Oversimplifikasi 'Carok', Kritik Emak Tapai dan Kita

Table of Contents
Tukang Olah Ilustrasi @Ainul

Madura kembali mengguncang tanah air. Berbagai media massa dan media sosial seolah berlomba-lomba menyorot dan memberitakan kejadian di bagian ujung Jawa Timur tersebut. Tepatnya di Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Empat nyawa melayang sia-sia akibat duel maut pada Jumat, 12 Januari 2024.

‘Carok.’ Begitulah judul berita di berbagai media online. Youtuber asal Madura yang dikenal dengan sebutan @emaktapai di platfom ‘instagram’, memberikan kritikan menohok kepada individu yang dengan gampangnya menggunakan istilah Carok tatkala ada kekerasan antara dua orang atau lebih. Apalagi kejadian seperti itu sering kali dianggap hal normal, dan pantas dilakukan oleh orang Madura.

Media massa maupun media online tak luput dari perhatiannya. Bahkan disebut ikut mempersubur pembodohan yang dilakukan secara terus menerus. Yakni dengan menggunakan istilah Carok tanpa memberikan penjelasan yang pasti apa sebenarnya makna dari Carok itu sendiri. Sebab menurutnya tidak semua kekerasan yang bahkan membuat nyawa melayang disebut Carok.

Emak Tapai memberikan sedikit penjelasan soal Carok itu sendiri. “Carok itu 1 lawan 1, dan sudah ada kesepakatan dari kedua belah pihak sebelum akhirnya menentukan lokasi "Carok" dan lokasi harus jauh dari pemukiman (sepi) agar tidak ada yang menyaksikan kejadian mengerikan itu.’’

Makna Carok yang disebutkan di atas selaras dengan pendapat budayawan asal Madura Hidrochin Sabarudin dalam media sosial Facebook dengan judul Carok Madura. Bahwa Carok itu ada aturannya sendiri. Di antaranya musyawarah atau peringatan sebanyak tiga kali kepada pihak yang dianggap bersalah, dilakukan di tempat sepi, sepengetahuan keluarga dan satu lawan satu.

Carok adalah penyelesaian paling terakhir. Yakni ketika semua hal sudah ditempuh dan tidak mendapatkan jalan keluar. Semisal para sesepuh setempat sudah tidak bisa mendamaikan kedua belah pihak. Karena sama-sama mempertahankan harga diri. Maka pada zaman dahulu, Carok menjadi adat yang ditempuh, dan setelah itu seharusnya tidak ada dendam. Bahkan yang menang pun memberikan Celurit yang digunakan pada saat berduel kepada pihak keluarga yang kalah. Sebagai tanda tidak ada dendam lagi setelahnya.

Carok bukanlah senggol bacok yang terjadi karena hal-hal sepele. Melainkan ada rentetan-rentetan yang harus dilalui. Sebenarnya Carok disebut budaya karena pada zaman dahulu masyarakat belum menjalankan aturan hukum positif yang diberlakukan oleh negara. Sehingga jalan satu-satunya ditempuh lah Carok tersebut.

Pada titik ini, kritik yang dialamatkan kepada media massa yang seringkali menyebut carok pada segala bentuk kekerasan yang terjadi di Madura sangat tepat. Media massa memberikan efek yang luar biasa bagi pembaca. Dalam teori jarum suntik atau hipodermik needle theory, media massa dipandang sebagai suatu medium yang bekerja layaknya jarum suntik: yakni bergerak satu arah dengan menyuntikkan informasi kepada pembaca. Dalam hal ini, publik pembaca didudukkan sebagai ‘passive audience’ bukan ‘active audience’ yang hanya menerima begitu saja asupan informasi yang disajikan media. Dengan pendekatan ini, maka apa yang disajikan (disuntikkan) media kepada pikiran pembaca (audiens pasif) ditelan secara bulat, tanpa sikap kritis dan klarifikasi.

Inilah sisi yang berbahaya dari suntikan informasi media yang tidak diterima secara kritis oleh publik. Di titik ini, kritik Emak Tapai – dan kita semua – atas pemberitaan demi pemberitaan media terkait Carok di Madura memiliki relevansi. Apalagi media yang memberitakannya adalah media nasional (ada kompas dan tribun network yang dikritik Emak Tapai). Pada titik yang lebih jauh, bahaya penerimaan tidak kritis dari publik atas pemberitaan media tentang Carok di Madura berpotensi menimbulkan beberapa hal. Pertama, yang pasti di situ ada oversimplifikasi atas makna Carok. Oversimplifikasi ini akan menggerogoti pemahaman kita – sebagai insider (orang Madura sendiri) dan outsider (luar Madura) – tentang Carok. Oversimplifikasi atas Carok ini bisa menghilangkan kedalaman pemahaman terhadap faktor-faktor kompleks yang menyertainya. Dan lebih jauh, ini mengarah pada deviasi makna Carok.

Di titik ini, apa yang harus dilakukan oleh para sesepuh dan para budayawan Madura, para tokoh, dan aparatur pemerintahan jangan berdiam diri melihat deviasi makna yang semakin jauh dari makna Carok. Perlu ada penguatan lagi tentang pemahaman masyarakat tentang Carok, perlu didudukkan lagi secara lebih tepat mengenai pemaknaan dan semangat dalam konteks historis lahirnya dari kata itu. Sebab jika hal ini tidak dibendung, bisa jadi deviasi makna ini akan terus menyebar jauh, diturunkan nanti pada tiap generasi. Apalagi sekarang media sosial memungkinkan segala sesuatu tersebar cepat alias viral, dan dikonsumsi publik tanpa sikap kritis.

Penerimaan tanpa kritis atas makna Carok akan menormalisasi setiap duel kekerasan di Madura. Bagi outsider – dan ini merugikan bagi semua terutama orang Madura, normalisasi deviasi makna Carok (dengan menganggap semua kekerasan sebagai Carok) akan menebalkan stereotip orang Madura yang identik dengan kekerasan, erat dengan kekerasan, mudah tersulut marah dan ‘senggol bacok’. Sehingga dengan menyebut nama orang Madura, maka yang terlintas adalah Carok yang dalam imajinasi ‘awam’ mereka adalah sebentuk kekerasan apapun yang dilakukan oleh orang Madura.
Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment