Menyoal Tulisan: Sudahkah Saya Berpenampilan Layaknya Seorang Guru?

Table of Contents
Deni (Mahasiswa UIN)

Esai Rontal

Jika kalian pernah berkunjung di lantai lima Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), ada kalimat yang demikian menonjol dan memberi daya tarik. Letaknya di sebuah cermin sangat besar, di bagian atas. Kalimat itu ditulis dengan huruf kapital semua dan berwarna hijau.

SUDAHKAH SAYA BERPENAMPILAN LAYAKNYA SEORANG GURU? Demikian kalimat itu. Sebuah pertanyaan, dan nampaknya mengandung sebuah himbauan tentang pentingnya berpenampilan.

Cermin itu memang memberi daya tarik tersendiri bagi orang-orang untuk berswafoto di sana, khususnya mahasiswa PBSI. Sejak saya Maba (Mahasiswa baru) sampai mau menjadi MaBa (Mahasiswa Basi), cermin dengan kalimat yang menonjol itu hampir tak pernah sepi dari orang-orang yang datang untuk sekedar melihat atau mengabadikannya dalam swafoto (selfie). Teman-teman seangkatan, kating-kating, alumni, dan tak terkecuali beberapa dosen di sana juga turut mengabadikannya ke dalam beberapa akun media sosialnya.

Entah sudah berapa lama cermin tersebut berada di sana. Namun, sejak maba hingga saat ini, benda itu sudah ada dan masih ajek di sana beserta tulisannya yang berwarna hijau. Demikian besar dan mencoloknya tulisan itu. Kalimat itu seakan sengaja dibuat menonjol demi mudah terlihat dan secara terus menjadi instrumen yang efektif untuk memberi asupan imbauan secara diam-diam. Dengan kata lain, kalimat itu sebagai bagian dari kampanye terselubung dari sebuah ideologi yang memberi penekanan pada pentingnya penampilan seorang guru.

Ketika mengingat kata-kata tersebut, ada yang selalu terbesit dalam pikiran saya. Pikiran saya bergerilya dalam pertanyaan-pertanyaan: apa maksud dari berpenampilan layaknya guru? Kenapa harus mengedepankan penampilan? Apakah hal itu lebih penting bagi para calon guru (Cagur) atau para guru sekalipun dari perihal lainnya?

Meralat Pandangan Masyarakat tentang Sosok Guru

Jika merujuk pada pandangan masyarakat, tak susah memang untuk menemukan bahwa cara yang paling sering dan lumrah digunakan untuk mengetahui status profesi seseorang orang adalah dengan menyoroti pakaiannya. Preman selalu dipahami dalam kaitannya dengan pakaian robek-robek, celana bolong, berkalung rantai, jaket kulit (yang kadang juga bolong-bolong, meski ada sebagian juga yang tidak).

Profesi seorang dokter bisa terlihat dari penampilannya yang dibalut pakaian serba putih, jas putih, membawa alat-alat medis seperti stetoskop (dan lainnya). Masih banyak contoh-contoh lainnya yang bisa dijadikan cara untuk mengidentifikasi profesi seseorang. Singkatnya, cara yang demikian adalah yang paling mudah mengetahui identitas atau profesi dari orang tersebut.

Seorang dengan profesi sebagai guru pun tak bisa lepas dari identifikasi berdasarkan cara berpakaian atau berpenampilan. Masyarakat memiliki pandangan tersendiri tentang profesi guru. Bagi mereka, konstruksi ideal berpakaian seorang guru adalah dengan menggunakan baju kemeja atau baju berkerah, celana bahan (bukan jeans), sepatu pantofel, dan dengan rambut yang tertata rapi. Rapi di sini tentu ‘debatable’. Tetapi sejauh ini, rambut rapi dalam pengertian yang lumrah adalah tidak panjang gondrong alias pendek, botak pun tak apa.

Konstruksi ideal penampilan guru ini memperoleh persetujuan diam-diam yang kuat dari masyarakat, semacam pakem nilai yang harus disepakati. Sehingga apabila ada yang berlainan dari konstruksi ideal ini, maka akan menimbulkan sangsi moral dari masyarakat. Akibatnya, sang guru yang bernampilan di luar konstruksi ideal di atas menjadi dipandang negatif. Lebih jauh, penampilan yang jauh dari pakem di atas dinilai buruk. Singkatnya, bila ada guru yang keluar dari pakem di atas, ia telah mencontohkan hal yang buruk kepada muridnya. Tidak patut diteladani.

Di titik ini, apakah itu cara yang tepat untuk menilai baik dan tidaknya seorang guru? Tentu saja tidak. Kenyataanya, tidak sedikit pandangan tersebut meleset. Banyak guru yang tidak menerapkan aturan tersebut justru tetap bisa menjadi guru yang baik. Dalam pengertian pemberdayaan, misal, mereka tetap mampu membuat para muridnya berpikir kritis, komunikatif, bekerja sama, atau memunculkan kreativitas lebih dalam belajar mengajar mengajar di kelas. Ia mampu menghadirkan cara mengajar yang dialogis, yang menyenangkan, dan tak bikin kelas membosankan layaknya guru yang hanya menggunakan pendekatan pidato, bicara sendiri.

Di sini jelas, bahwa penampilan – sesuai konstruksi ideal di atas – bukanlah hal yang urgen dijadikan cara mengidentifikasi guru yang baik dan tidak. Pun juga kampanye terselubung di atas untuk mendorong guru berpenampilan layaknya guru – dengan kriteria di atas – bukan lagi hal yang urgen. Bila konstruksi ideal semacam itu dipertahankan, maka dengan sendirinya ia kehilangan relevansinya sebab itu tidak menyentuh substansi dari seorang guru. Bila pun nilai dasarnya tentang kesopanan guru dalam berpenampilan masih dipertahankan, maka seyogyanya ada upaya untuk merenegoisasi tentang apa itu pakaian yang sopan dan tidak sopan, ada kelenturan dalam standar.

Dan semestinya sebagai guru yang tugasnya mendidik dan meningkatkan derajat budi dan pikiran, standar-standar nilai yang tidak lagi relevan didialogkan. Untuk apa? Untuk tidak terjebak pada cara berpikir yang sempit. Maka bila kita mendapati penampilan seorang guru yang berbeda dari konstruksi ideal masyarakat, sebaiknya itu dibaca sebagai haluan ideologis mereka yang berbeda dari pandangan masyarakat pada umumnya. Soal siapakah yang harus beradaptasi: apakah ia kepada masyarakatnya, atau masyarakat yang mulai memberi ruang keterbukaan pikiran? Itu soal lain, soal utamanya mari mulai periksa ulang hal-hal remeh temeh soal penilaian seseorang dari cara penampilan.

Yang Penting bagi Seorang Guru

Dengan demikian, di sini tegas bahwa tak ada hubungan yang substansial antara cara berpakaian atau berpenampilan guru (pakai pantofel, jas bagus, celana bahan, dan lainnya) dengan kapasitasnya dalam mendidik murid-muridnya. Tidak relevan lagi berbicara apakah dia guru yang pintar, yang baik, dan bla-bla-bla moral lainnya dengan hanya meninjau sisi penampilannya. Tapi mari tingkatkan dengan menguji kapasitas dan integritasnya. Yang dapat menguji itu bukan penampilan permukaan, tapi waktu yang akan mereka jalani. Waktu akan segera memperlihatkan kapasitas dan integritasnya seiring ia menjalani profesi mengajarnya.

Sayangnya, kita masih harus akui bahwa jalan ke arah sana memang masih perlu melewati jalan berliku. Stigma di masyarakat masih terlalu kuat. Sehingga kita masih mendapati suatu penilaian yang mengaburkan batasan guru yang baik dan tidak baik. Sisi penampilan belum sepenuhnya jadi hal yang ditinggalkan. Tapi di titik ini, kita masih mewajarkan. Tugas pendidikan masih harus terus meluas ke sana.

Tapi bila saya ingat kembali tulisan di atas, SUDAHKAH SAYA BERPENAMPILAN LAYAKNYA SEORANG GURU? Justru di sini saya jauh lebih merasakan kemirisan. Di lingkungan yang berinteraksi dengan ilmu dan pengetahuan, justru penampilan mendapatkan tempat kampanye yang kuat. Dengan tulisan ini, seakan-akan kita mendapati suatu kondisi bahwa rupanya bukan hanya masyarakat awam yang terjebak pada konstruksi ideal penampilan guru, tapi di sini juga ikut mengampanyekan, meski dengan cara yang lebih diam-diam.

Bila saya melewati tempat tulisan itu terpampang, semoga tulisannya sudah berganti: SUDAHKAH SAYA PUNYA KAPASITAS DAN INTEGERITAS YANG LAYAK SEBAGAI SEORANG GURU?
Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment