Menimbang Ulang Teknologi dalam Filsafat Cogito Ergo Sum

Penulis: Alim

Gambar: Slash Film



Sejak 400 tahun lalu, manusia dianggap sebagai binatang yang berpikir. Tetapi saat ini, banyak dari kita yang berada dalam situasi kemalasan berpikir di tengah-tengah berkembang pesatnya teknologi?

Kemalasan berpikir itu adalah wabah yang berpusat pada diri sendiri ketika menghadapi tantangan kemajuan teknologi yang begitu cepat. Kemalasan berpikir adalah masalah era sekarang yang ditandai oleh gejala-gejala di berbagai bidang.

Sejak 400 tahun lalu, Filsuf Francis, Rene Descartes, sesungguhnya telah menawarkan kepada kita untuk konsisten berpikir kritis. Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada). Artinya, ia menunjukkan bahwa aktivitas berpikir ini mengarah kepada keberadaan manusia (being) yang menjadi unik dan nyata (rill). Yakni ketika ia menggunakan akalnya untuk menjadi “ada dalam jati dirinya”. Sebaliknya, ketika akalnya tidak kritis, maka sebagai identitas jati dirinya menjadi tidak ada.

Berpikir dalam arti ini meliputi banyak aspek. Berpikir yang serius tidak hanya melulu soal teknis, yakni soal aritmatika, soal fungsi dan mencari income. Dalam hemat saya, berpikir teknis hanyalah salah satu bagian kecil dari tindakan manusia. Pola berpikir lainnya misalnya berpikir reflektif dan kontemplatif untuk memahami suatu gejala dunia dan arah teknologi secara mendalam.

Kemalasan Berpikir

Wabah penyakit berpikir seringkali ditemukan di mana-mana. Kalian boleh tak setuju, tapi saya harus menunjuk bahwa pengguna tiktok, mobile legends, bigolive, dan lain sebagainya yang meningkat pesat telah menjadi semacam gejala yang membawa pada semakin malasnya berpikir. Mereka terjebak dalam euforia ‘kesenangan’ yang membuat mereka seakan berhenti berpikir kritis atas ‘kesenangan’ itu. Fenomena ini sering kali saya temukan di kalangan anak-anak muda, bahkan tak sedikit di antara mereka yang sudah tua. Kemalasan berpikir dan mendidik dirinya menjadi kritis bisa juga ditafsirkan selaras dengan argumen Heidegger, bahwa produk manusia modern terjangkit penyakit ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit).

Teknologi telah membunuh daya kritis dan intelegensi anak-anak muda. Menggiring mereka menjadi robot yang tidak mampu mencari makna. Argumen Marshall McLuhan kiranya sangat cocok, “teknologi bisa saja menjadi pelipur lara” dan bisa membuat manusia “iritasi dan kecanduan yang membunuh sensibilitas”.

Kemalasan berpikir kritis berhadapan dengan teknologi yang menawarkan kesenangan semu dalam game atau berbagai media sosial atau menawarkan berbagai kemudahan telah menciptakan suatu hubungan ketergantungan manusia pada teknologi. Di era ini, kita makin jelas melihat dunia cyborg, dan dunia itu seakan menjadi penjara baru bagi kita. Cyborg sendiri adalah seperangkat manusia yang melebur dengan mesin sebagai temen kesehariannya. Pada abad 21 ini, manusia telah menaruhkan ketergantungan pada teknologi, misalnya gawai atau alat-alat canggih lainnya yang tidak bisa terpisah dari hidupnya. Cyborg tidak lagi bertahan hidup dan mereka akan cacat ketika alat-alat canggih, atau ponsel cerdas terpisah dari kehidupannya.

Berpikir Kritis

Penulis menganjurkan Filsafat Rene tetap dijadikan hipotesa wacana fenomena apapun. Tentu Filsafat, tidak hanya bidang khasanah keilmuan klasik yang sukar dipelajari dan dimengerti. Filsafat yang bercorak sains misalnya, bisa membantu kita menjadi lebih bijak, kritis, radikal, dan cepat beradaptasi dengan situasi perubahan global pun dan juga gejala-gejala yang sudah disinggung di atas. Jurgen Habermas, dalam buku Theorie Des Kommunikativen Handelsn, telah merasakan gejala sistem dunia modern yang telah menjajah dunia kehidupan.

Misalnya hidup manusia diukur dengan ukuran-ukuran robot, semua ukuran yang bersifat kuantitatif. Contohnya adalah tinggi badan, berat, jumlah gizi, usia hidup, jumlah pendapatan dan lain sebagainya. Akibatnya manusia disempitkan menjadi semata data-data yang sifatnya mekanis. Manusia kehilangan makna dan arah hidupnya di tengah dunia yang hampir sepunuhnya bergerak seperti mesin.

Filsafat sangatlah penting, ia bisa digunakan menjadi obat wabah kemalasan berpikir. Sebagai disiplin berpikir, filsafat mampu mengajarkan manusia untuk membedakan dan mengatasi persoalan di atas dengan pertimbangan akal budi yang jernih. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu mempelajari filsafat lebih mendalam sehingga mampu berpikir kritis dan rasional tentang polemik sosial yang ada.

Dalam tiga buku Yuval Noah Hahari Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lesson for 21st Century, ia menegaskan pentingnya kita memantau secara kritis perkembangan teknologi biomedis, informasi-komunikasi dan kecerdasaan buatan. Jika dibiarkan kecerdasaan buatan akan menggantikan peran manusia di dalam kehidupan. Manusia akan menjadi mahluk yang tidak berguna secara “ekonomi”. Manusia pun akan punah tertelan peradaban. Sudah saatnya kita berpikir secara kritis.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form