Oleh: Fauzan Nur Ilahi(Ilustrasi oleh: Ainul Yakin)
Ada lead dari
sebuah esai yang bagi saya sangat nancep dan
menggelitik. Bunyinya begini:
“Pemerintah itu tak ubahnya seperti nyonya rumah tangga,
perlu nafkah.”
Kalimat yang terdengar sederhana, tetapi saya percaya,
kalimat itu hanya mungkin lahir dari sebuah perenungan yang tidak sepele.
Nama dari Si Empunya kalimat tersebut adalah Mahbub
Djunaidi, seorang kolumnis/esais beken di Indonesia. Dan judul esai yang lead-nya saya kutip itu adalah “Bisnis
Kuburan”: salah satu esai yang terkumpul dalam buku “Kolom Demi Kolom:
Humor-Humor Bernas Sang Maestro” (selanjutnya akan disebut “Kolom”).
“Kolom” sejatinya adalah sebuah buku yang memuat sejumlah
esai yang lahir dari tangan Mahbub pada masa sekitar dasawarsa '70 sampai
'80-an. Ada sekitar 74 esai yang terhimpun dalam buku tersebut.
Esai-esai Mahbub, sebagaimana Goenawan Mohamad bilang,
membuat ide yang termaktub tidak membebani gaya, dan gaya tidak menyebal dari
ide. Singkatnya, esai Mahbub selalu enak dibaca.
Tentu saja resensi pendek ini tidak akan mengurai satu per
satu dari setiap esai yang ada di dalam buku tersebut. Alasannya satu,
pembahasan atau tema yang dikuliti dari masing-masing esai sangat beragam. Tema
yang luas ini, sangat menyulitkan saya – yang tak memiliki keluasan pandangan
sekaliber Mahbub – untuk mengurainya satu persatu.
Kendati demikian, saya masih ingin memberikan pendapat
subjektif dari hasil pembacaan saya terhadap “kolom”.
Pertama, bagi saya yang tak terbiasa dengan gaya tulisan
'70-'80-an, tulisan dalam buku ini memang perlu sedikit proses adaptasi. Tapi
itu juga tak butuh banyak energi. Dari pembacaan dua sampai tiga esai, saya
sudah bisa beradaptasi dengan pola penulisan Mahbub kala itu.
Kedua, dan ini yang paling membuat saya terpikat, kritik
melalui satire sangat terasa dalam esai-esai Mahbub. Saya ambil sampel misalnya
dalam esai yang berjudul “Tuan Tanah ‘Pancasilais’”. Dengan menjadikan Bapak
Sampurno sebagai tokoh yang dibahas dalam esai, dia bercerita bagaimana
gelisahnya tuan-tuan tanah dihadapkan pada UU Pokok Agraria yang lahir tanggal
24 September 1960 itu.
Esai ini tentu saja merupakan kritik terhadap para tuan
tanah serta pihak pemerintah yang kala itu juga main mata dengan mereka. Namun
alih-alih mengkritik dengan tudingan keras, sepanjang tulisan Mahbub hanya
mengelukan bagaimana nasib para tuan tanah jika UU ini benar diresmikan, serta
upaya-upaya mereka untuk “mengentuti”, sebagaimana Mahbub tulis, UU tersebut.
Dia seakan “membela” (dengan tanda kutip) para tuan tanah yang nasibnya di
ujung tanduk.
Inilah satire, pola mengkritik dengan cara menyindir. Dan
Mahbub lihai dalam soal-soal beginian.
Contoh lain misalnya bisa kita temui pada esai “Dinamisasi
via Binatang”. Tulisan ini menyinggung sekaligus mengejek kebijakan Alm. Prof.
Mukti Ali yang kala itu menjabat Menteri Agama, untuk memodernisasi segala
aspek. Termasuk pesantren dengan cara mengajari penghuni pesantren beternak
ayam petelur.
Mahbub melalui tulisan ini, menyoal mengapa dinamisasi ini
hanya jatuh di kepala para santri? Mengapa siswa umum aman-aman saja? Jika
premisnya adalah penghuni pesantren dianggap sebagai konsumen tak produktif,
bukannya siswa umum juga sama nasibnya?
Dengan menelaah esai ini, kita sebagai pembaca akan banyak
menemukan kalimat-kalimat yang semula menjunjung kebijakan tersebut, untuk
kemudian dipatahkan dalam sekali pukuk. Telak pula. Itulah kemampuan Mahbub:
dia mencampur sanjungan dan kritik dalam sebuah ramuan bernama humor.
Kritik, satire, pola pikir alternatif yang
"menyimpang" dari logika mainstream,
wacana penting tapi dihidangkan dengan enteng, wawasan dan pengetahuan yang
luas, adalah beberapa hal yang pembaca akan temui dalam buku ini.
Di samping itu, khusus untuk para penikmat esai dan kolom, esai-esai
Mahbub adalah tulisan yang harus dibaca. Dari Mahbub kita bisa belajar bahwa
gaya tulisan yang enak dibaca tidak melulu mengurangi bobot tulisan. Pun,
sebaliknya. (Bung)