Negara sebagai Sang Leviathan

Table of Contents
Penulis: Melky Molle

Gambar: amazine.co

The state must ensure the sustainability of the life of its citizens in a safe and peaceful manner. If the state oppresses its people, then the people will be anarchist and the state will lose its power.

Pada tahun 1588-1679, Thomas Hobbes memikirkan metode empiris eksperimental, yang berangkat dari pengalaman nyata: konsep state of nature (kondisi alami manusia pada hakekatnya adalah jahat). Gagasan Hobbes tentang mempertahankan diri atau takut kehilangan nyawanya sebagai usaha akal budi manusia. Rasa takut menjadi dasar atau prinsip hidup manusia, karena itu negara harus hadir untuk memberi ketakutan atau acaman kepada manusia supaya bisa santun, baik, dan membawa diri dengan aman sebagai gerak pemikiran antropologis Hobbes menyusun filsafat negara.

Ia menolak asumsi bahwa manusia memiliki sifat sosial, kecenderungan manusia adalah mempertahankan dirinya sendiri apapun caranya. Upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya, memunculkan kompetisi manusia, keterbatasan sumber daya, ingin menguasai, dan memonopoli supaya survive. Alasan mendasar itulah, maka perang tak terhindarkan. Bellum omnium contra omnes (semua saling melawan). Homo homini lupus (manusia menjadi serigala atas manusia lainnya).

Karena itu untuk menghindari perlawanan dan pembunuhan antar manusia, Hobbes memberi pertimbangan faktual melalui akal budi manusia: perjanjian harus disepakati untuk menghadirkan negara. Harapannya agar damai dan aman, menjadi situasi sosial manusia, hidup saling menjaga hak dan kewajibannya.

Thomas Hobbes menyatakan berdirinya negara adalah upaya kesepakatan, bukan partner dari kesepakatan. Artinya masyarakat harus menyerahkan haknya kepada negara, dan sebaliknya negara tidak memiliki kewajiban pada masyarakat. Thomas Hobbes menyebut negara adalah "Sang Leviathan" (monster laut raksasa yang punya kekuatan pemusnah seperti pada mitologi bangsa Yunani kuno).

Karena itu negara menuntut rasa hormat dan kepatuhan, pada siapapun manusia berlaku sama. Supaya taat, manusia harus diancam seperti para pelanggar kesepakatan. Aturan, hukum atau norma dipastikan ada ganjarannya guna meredam sikap serigala manusia. Negara berada untuk menciptakan ketaatan, dan menertibkan masyarakatnya, supaya hidup dengan aman, tentram, dan tertib, atau adanya kepastian hukum. Maka individu-individu manusia di dalamnya dipastikan nyaman dan aman jika patuh pada hukum.

Thomas Hobbes menilai adanya problem adalah "jika negara memberlakukan kesewenangan dan menindas warga negara patuh, dan taat". Jika demikian maka warga negara punya alasan mendasar untuk tidak patuh pada hukum, sebab warga negara telah terancam dari ketentraman hidupnya". Maka takut pada hukum atau kematian oleh negara dengan sendirinya hilang dan tidak berfungsi lagi. Akhirnya hilanglah daya paksa negara atau kekuasaan negara dan karena itu boleh jadi (warga negara) atau individu-individu di dalamnya balik menegaskan perlawanannya. Pada situasi inilah "Sang Leviathan" tidak dapat menerkam balik warga negara pembangkang, sebab negara menghancurkan dirinya sendiri dari sikap menindas itu terhadap tatanan (order) atau civitas dalam masyarakat.

Thomas Hobbes menyatakan alasannya supaya dirinya (warga negara) selamat (tidak terbunuh), hanya untuk mempertahankan hidup, warga negara harus berbalik arah memusnahkan negara. Pada posisi urgensi seperti inilah maka kesepakatan tidak berlaku lagi dan warga negara menarik diri ke keadaan semula (keadaan alamiah) dengan demikian bagi Thomas Hobbes, negara yang ideal adalah negara yang menegaskan secara jelas prinsip hukumnya yang kuat, supaya kedaulatan hukum menjadi kokoh. Jika prinsip hukumnya kuat, maka tidak ada sikap warga negara yang anarkis melawan negara, taat dan patuh menjadi sikap tertib. Tetapi jika tidak ada prinsip hukum itu, maka jelas dengan sendirinya, negara dapat memakan dirinya sendiri.

Indonesia, lihat yang terjadi pada tahun 1998. Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie Dwi Widowati dalam karyanya berjudul -Langit Merah Jakarta.

Gambaran seputar tragedi Trisakti menunjukan ganasnya amukan warga negara terhadap kekuasaan orde baru. Reformasi adalah bukti sejarah amukan warga negara menaklukan kekuatan kekuasaan penindas. Ingatan angkatan pembangkang 1998 karena kesewenangan negara terhadap warga negara yang menghilangkan kekuatan negara, bagaimana sang Leviathan sebagai kekuatan pemusnah memakan dirinya sendiri tanpa ampun oleh amukan masa rakyat.

Mempelajari pemikiran "negara" Thomas Hobbes, sebagai upaya melihat negara hari ini, sebagai upaya menelusuri dan memperingati hari Reformasi 1998 tentu bukan usaha sempurna, sebagai usaha mengingat dan merenungkan peristiwa penting, tapi harus dipastikan apapun kelemahan tersebut. Prinsip hukum sebagai kedaulatan negara adalah hal paling serius untuk negara dalam menegaskan secara sunguh-sungguh untuk keadilan bagi warga negara, untuk menjamin keberlanjutan hidup yang aman dan damai. Homo homini salus.
Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment