Menonton Mencuri Raden Saleh, Melihat Bagaimana Kemiskinan Bekerja

Ilustrasi: Ainul Yakin
Oleh: Fauzan Nur Ilahir

Selain kasus Sambo, adalah film "Mencuri Raden Saleh" (selanjutnya: MRS) yang menyita perhatian publik beberapa minggu terakhir. Di media sosial, di televisi, di postingan-postingan netizen, semua sesak dengan komentar serta promosi terhadap film tersebut. Paska 12 hari tayang, film ini meraih setidaknya 1.500.000 lebih penonton.

Di tengah pencapaian yang fantastis ini, kita mungkin bertanya, penasaran. Apa sejatinya yang membuat film ini menarik? Mengapa animo masyarakat terhadap film ini membludak?

Menjawab pertanyaan itu, kita bisa mengacu pada beberapa pendapat. Komentar para kritikus film muncul di berbagai media massa. Ada yang bilang bahwa plotnya menarik, pemilihan aktor/aktris yang dianggap pas, naskah percakapan yang rapi, serta teknik perfilman lain yang dianggap matang, adalah beberapa di antara alasan di balik kesuksesan MRS.

Tetapi artikel ini tidak akan memasuki wilayah teknis semisal plot, penyusunan naskah, pemilihan aktor/aktris, atau nilai minus dari MRS. Saya bukan kritikus film, sehingga tidak layak mengomentari film dari sisi teknis.

Namun di sisi lain, sebagai penggemar film, saya “gatal” ingin memberi komentar terkait film MRS. Sehingga sesuai porsi, yakni sebagai penikmat film partikelir, saya lebih memilih untuk menelaah film ini dalam konteks: bagaimana MRS memperlihatkan kepada kita tentang cara kerja kemiskinan serta tetek bengek yang melingkupinya.

Sebelum membahas hal itu, perlu kiranya menggambarkan kondisi beberapa tokoh di film MRS sebagai pengantar bagi para pembaca yang belum sempat menonton film ini (spoiler alert!). Di antara enam orang anggota Komplotan Raden Saleh – sebutah bagi kelompok yang ingin mencuri lukisan Raden Saleh, hanya Fella satu-satunya tokoh yang lahir dan tumbuh dari keluarga tajir melintir.

Kehidupan tokoh yang diperankan oleh Rachel Amanda ini sangat kontras dengan kehidupan anggota komplotan Raden Saleh yang lain: Piko, Sarah, Ucup, Gofar, dan Tuk Tuk. Kecuali Fella, semua anggota Komplotan Raden Saleh hidup dalam kondisi ekonomi yang endut-endutan, penghasilan tidak jelas, sementara kebutuhan kian menumpuk. Singkatnya, mereka berlima melarat!

Di tengah kemiskinan yang menimpa, Piko, Ucup, Gofar, dan Tuk Tuk mencoba peruntungan melalui tindakan yang dianggap melanggar hukum. Ada yang memilih praktik judi, ada yang menjual barang-barang KW, plagiat, palsu. Hanya Sarah yang mencoba mendapat penghasilan dari keahliannya dalam bela diri. Sebuah keinginan yang utopis, sebab penghasilan sebagai atlet bela diri tak akan mampu menopang kebutuhan dirinya serta keluarga.

Pada titik ini, saya merasa begitu dekat dengan kehidupan para Komplotan Raden Saleh. Mungkin juga para kaum muda yang lahir dalam keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah (miskin), akan merasa related dengan kondisi yang dialami oleh para tokoh di film MRS yang tergabung dalam Komplotan Raden Saleh tadi.

Kita tahu bahwa banyak di antara Gen Z yang gamang akibat kondisi ekonomi yang melarat. Mereka kerap mengalami apa yang disebut dengan quater life crisis. Beberapa laporan jurnalistik dari Project Multaluli mengenai Gen Z, menunjukkan bahwa generasi yang dianggap akrab dengan teknologi digital dan memiliki segudang pengetahuan ini, sejatinya memiliki hidup yang ambivalen. Di satu sisi mereka dianggap memiliki pengetahuan lebih banyak dari dari generasi boomer atau mileneal, tetapi mereka terjebak dalam suatu sistem sosial-ekonomi-politik yang stagnan, tak kunjung berkembang, atau bahkan mundur.

Dalam MRS, kondisi ini jelas terlihat. Komplotan Raden Saleh bukan sekolompok anak muda yang bodoh dan kolot. Mereka memiliki kemampuan yang luar biasa pada bidang masing-masing. Piko yang ahli melukis, Ucup yang handal IT, Gofar dan Tuk Tuk yang mahir soal merakit segala jenis mesin, Fella si konseptor, atau Sarah yang berbakat dalam hal bela diri. Nahasnya, ragam kemampuan yang luar biasa ini terhambat oleh sistem sosial-ekonomi-politik yang tidak mendukung mereka untuk menempati profesi yang sesuai. Alhasil, mereka harus tetap miskin di tengah kemampuan yang seharusnya menjadikan mereka kaya raya, atau paling tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga.

Tindakan para anggota Komplotan Raden Saleh yang kerap kali dianggap kriminal, sejatinya tidak lahir dari ruang yang hampa. Tindakan tersebut adalah konklusi dari situasi yang mendesak, sehingg mereka terpaksa melakukan apa saja asal bisa bertahan hidup dan menutupi segala ragam kebutuhan.

Penjelasan ini mengajak kita agar bisa melihat bagaimana kemiskinan bekerja. Bahwa kemiskinan tidak melulu akibat dari malas bekerja. Kemiskinan bukan hanya soal siapa rajin menabung dan siapa yang tidak. Variabel kemiskinan lebih luas dan rumit daripada itu.

MRS memperlihatkan kepada kita bahwa kemiskinan adalah sebuah hal yang sistemik. Ia lahir dari berbagai faktor yang kompleks. Sebagai misal, kita sebut saja sistem kapitalisme yang dipelintir sedemikian rupa sehingga tidak memberikan ruang bagi masyarakat tanpa modal untuk mengembangkan kehidupan mereka, atau akses serta kualitas pendidikan yang minus, atau sistem pemerintahan yang tak sehat akibat berbagai aparatur negara diisi oleh kaum pemodal, serta masih banyak lagi faktor yang lain.

Masih dalam MRS, kita mengenal tokoh Pak Permadi, si mantan presiden itu. Ia adalah preseden yang paling tepat untuk merepresentasikan kaum pemilik modal dengan sifat tamak dan rakus. Tak hanya modal, ia nyaris punya segala: relasi, akses, serta kuasa. Maka lengkaplah segala perangkat untuk menjadikannya lintah darat yang sempurna.

Di tengah situasi masyarakat yang hopeless akibat sistem yang tidak berpihak, mereka tetap dipaksa oleh kebutuhan untuk tetap bekerja. Mereka rela melakukan apa saja demi bisa menyambung hidup, demi bisa terus bernafas. Asal bisa bertahan, semua halal-halal saja.

Orang-orang seperti Pak Permadi paham betul kondisi ini. Maka tak heran jika mereka memanfaatkan sekelompok manusia berbakat tapi hopeless sebab tak memiliki akses, relasi, modal, serta kuasa ini, untuk menghamba di bawah ketiak mereka.

Fenomena semisal ini jelas tidak asing di kehidupan kita. Bukankah sudah tak terhitung orang-orang yang dengan sadar memilih menjadi buzzer, menjad kacung para penguasa dan pemilik modal hanya demi menyambung hidup. Tak peduli pilihan ini membuat mereka berkembang, atau justru mengerdilkan mereka.

Tetapi, pilihan ini jelas tidak bisa serta merta kita lihat sebagai kebodohan masyarakat belaka. Sebab sangat mungkin mereka memilih di tengah keterpaksaaan.

Persis seperti yang dialami oleh Komplotan Raden Saleh yang terdiri dari masyarakat sipil skillfull, tapi tak memiliki akses, relasi, modal, serta kuasa itu. Mereka hopeless. Mereka melarat. Dan satu-satunya pilihan yang paling rasional serta paling mungkin adalah dengan bekerja pada manusia sejenis Pak Permadi. Persetan dengan baik-buruk. Selagi bisa menyambung hidup, why not?!

Begitulah bagaimana MRS menggambarkan kemiskinan. Perihal kemiskinan, jelas membutuhkan banyak pengetahuan mengenai aneka variabel. Yang saya bahas adalah secuil dari sekian banyak faktor yang akhirnya melahirkan dan membentuk lingkaran setan bernama: kemiskinan. Untuk itu, sikap yang menganggap kemiskinan hanya melulu sebagai efek dari sifat malas dari masyarakat, jelas adalah penilaian yang simplifikatif dan terburu-buru.

Sebagai penutup dari artikel ini, saya ingin mengutip sebuah dialog dari tokoh Piko saat dirinya sadar bahwa Komplotan Raden Saleh telah dijebak oleh Pak Permadi. Begini bunyinya:

“Emang kita siapa sih? Kita cuma sipil, anjing!”

Sekian.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form