Jalan Intelektual Ciputat yang Pampat




Oleh: Fauzan Nur Ilahi


Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak kalian, para pembaca yang budiman, untuk merenung. Sedikit menghayal, berandai-andai. Khususnya untuk kalian yang tinggal, atau setidaknya hidup dalam lingkaran Ciputat.

Bayangkan begini: bagaimana jika daerah yang akrab dengan ilmu pengetahuan ini (setidaknya itu ditunjukkan dengan beberapa kampus yang ada serta mayoritas masyarakatnya yang mahasiswa), menjadi lingkungan yang memang betul-betul ramah terhadap para manusia yang meniti jalan intelektual.

Bayangkan bagaimana jika Ciputat disesaki dengan kelompok-kelompok kajian sebagaimana sejatinya kelompok kajian. Bukan kelompok atau wadah basis massa yang berkedok kelompok kajian.

Bayangkan jika Ciputat memiliki lingkaran-lingkaran intelektual yang kaya. Sehingga para mahasiswa yang ingin meniti jalan intelektual entah di kampus sebagai akademisi, di suatu lembaga riset sebagai peneliti, atau di media mana pun sebagai seorang pembuat konten, tidak lagi pusing tentang ke mana mereka harusnya berlabuh untuk mengasah diri dan membangun karir.

Bayangkan jika Ciputat memiliki banyak penerbit serta toko-toko buku layaknya Jogja. Bukan hanya lembaga-lembaga survei yang panen setiap menjelang Pilkada atau Pilpres itu. Tentu akan sangat membantu menyuburkan iklim intelektual yang ada.

Namun, duhai para pembaca, Ciputat bukan firdaus yang secara niscaya akan mengabulkan segenap permintaan dan memenuhi kemauan kita. Ciputat hanya sebagian kecil daerah di muka bumi dengan kondisi sosial dan persoalannya sendiri.

Ciputat bergerak dalam sejarah dengan para penghuninya (baca: masyarakat) sebagai motornya. Ciputat bukan daerah yang jatuh dari Taman Eden kemudian ujug-ujug memiliki setting social seperti saat ini. Intinya, Ciputat adalah benda mati.

Pada titik ini, untuk menarik angan kita yang jauh di awang-awang dan memaksanya untuk membumi, maka harus diupayakan oleh kita sendiri sebagai penghuni Ciputat.

Jika kita berharap iklim Ciputat dapat ramah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka kitalah yang harus menciptkan iklim tersebut: kita yang harus menumbuhkan penerbit-penerbit, kelompok-kelompok kajian, toko buku, serta lingkaran yang sekiranya mampu mendorong kita ke arah jalan intelektual.

Namun beberapa pengandaian ini mungkin sedikit utopis. Seakan saya abai terhadap kepentingan sebagian penghuni Ciputat yang lain. Yakni mereka yang memang diuntungkan dengan setting social seperti saat ini.

Mereka yang meraup untung dari kepentingan berbagai kelompok terhadap lembaga-lembaga survei, atau kepada suatu komunitas/organisasi yang memiliki basis massa melimpah.

Hal ini tak bisa kita pungkiri. Posisi geografis Ciputat yang dekat dengan arena atau gelanggang saling rebut kekuasaan (Jakarta), membuat Ciputat menjadi daerah yang banyak menyediakan wadah yang subur untuk mereka, para pecinta politik praktis. Namun gersang bagi para manusia-manusia idealis.

Oleh karena itu, kendati pengandaian-pengandaian di atas nampak utopis, tetapi itu diperlukan agar Ciputat memberikan ladang yang stabil. Tak hanya berat pada kader-kader politik praktis, tetapi juga kepada para peniti jalan intelektual.

Ini penting agar mereka yang terbiasa dengan kerja-kerja akademis dan intelektual ketika di masa kampus, tak lagi bingung bagaimana mereka menempa diri dan membangun karir pasca perguruan tinggi. Sebab, jujur saja, kita nampaknya sudah tak asing dengan fenomena "banting setir", yakni ketika para sarjana yang semula fokus dengan aktivitas akademis, dipaksa harus berpisah dan memulusi hidup baru entah sebagai pebisnis, buzzer, atau aktivitas lain yang jauh dari kultur yang mereka bangun semula, demi menutupi kebutuhan hidup.

Mereka tidak salah. Mereka melakukan hal-hal seperti itu juga bukan karena mau. Tetapi karena dipaksa oleh keadaan. Walaupun di antara beberapa mereka juga ada yang hanyut, bahkan merasa percuma karena telah menghabiskan waktu dengan buku-buku, diskusi, atau kegiatan lain yang jika diukur dengan tolok ukur uang, tentu akan menjadi aktivitas tak produktif.

Untuk itu, demi siapa pun yang hendak meniti jalan intelektual di Ciputat yang berliku, kita harus memulai membentuk iklim yang ramah.

Saya jadi teringat cerita tentang bagaimana Eka Kurniawan memulai menerbitkan buku. Eka bersama circle-nya, dengan gagah menerbitkan salah satu karya milik mereka. Lalu mereka distribusikan sendiri, kritik sendiri, bedah sendiri. Semuanya dilakukan dalam skop pergaulan. Dan itulah justru yang membentuk iklim yang ramah terhadap kegiatan-kegiatan literatif khas intelektual. Dan kita perlu menirunya.

Upaya ini tentu membutuhkan waktu yang tak sebentar. Adagium "siapa yang menanam, ia akan menuai" mungkin tak sesebentar yang kita kira. Bahkan mungkin kita yang memperjuangkan iklim yang baik, tidak akan menuai hasil. Namun generasi setelah kita jelas akan tertolong oleh perjuangan tersebut.

Lebih-lebih menyangkut iklim literasi yang saat ini memang menjadi problem nasional. Tentu membutuhkan waktu yang relatif panjang. Masalah-masalah semisal krisis identitas, anti terhadap perbedaan, kedangkalan dalam berpikir atau bertindak, tak mampu diselesaikan hanya dengan satu simsalabim.

Maka kita perlu membentuk iklim di daerah-daerah. Kita mulai dari skop yang kecil. Berharap ada gebrakan nasional dari para wakil rakyat, atau birokrat, atau politisi nampaknya setengah mustahil. Jadi biarlah mereka sibuk dengan urusan cetak-pasang baliho. Kita yang harus mulai sendiri.

Sebagai penghuni Ciputat, kita bisa memulai dari sini. Dari lingkaran Ciputat. (Bung)

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form