Kausalitas Perubahan Iklim Terhadap Gender-Based Violence
Oleh: Dhimas P. Sipahutar
Perubahan
iklim semakin jelas pengaruhnya terhadap dunia begitupun kepada Indonesia.
Kenaikan suhu bumi, banjir, tanah longsor, serta kenaikan permukaan air laut
merupakan beberapa bencana yang dihasilkan karena ulah kita sendiri.
Selanjutnya
bencana alam dikarenakan perubahan iklim inilah yang mempengaruhi dampak
variatif antar wilayah, generasi, usia, kelas, dan jenis kelamin. Terkhusus
kepada perempuan yang mendapatkan dampak langsung dari perubahan iklim ini.
Perempuan
dituntut agar mengetahui segala apapun urusan terkait dapur. Di satu sisi
perempuan juga harus mengurusi anak dan juga suaminya (atau mungkin anggota
keluarga lain), ditambah dengan mencari nafkah untuk menutup pengeluaran rumah
tangga. Fenomena beban ganda ini yang masih melekat dimasyarakat pedesaan yang
sampai saat ini membuat perempuan menjadi kelompok rentan terhadap perubahan
iklim.
Mengapa
perempuan termasuk kelompok rentan? Pertanyaan ini lah yang akhirnya
mengantarkan kita ke pelbagai penjelasan terkait ketidakadilan terhadap
perempuan dalam perubahan iklim ini. PBB mencatat ada sekitar 70% dari 1,3
miliar orang yang hidup dalam kemiskinan adalah perempuan.
Hal
ini menjadi problematika dikarenakan perempuan sendiri dalam partisipasi untuk
mengambil keputusan menjadi kaum kelas kedua yang tidak dihiraukan. Kebiasaan
ini sering kita temui didalam struktur masyarakat kita ketika terjadi musibah
perkumpulan yang dibentuk untuk mengambil keputusan hanya ada di tangan laki-laki,
perempuan dituntut untuk menaati segala keputusannya. Padahal perempuan juga
berperan penting dikarenakan pengetahuan mereka terhadap hal domestik yang
dapat menjadi agen adaptasi dan mitigasi yang efektif.
Perempuan
juga dituntut bekerja lebih keras ditengah perubahan iklim yang terjadi.
Perubahan iklim berakibat kepada musim panas yang amat panas dan kekeringan.
Ditengah situasi seperti ini perempuan di desa-desa memastikan agar tempat
tinggalnya tidak kekurangan air. Pengambilan air dari mata air kerumah
merupakan perjalanan yang panjang sekaligus melelahkan. Kondisi hari tanpa
hujan ini masih dialami didaerah timur Indonesia, dan fenomena beban ganda (double burden) kepada perempuan masih
sering kita jumpai di daerah ini.
Perekonomian
masyarakat juga terpengaruh akibat perubahan iklim ini, masyarakat yang
bergantung kepada sektor agraris menjadi kelompok yang fragile terhadap kemiskinan. Perubahan iklim seperti kemarau
berkepanjangan, kebakaran ladang, banjir yang merendam lahan, serta tanah yang
ambles karena longsor adalah akibatnya.
Women
Deliver (2021) mencatat bahwa perubahan iklim berakibat kepada naiknya kasus Gender-Based Violence (GBV) seperti
kekerasan seksual, transaksi seksual, perdagangan seks dan tidak lupa juga
pernikahan dini yang marak terjadi. Angka perkawinan anak di Indonesia menjadi
yang tertinggi kedua di Asia Tenggara dan juga ke 8 didunia. Kasus ini marak
terjadi dikarenakan faktor budaya setempat dan diperkuat dengan dalil agama
sehingga angka perkawinan dibawah 19 tahun sangat banyak terjadi di Indonesia.
Hukum
kausalitas (sebab akibat) antara perubahan iklim beserta Gender-Based Violence inilah kemudian menjadi pembahasan utama
karena perempuan selalu menjadi target kekerasan dikarenakan hilangnya mata
pencaharian, kemudian menjadi efek domino yang mengharuskan perempuan
menghalalkan pelbagai cara untuk mengebulkan dapurnya ditengah kesulitan iklim
seperti menjadi pekerja seks.
Ada
fenomena yang menarik dibahas di Barat negara Kenya, di negara tersebut ada
fenomena Jaboya (sex for fish) dikarenakan
desakan ekonomi yang luar biasa ditengah keterpurukan negara, nelayan setempat
bukan hanya meminta bayaran uang untuk satu ikan tetapi juga mengharuskan agar
perempuan melayani nafsu para nelayan juga. Fenomena ini begitu kontroversial
bahkan sampai membuat kasus HIV di sekitar danau Victoria tersebut menyentuh
angka 26,2%. Di negara Afrika sana perubahan iklim disertai keterpurukan
ekonomi dan negara menjadi sangat ekstrim pengaruhnya.
Bencana
alam yang terjadi dekade belakangan ini terjadi karena perubahan iklim juga.
Perubahan iklim bisa terjadi akibat ulah manusia itu sendiri. Ketika bencana
alam terjadi masyarakat yang bertempat tinggal akan menerima dampak langsungnya,
dan itu merugikan mereka dari segi materi maupun jiwa. Posko-posko pengungsian
yang didirikan dibuat seadanya karena lambatnya respon pemerintah atau intansi
terkait. Semakin lama dan banyak pengungsi yang ada juga berpengaruh terhadap
berkembangnya wabah komunal. Tenda atau shelter
bisa dihuni sampai puluhan kepala keluarga. Perempuan dan anak-anak pun tidak
dapat mendapatkan haknya.
Pelecehan
seksual sering terjadi kepada pengungsi perempuan dikarenakan minimnya privasi.
Mulai dari pengintipan, pemekorsaan, bahkan sampai kekerasan seksual. Perempuan
sebagai kelompok rentan dalam tenda pengungsian harus diberikan ruang khusus
untuk mereka bertempat tinggal. Karena selain mengurus dirinya sendiri mereka
juga merawat anak-anaknya, kodratnya untuk haid setiap bulannya, beserta ruang
untuk melahirkan dan menyusui harus diperhatikan oleh pemerintah. Lambatnya
respon pemerintah membuat beberapa Non
Govermental Organization (NGO) harus ada untuk pendampingan terhadap
perempuan dan juga anak-anak.
Nestapa
diskriminasi perempuan dalam perubahan iklim ini mau tidak mau harus segera
dihentikan. Dua permasalahan atas: 1) diskriminasi perempuan; dan 2) perubahan
iklim; yang harus diupayakan jalan keluarnya dari pelbagai sektor.
Diskriminasi
perempuan harus menjadi perhatian utama untuk pemerintah dikarenakan peran
perempuan dalam pelbagai lini bisa dibilang sangat sentral. Perempuan bukan
hanya berperan untuk keluarga tetapi mereka juga berperan untuk pembangunan
masyarakat dan negara. Perempuan harus diberikan hak yang sama dengan laki-laki
untuk mengenyam pendidikan. Pemikiran tradisional mengenai pernikahan dini yang
berakibat putusnya pendidikan beserta akses terhadap kemajuan perempuan harus
segera dihentikan dikarenakan majunya generasi seterusnya berada ditangan
perempuan yang berperan sebagai ibu.
Perubahan
iklim juga merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap remeh, satu hal kecil
kita seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi pemakaian plastik
sekali pakai dan menanam pohon dapat menyelamatkan bumi dari climate change. Fakta di Indonesia bahwa
Jakarta akan tenggelam beberapa dekade kedepan dikarenakan naiknya permukaan
laut, emisi karbon yang berasal dari kendaraan bermotor, deforestasi hutan
besar-besaran karena pembukaan lahan sawit, beserta penambangan liar yang
merusak ekosistem alam harus segera diberikan ketentuan hukum yang tegas dari
pemerintah.
Dikarenakan
kekhawatiran global akan perubahan iklim ini PBB melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
beserta perwakilan negara-negara dalam pertemuan United Nations Climate Change Conference 2016 menyetujui poin-poin Paris
Agreement yang berkaitan dengan iklim global.
Perjanjian
Paris (Paris Agreement) yang membahas
mengenai perubahan iklim menekankan bahwa penekanan terhadap peningkatan
temperatur global hingga angka 1.5 derajat celcius, demi menekan dampak global
dari perubahan iklim. Perjanjian ini telah ditandatangani oleh 195 negara
termasuk Indonesia sejak tahun 2016 dan semoga dengan adanya perjanjian ini
membawa angin segar terhadap iklim global di seluruh dunia.
Membahas
mengenai perubahan iklim penulis teringat kepada film Before the Flood (2016),
film yang membahas mengenai climate
change diseluruh penjuru dunia yang dibawakan secara menyentuh hati oleh
Leonardo de Caprio. Indonesia juga masuk dalam pembahasan di film tersebut yang
terkenal akan pembabatan hutan liarnya dengan cara membakar hutan untuk membuka
perkebunan sawit. Ikon hewan-hewan endemik yang terancam habitatnya juga
ditampilkan disini contohnya seperti orang utan.
Mendorong
masyarakat kearah yang lebih terintegrasi untuk mencapai tujuan yang saling
terkait dalam mencapai kesetaraan gender beserta mengatasi dampak dari
perubahan iklim menjadi sangat penting bagi kita hari ini. Kualitas suatu
negara dapat dilihat dari kualitas perempuannya. Jika kita menyayangi ibu
(perempuan) kita sebagaimana pentingnya, maka ibu bumi akan menaungi kita.
If one man can destroy everything,
why can’t one girl change it –Malala Yousafzai