Russell, Harari, dan Orang-orang Kampung

Tulisan Fauzan Nur Ilahi

Betrand Russel, Yuval Noah Harari


Kita mungkin sedikit tertegun saat mendengar bahwa suatu peradaban sukar bahkan mustahil berkembang jika masyarakatnya tidak memiliki waktu luang. Terdengar aneh memang untuk kita yang terbiasa dengan adagium “kerja, kerja, kerja!”, tetapi pikiran ini bukan celetukan tidak berdasar. Dalam tulisan ini saya mau mempertanggungjawabkannya.

Hingga kini, sependek pembacaan saya, setidaknya ada dua tokoh yang membahas mengenai pentingnya waktu luang. Yaitu waktu yang tidak dikejar-kejar atas nama apa pun, semisal rutinitas pekerjaan atau kewajiban lain sebagaimana manusia pada umumnya yang dikutuk dengan seabrek tanggungjawab. Dua tokoh itu adalah Betrand Russell dengan “In Praise of Idleness”-nya, dan Yuval Noah Harari dengan “21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke 21”-nya.

Dua tokoh ini sepakat dalam satu hal: waktu luang adalah suatu keharusan agar manusia mampu lebih dekat dengan kebenaran (versi Harari), atau kebijaksanaan/kebahagiaan (versi Russell). Bahkan Harari tak segan mengatakan, “jika Anda tidak bisa membuang-buang waktu—Anda tidak akan pernah menemukan kebenaran”. Kalimat ‘membuang-buang waktu’ di sini bisa kita maknai sebagai sebuah kemampuan kita untuk meluangkan waktu dengan tidak melulu berorientasi peda uang atau hal lain yang sifatnya materil: sebuah masa yang tidak terikat pada rutinitas pekerjaan sebagaimana kebiasaan manusia modern, atau kegiatan banal lain yang cenderung mengalienasi kita sebagai manusia.

Mengapa waktu luang ini menjadi penting? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, manusia mampu berefleksi atau menelaah tentang hidup atau kritis terhadap suatu persoalan, hanya dimungkinkan jika mereka memiliki waktu luang. Sukar bagi kita untuk menelaah isi kehidupan jika saban hari disibukkan dengan rutinitas pekerjaan. Bukankah tak jarang di antara para manusia lupa untuk memberikan kehangatan kepada keluarga atau bahkan lupa bahwa mereka adalah manusia dan bukan robot yang sudah terotomatisasi hanya untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu? Dalam masyarakat urban modern, fenomena semisal ini sudah menjadi barang yang lumrah.

Alasan kedua, waktu luang juga menjadi syarat terhadap kemajuan. Sebuah riset, munculnya pikiran liar, atau lahirnya terobosan atas sebuah stagnansi tentu mensyarakatkan waktu luang yang melimpah. Mustahil rasanya jika kita mengharapkan lahirnya pikiran-pikiran segar tanpa tersedianya waktu luang.

Hidup yang sesak dengan aktivitas banal saban hari, hidup yang tidak memiliki spasi, sulit melahirkan renungan-renungan yang mendalam. Kita hanya akan hanyut dalam kebiasaan-kebiasaan tanpa makna. Sehingga wajar jika tema alienasi dalam kajian sosiologi modern cukup santer dibahas. Sebab kita, masyarakat modern atau utamanya masyarakat urban, kadang lupa akan sisi ke-manusia-an kita.

Saya pernah membaca antologi esai Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Tiada Ojek di Paris”. Isinya adalah hasil renungan tentang kehidupan Jakarta serta perilaku manusia yang ada di dalamnya. Pada esai-esai di buku tersebut kita akan banyak menemukan betapa waktu orang-orang Jakarta begitu padatnya sehingga bahkan untuk sekedar bernafas pun seakan susah. Apalagi sampai muluk-muluk merenung tentang makna hidup atau hal yang tak menghasilkan uang lainnya. Seakan-akan setiap jengkal langkah kita dianggap produktif apabila menghasilkan uang.

Pada titik ini, pikiran Russell dan Harari perlu kita jadikan cemilan sembari minum kopi. Kita patut curiga pada diri kita sendiri, jangan-jangan stres yang seringkali menghampiri, perasaan yang tak kunjung menemukan titik kepuasan, atau kesukaran menemukan hal-hal yang membahagiakan adalah efek dari nihilnya waktu luang. Dua puluh empat jam kita dirongrong oleh aktivitas yang semata-mata diperuntukkan untuk mendatangkan uang atau materi lainnya. Kita lupa bahwa kita berhak punya waktu luang untuk merenungi makna kebiasaan tersebut, atau melakukan hal-hal yang memang kita sukai (terkecuali mereka yang memang menyenangi pekerjaan mereka yang dalam kehidupan ini sangat jarang terjadi).

Dalam konteks ini, kita pantas cemburu pada masyarakat kampung. Mereka punya waktu luang yang melimpah. Bila kita perhatikan kehidupan masyarakat agraris di Madura misalnya, kita akan menemukan betapa masyarakat di sana mampu merayakan waktu luang mereka. Entah dengan nongkrong di warung-warung kopi (bahkan dalam kasus kampung saya, nongkrong di warung kopi bisa sampai tiga kali sehari: pagi, siang, dan malam hari), tahlilan atau yasinan bareng sembari bercengkrama dan rokokan ria, atau aktivitas lain di samping kesibukan mereka yang mayoritas petani.

Secara penghasilan atau status ekonomi, mereka tentu berada jauh di bawah dibandingkan artis atau politisi Ibukota. Rata-rata status ekonomi mereka menengah ke bawah (kecuali hanya satu atau dua keluarga). Tetapi soal kebahagiaan, saya bisa pastikan tanpa mengurai hasil survei, bahwa masyarakat kampung jauh di atas artis dan politisi Ibukota itu. Hal ini dikarenakan kehidupan masyarakat kampung yang lebih “manusiawi” dari pada kehidupan orang-orang urban.

Memang, dalam beberapa dekade nampak ada perubahan pola pikir pada masyarakat kampung. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh merebaknya pikiran yang menganggap kemajuan atau perkembangan itu melulu ditandai dengan meningkatnya kekayaan materil, khas masyarakat perkotaan. Pikiran pragmatis-materialistis semisal ini mungkin membuat status ekonomi masyarakat kampung sedikit meningkat, tetapi di sisi lain juga membuat mereka sengsara dengan setumpuk ambisi yang mengekorinya. Setidaknya begitulah fenomena yang saya amati pada beberapa daerah di Madura yang mayoritas perkampungan.

Sebelum terjebak pada pola hidup masyarakat urban yang mengikat (walaupun secara kajian sosiologi atau kebudayaan perubahan semisal ini membutuhkan waktu yang relatif lama), saat ini masyarakat kampung harus berupaya menggunakan waktu luang mereka untuk aktivitas yang membuat kemampuan dan kesadaran mereka meningkat. Warung kopi selain menjadi media bertukar informasi seputar kejadian-kejadian di kampung, menjadi wadah diskusi tentang fenomena yang skopnya lebih besar atau forum kritis terhadap kebijakan, adat, norman, atau budaya setempat yang dianggap irelevan.

Poinnya adalah, waktu luang masyarakat kampung harus diupayakan menjadi waktu yang mampu melahirkan berbagai pikiran segar, pikiran yang mampu mengeluarkan masyarakat kampung dari segala bentuk stagnansi atau kondisi lain yang merugikan. Dan untuk mencapai ini, tidak ada jalan lain kecuali pendidikan.

Maksud dari pendidikan di sini tidak melulu merujuk pada sekolah. Meskipun idealnya sekolah harusnya menjadi instansi yang paling dekat dengan pendidikan, namun dewasa ini tak jarang kita temui sekolah justru menjadi tempat paling jauh dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika saya menulis pendidikan, maka maksud saya adalah upaya untuk memanusiakan manusia, upaya untuk merangsang setiap individu sebagaimana kemampuan dan keinginan mereka.

Caranya bisa sangat beragam. Bisa dengan membentuk gerakan, lembaga, atau komunitas. Bisa juga melalui kegiatan literatif semisal menyediakan bacaan atau diskusi kecil-kecilan yang nantinya kita harapkan bisa diakses oleh masyarakat. Atau cara lain yang dianggap relevan dengan konteks masyarakat di mana mereka tinggal. Yang penting adalah orientasinya adalah ini: tersebarnya pendidikan yang bermutu kepada masyarakat.

Dengan begini, harapannya adalah masyarakat kampung—dengan modal pendidikan, mampu mengalokasikan waktu luang mereka ke hal-hal yang lebih substantif dan progresif. Karena, sebagaimana diungkapkan sosiolog Robert Stebbins, waktu luang juga dapat dipandang dari dua sisi: santai dan serius. Waktu luang santai adalah waktu luang yang digunakan untuk hal-hal yang sifatnya jangka pendek, dan efek kepuasannya hanya segera. Misalnya, pesta, belanja, atau hal-hal hedonistik lainnya. Waktu luang serius adalah waktu luang yang digunakan untuk aktualisasi diri atau aktivitas yang diperuntukkan guna menjadi pribadi yang lebih baik.

Kita tentu tidak ingin masyarakat kampung yang secara status ekonomi sudah rendah, waktu luang mereka juga habis untuk aktivitas yang justru semakin membuat mereka teralienasi sebagai manusia. Ini ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Jadi sebagai bentuk syukur terhadap waktu luang yang melimpah, maka sudah sepantasnya waktu tersebut digunakan untuk membuat diri lebih berkembang baik secara pemikiran, serta kemampuan. Sehingga kalaupun kita sudah jatuh secara status ekonomi, namun tidak tertimpa tangga akibat pemikiran dan kemampuan yang juga rendah. (Bung)

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form