Apa yang Terjadi Jika Generasi Muda yang Mati Sebelum Tahun 2000 Hidup Kembali dan Nongkrong dengan Generasi Muda Saat Ini?

Oleh: Fauzan Nur Ilahi

Gambar: Grid.id

Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana jika anak-anak atau katakanlah generasi muda yang lahir sebelum atau setidaknya maksimal pada era 90-an dan tak pernah merasakan hidup di era 20-an—artinya mereka meninggal sebelum tahun 2000—dihidupkan kembali, kemudian diajak ke salah satu tongkrongan generasi milenial saat ini? Terkaan saya, mereka pasti kaget dengan pemandangan asing yang mereka lihat.

Ada anggota tongkrongan yang asik dengan gadget, bahkan tak jarang di antaranya berselendang earphone, asik bermain game online. Ada pula yang rajin betul memotret segala hal guna ditampilkan di berbagai sosial media: berpamer ria. Di tengah fenomena semacam ini, sulit untuk tidak membayangkan mereka yang dihidupkan kembali itu lantas tercengang mengingat betapa cepat zaman berlalu, dan betapa terpisahnya mereka dengan realitas sosial generasi muda saat ini.

Kejadian yang ada dalam pikiran saya ini, memang tak seperti kisah ashabul kahfi yang membutuhan waktu kurang lebih tiga ratus tahun dalam masa “pengasingannya”. Era 90-an ke 20-an hanya satu dasawarsa. Bukan waktu yang panjang. Tetapi mengingat pesatnya kemajuan teknologi dan sains pada abad ke-20 hingga 21, tentu kurang apple to apple jika kita membandingkan masa kini dengan masa ashabul kahfi. Kendati para pemuda generasi pra atau maksimal 90-an yang dihidupkan kembali dalam angan-angan saya itu, dengan tujuh pemuda ashabul kahfi sama-sama mengalami shock culture, itu tidak menutup fakta bahwa perubahan kebudayaan pada masa ashabul kahfi relatif lebih lambat daripada era modern.

Dan begitulah kehidupan. Mengutip ungkapan Heraklitos, “Panta rhei!”. Semuanya mengalir, semuanya berubah. Satu-satunya yang tetap dalam kehidupan ini hanyalah perubahan. Kaki tidak akan pernah menginjak air yang sama dalam sungai yang mengalir.

Kini, kita sukar menemukan para bocah memegang ketapel, atau beradu jangkrik, apalagi bermain gundu sebagaimana generasi muda 90-an lakukan. Kawan akrab generasi muda saat ini adalah akun medsos, gadget dan earphone. Dan ini adalah kelokan kebudayaan yang muskil dibendung.

Kendati banyak pihak yang mengutuk kebiasaan generasi muda saat ini yang candu gawai, entah untuk apa pun kepentingannya, sejatinya tindakan mengutuk seperti ini tidak menolong apa-apa. Kecuali hanya memperumit situasi. Di hadapan gaya hidup yang memang sering berganti, kita seharusnya menuntut diri untuk mencari bagaimana respon yang tepat di tengah fenomena yang terjadi saat ini.

Saya, sebagai seseorang yang dilahirkan dua tahun sebelum krisis moneter di Indonesia, serta beberapa kawan lain yang senasib, merupakan orang-orang yang beruntung. Saya sempat mencicipi bagaimana keseruan memancing dan berenang di sungai selepas pulang sekolah dasar saban kali musim hujan, atau bagaimana excited-nya ketika ada seorang kawan mengajak berburu burung dengan ketapel di tangan. Sementara di sisi lain, saya juga mampu menikmati bagaimana asyiknya bermedsos ria atau game online lengkap dengan earphone.

Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam dua zaman yang berbeda, saya mengerti, bahwa perkembangan sains dan teknologi dengan segala dalil kemudahannya, memberikan efek dalam setiap sisi kehidupan. Salah satunya ya munculnya generasi yang gandrung dengan gawai, atau yang bisa kita sepakati dengan menyebut mereka sebagai ‘generasi earphone’ ini.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak di antara generasi muda kita yang dengan spesifik berkata bahwa dirinya ingin menjadi seorang youtuber, gamer, influencer, content creator, atau profesi lain yang akan membuat bingung jika diutarakan kepada pemuda 90-an yang saya bayangkan hidup kembali tadi. Ini juga merupakan efek dari pesatnya sains dan teknologi yang saya pikir, tidak ada masalah dengan hal itu. Toh jika tolak ukurnya adalah uang atau pendapatan, profesi yang saya sebut barusan tidak kalah menguntungkannya dengan berjualan di pasar, pegawai, bahkan dengan profesi PNS sekalipun.

Seorang pro player dalam satu jenis game online tertentu, pemasukannya bisa mencapai Rp 4,5 juta sampai Rp 80 juta per bulan (sumber: Liputan6.com). Hal ini belum lagi jika ditambah dengan pemasukan tambahan semisal menjuarai kontes turnamen dalam ajang tertentu, atau pendapatan dari hasil live streaming entah di YouTube atau Facebook. Tentu penghasilannya akan berlipat ganda. Untuk itu, jika kita masih memiliki stereotipe terhadap profesi gamer, mulai sekarang nampaknya sudah harus dipikir ulang.

Lantas apakah dengan fakta ini fenomena ‘generasi earphone’ menjadi nihil persoalan? Tentu tidak seburu-buru itu. Bagi saya pribadi, persoalan paling elementer yang terjadi pada ‘generasi earphone’ ini adalah munculnya gap antara generasi muda dengan pendidikan.

Baiklah, biar tidak dianggap menuduh serampangan, saya akan menunjukkan buktinya. Para pembaca yang budiman saya persilahkan menonton beberapa wawancara para pro player pada genre game online apa pun, baik ketika turnamen nasional atau internasional. Saya yakin, ketika para pembaca selesai menontonnya akan segera mengerti apa maksud saya.

Yap! Banyak di antara mereka yang gelagapan, terlihat susah untuk sekedar menyampaikan isi pikiran, “ga bisa bahasa enggres”, bahkan sangat jarang (sampai detik ini saya belum menemui) di antara para penikmat game online yang mengerti bagaimana industri bidang yang mereka tekuni ini sejatinya berjalan. Mereka tak mengerti posisi mereka sebagai konsumen dan bagaimana perusahaan-perusahaan game online menjalankan pola marketing-nya. Seakan kehidupan mereka hanya sepetak layar terpa PC atau HP saja. Mereka terpisah dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya dan terjebak dalam kehidupan maya (gap ini juga tidak jarang hinggap pada influencer, youtuber, atau content creator, tidak terbatas hanya pada gamer saja).

Memang, untuk menjadi ahli dalam suatu bidang tertentu kita harus serius menekuninya. Tetapi hal ini tidak berarti kita harus meninggalkan sikap kritis, apalagi sampai melupakan sisi kemanusiaan kita sebagai mahkluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu. Maya itu semu. Tak selamanya kita akan hidup di sana.

Oleh karena itu, kendati tidak ada yang salah dengan pilihan untuk menjadi seorang gamer, youtuber, influencer atau content creator, tetapi jika merongrong identitas kita sebagai manusia, membuat kita hanya hidup dalam layar-layar komputer atau gawai, bahkan membuat kita terasing dengan sisi kemanusiaan kita, apalagi sampai memposisikan kita pada rantai bawah dalam ekosistem industri per-game-an sebagai konsumen, maka kita wajib memberontak dan memandang fenomena ini dengan kacamata kritis.

Sudah semestinya kita mengikis dikotomi antara game dan pendidikan. Ini adalah tantangan bagi kita. Pada masa di mana game online menjadi fenomena yang merebak di tengah generasi muda utamanya di Indonesia, maka tindakan menolak ibarat menahan ombak di lautan. Ini adalah bentuk dari perubahan kebudayaan yang biasa terjadi dalam sejarah Homo Sapiens. Maka daripada kita beramai-ramai membendung perubahan yang sudah semestinya terjadi, lebih baik kita memikirkan langkah bijak untuk merespons perubahan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengikis gap antara ‘generasi earphone’ dengan pendidikan sehingga mereka tetap kritis, dan tidak terpisah dengan sisi kemanusiaannya. Sekian. (Bung)

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form