Penundaan PEMILU 2024, Wacana Kepentingan Siapa?

Oleh: Adam Andriantama Bayu Aji (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang sebagai Ketua Umum dan kader HMI Komisariat Pamulang)
Penundaan PEMILU 2024, Wacana Kepentingan Siapa?

(Ilustrasi oleh: Ainul Yakin)

Wacana penundaan pemilu 2024 mulai hangat dan ramai ketika menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan beberapa waktu terakhir didukung beberapa elit partai politik yang memberikan pernyataan untuk menunda pelaksanaan pemilu 2024. Sikap yang diambil tersebut justru menimbulkan problematika di tengah masyarakat. Sebab, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan penyelanggaraan Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Dalih-dalih penundaan yang berkembang sama sekali tidak relevan, terlebih salah satunya adalah biaya pemilu yang terlalu besar di tengah pemulihan ekonomi. Namun, kenyataannya pemerintah justru sedang mempersiapkan pembangunan IKN Nusantara. Kita ketahui bersama, bahwa pembangunan IKN Nusantara membutuhkan biaya yang sangat tinggi yaitu sekitar 501 triliun.

Sikap pejabat pemerintahan dan para elit partai politik sama sekali tidak mengindahkan Undang-Undang Dasar 1945. Karena masa jabatan presiden dan wakil presiden termaktub dalam pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama satu kali.

Pernyataan demikian seharusnya tidak dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan atau para elit partai politik. Hal tersebut akan membangkangi konsep negara hukum. Sebab, pihak yang berwenang sudah menetapkan dan memutuskan jadwal pelaksanaan pemilu 2024.

Tindakan tersebut juga memperlihatkan bahwa para elit politik ingin memiliki kekuasaan yang lebih lama. Mereka ingin melanggengkan kekuasaan tanpa proses demokrasi. Selain itu, apa yang dilakukan tersebut dapat diduga adalah untuk memenuhi kepentingan oligarki, bukan kepentingan rakyat dan kemajuan negara seutuhnya. 

Pemerintah atau public figur politik harus dapat menjadi teladan dalam menjunjung tinggi hukum dan ketetapan yang berlaku. Sehingga, secara nyata Indonesia menerapkan supermacy of law.

Sebagai penutup, Jeffrey A. Winters menjelaskan dalam karyanya, bahwa oligarki dapat digolongkan menjadi empat ciri utama, diantaranya: keterlibatan langsung oligarki dalam melakukan pemaksaan yang menyokong klaim atau hak milik atas harta, keterlibatan oligarki dalam kekuasaan atau pemerintahan, sifat keterlibatan dalam pemaksaan dan kekuasaan itu terpecah atau kolektif serta oligarki bersifat liar atau jinak.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form