Jailani Si Pembunuh: Meninjau Pendidikan Kita

Oleh: Fauzan Nur Ilahi

Gambar: Infonusantara.id

Jailani kini mungkin sudah mendekam di ruang penjara. Atau paling tidak, dia akan segera mendekam di sana. Berita terakhir, 17 April 2021, lelaki berumur 20 tahun yang tega membacok kakaknya sendiri dengan menancapkan celurit di bagian dada kiri hingga meninggal itu, sudah diamankan oleh aparat kepolisian. Walau belum muncul berita terbaru mengenai hukuman yang akan menjeratnya, bisa kita pastikan bahwa sel penjara sudah menanti kedatangannya.

Berita ini membuat warga sekitar geger, tentu. Utamanya masyarakat Kecamatan Pasean atau mungkin juga sekitarnya. Sebagaimana ciri khas interaksi sosial masyarakat pedesaan, berita di sana cepat menyebar. Dari mulut ke mulut, atau sekarang, sudah dibantu dengan media internet. Intinya, setiap masyarakat yang mendengar hal ini mengutuk perilaku biadab Jailani.

Perilaku pembunuhan mutlak tindakan kriminal ditinjau dari sisi manapun. Apalagi membunuh keluarga sendiri. Tak hanya hukum positif, ditinjau dari ajaran agama mana pun perilaku ini tergolong salah. Ini sudah barang pasti. Tetapi bagi saya pribadi, sejatinya ada hal yang lebih mendesak untuk kita pikirkan guna merespons persoalan ini.

Kita sepakat bahwa hal itu adalah salah. Namun setelah itu apa?! Apakah afirmasi bahwa perilaku itu salah dari sisi manapun akan menjawab persoalan? Bukankah sikap menghukumi dan mengutuk sampai kapan pun tidak akan menyentuh inti persoalan?

Saya bilang bahwa hal ini lebih mendesak untuk kita pikirkan karena dua hal: pertama, menghukumi atau mengutuk suatu perbuatan nista memang akan memberikan efek berupa sanksi sosial terhadap si pelaku. Utamanya di daerah pedesaan yang dalam konteks hubungan sosial masih begitu erat. Tetapi sikap seperti ini sejatinya tidak menyentuh lubuk persoalan sehingga kita tidak ada upaya untuk mencegah, tetapi lebih kepada respons. Upaya seperti ini sampai kapan pun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, karena sejak awal orientasinya adalah merespons, bukan menghindari.

Kedua, penting juga kita telaah, bagaimana perilaku terkutuk seperti yang dilakukan oleh Jailani ini bisa muncul di daerah yang subur dengan nilai-nilai moral, bahkan juga ditopang dengan ajaran-ajaran agama? Kita tahu bahwa di Kecamatan Pasean terdapat beberapa pesantren dan puluhan sekolah formal. Kaum terdidik juga tidak kalah banyak jumlahnya. Artinya, pendidikan, baik yang berasal dari sekolah formal atau pesantren, tidak absen di Pasean. Jika Pasean kental dengan nilai-nilai moral, ajaran agama serta pendidikan, maka kita pantas bertanya, bagaimana perilaku nista tersebut bisa lahir?

Para pembaca bisa berdalih bahwa memang pihak pelakulah yang secara personal tidak beradab dan nir-moral. Dia memang mempunyai perangai buruk, tidak berahlak, berasal dari keluarga tidak baik, dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi di sisi lain, kita juga harus insyaf bahwa suatu sikap tidak hadir dari ruang yang hampa. Ia hadir sebagai suatu akumulasi dari pengaruh internal dan eksternal. Sehingga dalam hal ini, kita pantas bertanya kepada diri kita sendiri, utamanya kita yang berasal dari kaum terpelajar, tentang bagaimana upaya pendidikan dalam membina sikap masyarakat, utamanya para pemuda. Pun bagaimana upaya dari kaum cerdik-cendekia dalam merawat generasi muda. Jangan-jangan, perilaku dari Jailani merupakan suatu bentuk kegagalan pendidikan serta upaya-upaya kita dalam merawat generasi muda.

Bukankah tidak jarang kita melihat bagaimana degradasi moral dan disorientasi hidup sudah mulai menjalari anak-anak muda di Madura pada umumnya. Kita bisa menyebut berbagai fenomena semisal merebaknya narkotika, maraknya balap liar yang sudah tak terhitung berapa nyawa yang hilang sebagai akibat dari kompetisi ilegal sejenis ini, atau keengganan untuk meniti jalan pendidikan adalah beberapa contoh yang bisa kita ambil guna menunjuk bagaimana degradasi pada anak muda itu terjadi.

Sebagai manusia yang meyakini bahwa pendidikan merupakan dasar bagi setiap orang; bahwa pendidikan merupakan suatu basis untuk menjemput perubahan ke arah yang lebih baik, maka kita tidak boleh hanya berpangku tangan. Kita pantas menelaah, bahwa ada yang keliru dalam praktik pendidikan kita sehingga ia tidak lagi menarik bagi anak-anak muda, atau tidak meresap ke dalam lubuk anak-anak muda dan menjadi navigator dalam kehidupannya. Hal ini juga merupakan bentuk upaya kita untuk mencegah degradasi moral dan disorientasi hidup anak-anak muda terjadi. Sehingga bukan hanya menghukumi.

Perihal kekeliruan dalam praktik pendidikan kita, hal ini mungkin membutuhkan kajian lain yang cukup serius. Tetapi dalam hemat saya, setidaknya ada beberapa hal yang pantas kita refleksikan guna meninjau proses dan orientasi pendidikan kita.

Pertama, adalah pendidikan yang seringkali tidak tepat guna. Artinya, kita kadang banyak menelan praktik dan konten pendidikan yang sejatinya tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Suatu kurikulum yang disusun oleh pusat yaitu Kemendikbud atau Kemenag di Jakarta, kadang tak ramah dengan nilai-nilai lokal yang ada di daerah. Sehingga pendidikan seakan menjadi sesuatu yang jauh di awang-awang, dan tak meresap ke dalam masyarakat, utamanya para pelajar.

Kedua, praktik pendidikan tidak selalu berorientasi mendidik. Aktivitas seperti yang ada di sekolah-sekolah formal tidak jarang hanya menjadi kebiasaan banal dan tidak ada artinya selain hanya mengisi waktu luang. Sekolah hanya menjadi tempat di mana para pelajar berkumpul, kemudian menelan beberapa materi, selepas itu pulang dan selesai. Lantas apa yang bisa kita harapkan dari praktik pendidikan semacam ini?

Sistem di pesantren mungkin masih lumayan. Pendidikan tidak hanya selesai dalam bangku-bangku sekolah. Tetapi kendati demikian, pesantren dengan fasilitas sekolah-sekolah formal pun pantas meninjau, apakah praktik pendidikan mereka sudah mendidik, atau hanya sebatas kegiatan formalitas yang hanya diperuntukkan untuk mengisi waktu-waktu kosong?!

Sudah semestinya dunia pendidikan kita introspeksi. Meninjau apa saja yang telah dilakukan, di bagian mana saja yang masih perlu dioptimalkan, serta apa sejatinya tujuan dasar yang hendak dicapai oleh pendidikan. Persis seperti yang dilakukan oleh tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara saat melihat bagaimana kala itu sekolah taman siswa dianggap mundur sepuluh tahun ke belakang. Beliau berkata, “taman siswa menurunkan mutu pengajaran dan membawa kita kembali sepuluh tahun ke belakang! Memang kita harus kembali beberapa puluh tahun, kita amat mengingini untuk menemukan 'titik tolak' agar kita dapat berorientasi kembali: kita telah salah jalan.”

Nampaknya, kita juga perlu meneladani Ki Hajar Dewantara: melihat sejauh mana sepak terjang pendidikan kita hari ini. Sekian. (Bung)

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form