Tuhan vs Kemacetan Homo Jakartensis

Table of Contents

 Oleh: Milki Amirus Sholeh

(Ilustrasi oleh: Ainul Yakin)

Berapa kali manusia di Jakarta menyebut nama tuhan saat berhadapan dengan kemacetan jalan. Itu sebagai gambaran religiusitas kita namun dalam posisi mengeluh. Kita semakin harus mengurus diri sendiri di kota besar dan sedikit peluang mengasah solidaritas antar sesama. Kemacetan selalu dituduh bukti seberapa metropolitannya Kota Jakarta. Sampai mungkin tiada pilihan lagi selain soal peruntungan ekonomi, kita harus selamat dari gangguan psikologi sosial yang buruk. 

Pakar ilmu planologi sudah jauh-jauh hari meminta ibu kota dipindahkan. Keinginan itu bersambut namun terlanjur berlumuran politik. Kita membayangkan suksesnya Malaysia mengurai kemacetan setelah Perdana Menteri, Mahatir Mohamad memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya yang berjarak 22 KM. Gagasan dan cita-cita merampingkan jutaan kendaraan bermotor yang tidak seimbang dengan pertumbuhan jalan, kian hari semakin tipis. Ibu kota telah “men-Jakarta” bukan sebaliknya. Tidak absah rasanya jika Indonesia tidak ditempatkan di kota istimewa itu. 

Kemacetan dan kendaraan adalah ingatan yang paling mudah digambarkan. Mobil dan jalanan ibu kota bagai sintesa yang melahirkan budaya kota. Jakarta masih digolongkan sebagai Inner City, penggambarannya dapat diterangkan dengan adanya perpaduan kelas sosial dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Budaya konsumtif masih menjadi perangai kota ini, sehingga roda ekonomi semuanya terpacu dari skala mikro dan makro. 

Sekalipun tinggi gedung sudah tidak bisa diukur jenggala bayangan matahari dari padat dan jumlahnya kian hari memotong horizon mata, Jakarta masih bisa melangkah sebagai kota postmodern meminjam istilah Barker (2004). Kota postmodern seperti Kota Los Angeles, di mana deindustrialisasi sudah dapat berkolaborasi dengan kalangan berkerampilan rendah, semua ada berkompetisi seimbang tanpa pengawasan.

Kemacetan mendapat angin segar dengan tingginya budaya kerja bermobil ria di jalanan ibu kota. Setelah kita sulit menghitung berapa jumlah kendaraan yang bergerak dan diam di garasi. Kita juga menjadi acuh bahwa kita selama ini menjadikan kendaran mobil sebagai bagian rumah kedua kita. Ruas jalan satu arah atau lebih banyak tidak kuasa memuaskan dahaga gonta-ganti merek mobil. 

Kebiasaan membawa mobil dengan kemacetan sudah diketahui dengan jelas dampaknya. Mereka semua bukan malas tetapi terpacu dari acuan prestise kehidupan yang diikuti tren berapa jumlah roda mesin berputar di aspal. Padahal, hitungan kemacetan di Jakarta terbilang gila. Mobil merupakan dunia ketika di luar rumah dan dunia kerjanya. Jangan salahkan mereka yang sudah mendapatkan itu semua. 

Doa Macet

Mungkin jika tuhan tidak begitu eksis saat kerja dan tugas mendera, maka macet menjadi sarana yang memudahkan tuhan lebih diterima kehadiranya secara nyata. Walaupun macet telah membuat waktu dan kehidupan sedemikian lebih singkat di Jakarta. Rutinitas tanpa batas itu telah menyedot orang meramaikan jalanan Jakarta. Bayangkan jika kita bekerja dengan hambatan waktu kemacetan menuju kantor 2 jam, maka total kita membutuhkan 4 jam di dalam mobil perhari.

Matematika kemacetan sebenarnya mencengangkan, jika kita mulai kerja di usia 25 dan pensiun di usian 55 tahun, makan kita kehilangan 10 tahun waktu berharga di mobil akibat macet di jalanan. Apa yang bisa dilakukan seseorang selama 10 tahun? 

Kemacetan membuat kita semakin merasakan kebebasan yang sulit didapatkan di kantor. Mobil sebagai instrumen kebebasan dengan aktifitas lengkap. Kita bisa mendengarkan satu album musik tanpa dijeda atau bahkan bermain media sosial yang ternyata itu sebagai salah satu kemewanan bagi orang di Den Hag dan Kyoto yang didera beban kerja dan waktu yang sempit. Kita masih sempat di Jakarta berjalan dalam mobil dan mengambil burger dan uang tanpa harus turun dari kendarana. Seakan satu paket, bahwa kemerdekaan kita dalam kendaraan benar-benar luar biasa.

Siapa bilang kemacetan sebagai neraka harian. Di bagian sisi sosial itu juga ada sekelompok masyarakat bergantung pada kemacetan, loper koran, cat depo, atau asongan. Kemacetan menjadi celah melihat ekonomi kecil bergulir. Tuhan tidak selalu merestui pekerjaan yang mapan-mapan saja. Gambaran ini bukan berarti mengajak kita tertahan untuk tidak memikirkan lepas dari bayang aspal dan roda yang merangkak. 

Mobil semakin mudah didapat namun tempat tinggal susah dibeli. Dapat melaju bebas tetapi tidak mudah berhenti dan menaruh kendaraan. Ini anomali yang disengaja dan dirayakan sebagai target hidup di kota besar. Orang mungkin henyak dalam pesta makan semalam namun berduka setiap pagi jam kerja. Mobil dan macet bagai “bianglala” memusingkan namun menghibur. Carilah doa-doa lainnya!

Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment