjalanan, kami sudah dibuat susah dengan lokasi rumah di pedalaman yang bahkan “maps” susah mendeteksi lokasinya.

Singkat cerita, kami tiba di rumahnya. Rumah si H dan istrinya ini tak sebagus rumah kita. Rumah itu sederhana sekali. Beratapkan genting yang sudah dimakan usia, merahnya sudah pudar, dan ditumbuhi lumut. Dindingnya separuh terbuat dari anyaman bambu. Lalu saat kami sudah duduk di ruang tamu – yang sekedar duduk di hamparan alas dari anyaman daun lontar. Istri H menghidangkan kopi apa adanya. Lalu tak lama dari pintu terlihat anak kecil ingusan, kotor sekali, dan kakinya penuh dengan lumpur (lumpur juga nempel di bajunya), suatu pemandangan yang membuat kami bukan benci, tapi semakin sedih dan terketuk dengan nasib kawan bernama H.

“Bapak masih manjat kelapa”.

Kami semua saling bertatapan. Tapi kami mengiyakan saja dan menunggu kawan bernama H datang. Tak lama, ia datang dengan menyunggul beberapa kelapa. Wajahnya begitu semangat, dan senang sekali melihat kedatangan kami. Persahabatan lama tetap terpupuk. Tapi kami melihat garis-garis nasib telah membuatnya menjadi kurus, tua sekali, dan semakin tak tampan. Lagi-lagi kami tak terenyuh dan ingin sekali masing-masing memberi sumbangan sesuai tebal dompet kami yang sudah sukses ini.

“Tidak. Tidak mungkin seperti itu nasib saya”.

Si H berontak dengan gambaran masa depan yang kami karang-karang sesuai selera konspirasi kami untuk menertawakannya. Dia tidak terima dengan ramalan dan imajinasi hidup miskin seperti itu. Semakin si H marah-marah dan berkata dirinya akan mengubah nasib itu, maka kami semakin tertawa-tawa. Seolah suatu kelucuan tersendiri menertawakan kemiskinan yang akan menimpa kawanku ini, kemiskinan yang sekedar kami karang-karang sesuai selera imajinasi saja. Kami terus tertawa tanpa beban dengan karangan kemiskinan itu. Namanya juga karangan saja, dan tentu semoga tak jadi sungguhan. Hahaha.

Tapi rupanya, bagi si H, obrolan dan imajinasi ngalur-ngidul dimasukkan ke dalam hati. Tau-tau dia putus dengan si Y, dan ia tiba-tiba mendekati perempuan lain – dari kalangan orang kaya. Dengan bangga dia bilang: “prediksi kalian tidak tepat”. Dan kami yang tak terlalu peduli dengan bualan ngalor-ngidul itu hanya tertawa-tawa, tak ambil pusing. Akhirnya dia menikah dengan perempuan pilihannya, lalu mengejar ambisinya untuk menjadi orang kaya. Kudengar dia bolak-balik ke Arab, investasi sana-sini, macam-macam, dan bila ingat masa lalu tertawaan kami, rasanya ia sudah cocok untuk tertawa. Selain karena hidupnya sudah jauh dari imajinasi ngibul waktu itu, dia juga jauh melampaui kita. Hahaha.

Bila ku ingat lagi soal itu, maka ada beberapa hal penting. Pertama, kami merasa berdosa. Sebab ikatan cinta si H kepada Y akhirnya pupus gara-gara obrolan dan imajinasi ngalor-ngidul kita. Kita merusak cinta yang tulus dengan permainan imajinasi liar masa depan. Kedua, pikiran kita juga disesaki oleh penilaian hirarkis tentang kota dan desa/kampung. Padahal, penilaian seperti itu jelas tidak punya dasar yang kuat – terutama saat aku sudah membaca kajian-kajian budaya. Ketiga, ngalor-ngidul imajinasi waktu itu yang penuh intrik dan main mata untuk sekedar menertawakan si H rupanya membuat dia melaju lebih cepat ketimbang kita, dan kita sendiri yang kini seakan ditertawakan olehnya. Bila ku ingat itu: aku ingin tertawa. Betapa kami pernah meramal masa depan hanya untuk sebuah lelucon dan tertawaan.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form