Jangan Hakimi Nami, Ia Pencuri yang Terlalu Manis dan Menyimpan Kesedihan

Gambar Nami diambil dari pxfuel.com dan dengan background dari Ainul Yakin

Nami mencuri untuk sebuah kemerdekaan.

Pencurian itu suatu tindakan kriminal. Bagaimana kalau hanya mencuri harta para bajak laut bukan seluruh masyarakat?

Tetap tak bisa dibenarkan. Itu kriminal.

Tapi bagaimana kalau pencuri itu semanis Nami? Ok. Tarik nafas sebentar, mari kita gelar diskusi dan sedikit kopi. Dengan sederet kalimat bijak, kita bisa katakan: ‘don’t judge book by the cover!’.

Intinya, jangan buru-buru menghakimi Nami dengan label ‘kriminal’.

Bukan karena ia memiliki senyum yang manis. Atau karena ia selalu ceria dalam kesedihan dan kesepian yang terpendam. Atau karena ia sangat-sangat loveable. Bukan. Bukan itu. Ada hal yang lebih jauh.

Pencurian Nami adalah suatu yang mulia. Itu sebabnya kita katakan agar jangan buru-buru menghakiminya. Lantaran apa yang kita lihat dari aksi-aksi gemilang pencuriannya, aksi lihai penipuannya, & kemampuan menyihir lewat senyum dan menggodanya, itu semua memendam suatu kedalaman perasaan yang jejak-jejaknya bisa ditelusuri pada suatu masa yang kelam.

Dalam suatu kisah kelam yang membuatnya merasa hidup tak ubahnya perjalanan dari satu kesepian kepada kesepian yang lain.

Saat itu, ia hanya seorang gadis kecil. Tak pernah diketahui siapa ayah dan ibunya. Oda – si penulis One Piece – dengan tega sekali menghadirkannya begitu saja sebagai sosok gadis kecil yang kesepian. Seakan Nami dilempar begitu saja ke sebuah daratan, tanpa jelas asal-usulnya.

Lalu muncul sosok Nojiko, yang akhirnya menjadi kakak bagi Nami – pelindung untuknya. Ia dirawat Belle-Mere. Perempuan itulah yang jadi ibu bagi Nami kecil. Setidaknya, sejak saat itu, ia punya keluarga kecil: ia punya sosok kakak dan ibu.

Tapi nasib mengembalikannya kepada situasi semula: ia kembali hidup sebagai seorang diri. Kesepian kembali merebutnya. Ia terpisah dengan cara penuh kekerasan dan menyisakan trauma mendalam saat wilayahnya berada dalam kuasa rezim Arlong, si manusia ikan, yang kejam dan memerintah (menindas, menyiksa) manusia – warga Nami – selama sepuluh tahun.

Selama itu pula, Nami diselimuti kesepian. Ia dipaksa terpisah dari kakak dan warga yang lain, dan hidup di markas Arlong. Setiap hari ia terkunci di dalam satu kamar, dalam suasana kesepian. Satu-satunya ia punya teman adalah peta-peta. Ia menyukai buku-buku, mempelajari peta, dan bahkan bisa membuat peta sendiri – kejeniusan yang justru semakin membuatnya terikat dengan si bajak laut Arlong.

Nami – selama itu – melayani kepentingan Arlong, membuatkan peta-peta strategis untuk kepentingan Arlong memperluas kekuasaannya sebagai bajak laut.


*
Kesepian Nami terus menyeretnya dalam petualang sebagai pejuang sendiri (single fighter). Ia menjadi sosok yang sangat individual. Ia tak mau bergabung dengan siapa pun, dan ia tak mau merepotkan siapa pun. Ia seakan menanggung seluruh beban hidup di pundaknya sendiri.

Sang kakak pernah menggambarkan sosok Nami:

“For her, who had to fight alone her entire life, there is nothing more painful than having others call her a friend” (Baginya, yang sejak lama berjuang sendirian sepanjang hidupnya, tak ada yang lebih menyakitkan daripada hadirnya orang lain yang mengaku-ngaku sebagai teman).

Nami punya tekad sendiri yang disimpan di dalam hatinya: ia ingin membebaskan wilayah dan seluruh warganya dari jerat kekuasaan Arlong. Ia terikat satu perjanjian tak tertulis dengan Arlong: kalau Nami mampu menyerahkan sejumlah uang – yang jumlahnya sangat tak masuk akal – kepada Arlong, maka ia bisa membebaskan warganya.

Poinnya: Nami harus membeli wilayah itu dengan jumlah uang yang tak masuk akal itu.

Warga sekitarnya tahu belaka dengan kontrak itu. Bagi mereka, nominalnya sangat tinggi. Sangat tak masuk akal. Dan mereka pura-pura tak tahu, dan tak merecoki impian dan tekad Nami itu.

Nami tak peduli semustahil apapun itu. Tekad yang kuat mengenyahkan ketidakmungkinan. Apa yang terlihat sebagai suatu ketidakmungkinan bagi warganya, bagi Nami adalah sebuah kemungkinan yang butuh waktu. Ya, ia butuh waktu untuk mengumpulkan sebanyak itu. Selama itu pulalah Nami terus berjuang sendiri: mencuri dan terus mencuri. Kemampuannya sebagai pencuri dan penipu sangat luar biasa, terasah oleh waktu, oleh keadaan yang riskan.

*
Sebagai seorang single fighter, penyendiri, Nami tercetak sebagai sosok yang tak percaya siapa pun. Ia teribiasa menipu orang lain. Sehingga sangat tidak mungkin baginya untuk menaruh kepercayaan kepada orang lain, apalagi terlibat persahabatan. Apalagi saat ini, satu-satunya kepentingan Nami adalah uang, harta kekayaan, untuk menebus wilayahnya dari rezim kuasa Arlong.

Meminjam petikan Sapardi Djoko Damono yang sudah sedikit diotak-atik, maka suasana batin yang pas buat menggambarkan Nami adalah:

‘yang fana adalah pertemanan, kepentingan abadi’.

Tapi Nami tak menyadari bahwa ia rupanya menaruh ‘kepercayaan’ pada Arlong, sang rezim, dalam sebuah kesepakatan yang sangat politis, bahwa Arlong bersedia melepaskan wilayahnya asal Nami mau membayar sejumlah uang. Ia lupa bahwa Arlong adalah penguasa yang licik sekali, dan ia tahu belaka bahwa menguasai wilayah Nami, ia bisa mengeruk keuntungan yang besar dari sana, selain dari pajak yang ditarik secara kekerasan oleh Arlong.

Memangnya dari mana Arlong memiliki kekayaan dan mampu menutup mulut para angkatan laut, kalau bukan dari wilayah yang kini didudukinya?

Apa yang terjadi pada Nami dalam keteguhannya untuk tak mempercayai siapa pun tapi mempercayai Arlong adalah ia menyandarkan kepercayaan pada orang yang salah. Yang bisa dipelajari dari Nami di sini adalah jangan pernah menaruh kepercayaan pada politisi. Arlong adalah seorang politisi. Ia bisa berkelit pada janjinya, dan memang akhirnya ia terbukti berkelit: ia mengingkari kontrak itu, dan uang yang sudah lama disimpan Nami, justru dirampas oleh angkatan laut.

*
Kepercayaan Nami semakin hancur setelah segalanya berujung pada titik nol. Ia nyaris kembali lagi pada titik nasib yang semula: penjara kesepian, dengan labirin ketakpercayaan pada siapa pun yang kian menebal.

Tapi Oda tak ingin Nami terjebak pada kesepian ekstrem itu, tak mau terjebak pada derita kesendirian selamanya. Sebab akhirnya ada Luffy, Zorro, dan Usop yang tetap setia dalam pertemanan dengan Nami meski mereka sempat dikhianati. Mereka tahu belaka bahwa pengkhianatan dari seorang teman tak harus selalu berakhir dengan perpecahan. Dengan syarat, alasan itu memiliki sisi yang sangat ‘urgen’ di baliknya.

Dalam kasus Nami, ia berkhianat dan mencuri harta milik bersama Luffy, Zorro, dan Usop, lantaran ia tak mau misinya direcoki oleh mereka bertiga, dan ia memiliki tujuan mulia untuk membebaskan warganya dengan menebusnya lewat sejumlah uang.

Sekali lagi, Nami hanya terlalu manis dan terlalu menderita sendirian di balik perangainya yang suka mencuri dan menipu. Maka jangan menghakimi dirinya sebelum mengetahui duduk perkaranya yang ternyata mulia: ia mencuri untuk sebuah kemerdekaan.

Rontal

Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form