“Ulama Perempuan Madura”: Peran Nyai di Tengah Pusaran Patriarki
Oleh: Fauzan Nur Ilahi
Madura itu
patriarkis. Kau bisa lihat di sejarah kerajaannya. Juga bisa dilihat dalam
kenyataan konteks sosial masyarakatnya. Atau dalam diskursus keagamaannya. Tafsir
misoginis masih banyak ditemui. Hal ini, tak ayal, akhirnya juga mengalir dalam
kehidupan pesantren di pulau dengan empat kabupaten itu.
Di Madura,
peran dan sosok kyai (representasi lelaki) memiliki posisi sentral dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat. Tetapi tidak dengan peran dan sosok nyai
(representasi perempuan).
Istilah
“nyai”, merujuk kepada para perempuan yang menjadi pasangan (istri) atau anak (binderih) dari kyai. Mereka memang
dihormati secara stratifikasi dan diferensiasi sosial. Tetapi, dalam lingkungan
pesantren bahkan dalam paradigma umum masyarakat, mereka masih “nomor dua”, “di
bawah” kyai. Salah satu asbabnya adalah jenis kelamin.
Tapi cap
ini tak titik. Tidak final. Stigma ini akan segera masuk ke keranjang sampah
saat kita membaca sebuah buku hasil penelitian Hasanatul Jannah berjudul, “Ulama Perempuan Madura”. Dan tulisan ini, adalah resensi sederhana terhadap buku tersebut.
Melampaui
kebiasaan dan logika umun, Hasanatul Jannah mencoba melihat bagaimana peran dan
sosok nyai atau ulama perempuan Madura dalam masyarakat Madura. Temuan dalam
buku ini menarik. Peran dan sosok nyai dalam membawa nilai-nilai (tengka atau ajaran agama), serta
beberapa perubahan dalam masyarakat utamanya yang menyangkut dengan
pemberdayaan perempuan, tak bisa lagi dikesampingkan.
Seorang
nyai di Sumenep bernama Nyai Aqidah Usymuni yang mampu mendirikan pesantren,
memimpinnya, dan membawa nilai serta gerakan untuk pemberdayaan perempuan; Nyai
Sifak Thabrani dari Sampang yang selain ahli fiqh (fuqaha’), juga merupakan pendakwah yang mengusung nilai pemberdayaan
perempuan dan menolak komodifikasi agama, serta beberapa contoh lain yang
Hasanatul Jannah ungkap dalam buku ini menunjukkan, bahwa stigma “Madura itu
patriarkis” tak bisa digeneralisir.
Penelitian
sejenis ini memang langka. Mayoritas penelitian mengenai dunia pesantren dan
sosial-keagamaan di Madura, lebih fokus pada sosok kyai serta bagaimana
pengaruhnya dalam konteks politik, sosial, ekonomi, atau aspek kehidupan
lainnya. Padahal, kita mengerti bahwa kehidupan tak hanya dipenuhi dengan
sejarah laki-laki. Perempuan juga punya porsi besar dalam setiap perubahan dan
perkembangan yang terjadi.
Banyak
kalangan mungkin menolak masuknya peran perempuan dalam ranah-ranah publik.
Sikap ini sangat bisa dimengerti mengintat betapa logika patriarkal di Madura
masih begitu kental. Tapi memang, perihal baik atau tidaknya fenomena ini, tak
usah didebat. Tiap tempurung kepala, punya keputusannya sendiri-sendiri.
Berbicara
mengenai peran dan sosok nyai dalam kehidupan masyarakat Madura, kita juga akan
berbicara mengenai bagaimana pola relasi gender yang ada dalam masyarakat
tersebut. Dan dalam buku ini, kita akan melihat bahwa, relasi gender dalam
masyarakat Madura masih terbilang tak ideal. Artinya, masih ada diskriminasi
dengan dasar gender. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa kajian mengenai
peran dan sosok nyai tak banyak dibicarakan dalam diskursus ulama di Madura.
Kesadaran
semacam ini yang akhirnya membuat banyak nyai-nyai di Madura melakukan gerakan
(entah melalui pendidikan formal atau tidak) untuk mendidik kaum perempuan
karena merasa bahwa itu adalah salah satu cara yang efisien dalam memberdayakan
perempuan dan membentuk relasi gender yang lebih adil.
Upaya dan
kesadaran semacam ini, misalnya, bisa kita temui pada sikap Nyai Aqidah. Dia
menyebut bahwa, “Salah satu cara menolong
kaum perempuan adalah dengan membuat mereka alim (pintar) dan berdayaguna
sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh laki-laki” (Ulama Perempuan
Madura, hlm. 295)
Kendati
penelitian ini bagi penulis masih kurang detail dalam menggambarkan kondisi di
daerah-daerah di Madura, semisal klasifikasi kelas-kelas atau tipe-tipe sosial
dari sosok nyai, namun temuan yang ada dalam buku ini menarik dan sangat
memperkaya kajian mengenai diskursus nyai dan ulama di Madura.
Sudah
semestinya penelitian sejenis ini harus dilakukan dan diperkaya, mengingat
konteks sosial di Madura yang masih perlu bangkit dari logika patriarki. Oleh
karena itu, kendati penelitian dalam buku ini termasuk tema yang cukup jarang
dibahas, namun justru itulah letak menariknya. Kita disuguhkan pengetahuan baru
namun penting untuk diketahui. Itu. (Bung)