Prabowo Bertahan, Ganjar Seimbang, Anies Atraktif

Table of Contents
Ilustrasi: Wawan


"Dalam pertempuran, tiga perempat faktor kemenangan ditentukan oleh kekuatan karakter dan relasi personal. Adapun seperempat lagi oleh keseimbangan antara tenaga manusia dan material," demikian kata Napoleon Bonaparte.

Bait karya Panglima Perang Perancis terkemuka abad ke-18 itu seolah tergambar dalam debat Pilpres ke-3 di Tanah Air beberapa waktu lalu. Di hadapan panggung pemilih Indonesia, para Capres secara tidak langsung menyajikan karakter, relasi personal, dan sumber daya masing-masing (manusia dan material) dengan tingkat orisinalitas yang tak ada bandingannya.

Debat yang berlangsung kurang lebih 2 jam tersebut, memperlihatkan betapa Prabowo seperti lupa cara bertahan dengan solid. Ia tampak kewalahan dalam menahan serangan; Ganjar berusaha mengatur keseimbangan antara bertahan dan menyerang; sedangkan Anies seperti menganut filosofi Sun Wu [Zi] dalam The Art of War (2003) bahwa “pertahanan terbaik adalah menyerang”. Itu pun harus dengan serangan yang skematis dan atraktif.

Datang ke arena debat sebagai pemegang otoritas tertinggi bidang Pertahanan, Prabowo diprediksi banyak kalangan akan menang mudah dalam debat kali ini. Prediksi tersebut memiliki alasan kuat mengingat hari-hari yang digeluti Prabowo adalah ‘Pertahanan, Geopolitik, dan Hubungan Luar Negeri’, setidaknya dalam 4 tahun terakhir. Namun apa yang terjadi, Prabowo dibuat ‘shock’ oleh para lawan-lawannya sejak peluit dibunyikan oleh moderator sebagai tanda pembukaan.

**
Dalam kesempatan pembuka, Anies langsung menusuk ke jantung pertahanan Prabowo dengan menyenggol kepemilikan tanah ratusan ribu hektar sang Menhan di tengah keadaan Prajurit TNI yang hanya mampu tinggal di kost-kostan. Absennya Kepala Negara dalam forum-forum internasional tentang beragam persoalan dalam 10 tahun terakhir membuat serangan Anies mulai memantik emosi lawan-lawannya. Jebolnya situs Kemenhan oleh para hacker serta anggaran 700 Triliun yang hanya dibelanjakan untuk alutsista bekas membuat reputasi Prabowo sebagai pemegang otoritas Pertahanan langsung ambruk.

Ganjar seolah mengatur ritme pertandingan dengan memperhatikan situasi lawan debatnya. Ia tak buru-buru untuk menyerang, tetapi ketika ada kesempatan, juga tak menyia-nyiakannya. Karena itu pada kesempatan awal, visi misi Ganjar terlihat datar. Ia fokus pada Kepentingan Nasional yang harus diutamakan sekaligus meredefinisi politik luar negeri bebas aktif melalui penguatan infrastruktur diplomasi. Menurutnya, sistem Pertahanan Indonesia harus masuk ke dalam Pertahanan 5.0 dengan teknologi sakti, supersonic, dan lain sebagainya. Untuk mencapai hal tersebut, anggaran pertahanan harus dinaikkan, minimal 2% dari PDB. Sedangkan untuk bidang keamanan, Ganjar mendorong reformasi kepolisian serta penguatan pasukan siber dalam rangka mengantisipasi serangan siber yang belakangan semakin deras.

Serangan Anies berhasil memancing Prabowo untuk tampil secara lebih otentik. Gestur Gemoy yang semula disematkan terhadapnya pada kesempatan kali ini seolah-olah menghilang begitu saja. Ia tampil di awal langsung dengan tensi yang relatif tinggi, terutama saat menyampaikan visi misi. Bagi Prabowo, untuk menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan di dunia, mau tak mau Indonesia harus memperkuat Pertahanannya. Karena itu untuk mencapai hal tersebut, Prabowo menekankan penguatan ekonomi dalam negeri. Tak lama berselang, tensi Prabowo semakin naik ketika meladeni serangan Anies. Menurutnya, data-data yang disodorkan Anies sangat lemah, diragukan, dan bahkan salah. Sayangnya, Prabowo tidak mengajukan data tandingan sebagai pembanding sehingga argumentasinya seolah out of context.

***
Serangan attraktif Anies membuat Prabowo seolah semakin kewalahan, pada sesi tanggapan dan tanya jawab. Dalam situasi terdesak, Prabowo berusaha untuk merangkul Ganjar dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki kesamaan, ‘mungkin satu buku dan satu perguruan’. Pada momen ini, Prabowo betul-betul kehilangan pijakan logisnya sehingga tak bisa membangun argumentasi yang memadai. Alhasil, Prabowo kehilangan kesempatan untuk membalikkan situasi dan yang muncul justru kata-kata yang aneh: ‘omon-omon’, ‘profesor’, dst.

Pertahanan Prabowo pada akhirnya jebol juga kendati telah menyusun sistem ‘gerendel’ ala catenaccio seperti dalam sepakbola Italia. Kebobolan tersebut terjadi ketika serangan tidak hanya dilakukan oleh Anies tetapi juga Ganjar. Ketika mendapatkan momentum, Ganjar tak menyia-nyiakannya dengan melakukan serangan mendadak terhadap pertahanan Prabowo.

Dengan jumawa, Ganjar menantang agar data-datanya dibantah dengan data tandingan, serta mempersilahkan staf Prabowo untuk maju ke depan, mendampinginya. Menurut Ganjar, dalam 4 tahun terakhir penilaian dari lembaga-lembaga internasional terhadap pertahanan dan kemampuan militer Indonesia terjun bebas. Itu semua, demikian Ganjar, karena Kemenhan tidak melakukan perencanaan secara bottom up melainkan top down. Pada momen ini, Ganjar seolah mencetak gol secara dramatis di menit-menit akhir yang membuat para pendukungnya bertepuk sorak.

Di luar dugaan, Prabowo anti klimaks dalam debat kali ini. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Anies dan juga Ganjar membuatnya seolah lupa cara bertahan dengan solid. Ia sepertinya datang ke arena debat dengan persiapan yang kurang memadai. Sebagai orang pertama di Kemenhan dalam 4 tahun terakhir, mungkin dirinya merasa menguasai seluruh hal terkait topik debat dan dengan mudah dapat mematahkan serangan lawan-lawannya. Namun, dalam kenyataannya justru terbalik. Sebagai lawan yang tak diunggulkan, Anies dan Ganjar datang dengan persiapan yang betul-betul siap tempur, setidaknya terlihat dalam dinamika debat selama 2 jam.

****
Dalam panggung debat ke-3, tersaji tiga Capres dengan tiga karakter yang saling berlawanan. Anies Baswedan menampilkan kepribadian dengan karakter intelektual, penuh pesona, dan keluwesan berpadu jiwa teknokratik yang tak ada bandingannya. Datang dari keluarga pahlawan, Anies menampilkan gestur intelektual organik, erudisi dan narasinya sangat dalam, serta memiliki keluwesan dengan praktek politics of inclusion seperti diperlihatkan dalam kepemimpinannya di DKI Jakarta. Kendati well educated, Anies tak pernah lupa mereka yang terpinggirkan, terutama kaum lemah dan tak mampu.

Prabowo Subianto adalah pribadi yang kompleks, menampilkan karakter ketegasan yang berpadu dengan daya dobrak (meledak-ledak). Ia datang dari keluarga pejuang dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dan ideologi sosialisme paradoks dengan latar kemiliteran berpadu ortodoksi Orde Baru. Dalam kategori ini, ia seolah berada dalam posisi antara dan ‘dari kumpulannya sering kali terbuang.’ Keputusannya bergabung dalam Kabinet Presiden Joko Widodo—yang merupakan lawan tandingnya pada Pilpres 2019—semakin menegaskan “kompleksitas” dirinya. Keputusannya berduet dengan Gibran yang merupakan anak Presiden dengan “menerabas” etik publik dan kelaziman menjadikannya semakin penuh kontroversi.

Ganjar Pranowo adalah satu-satunya Capres yang dapat mewakili tradisi Jawa dengan sedikit pengecualian. Latar adat Jawa membuatnya memahami kesantunan. Datang dari trah keluarga priyayi yang diperkuat dengan pengalaman bergabung dengan partai terpinggirkan selama Orde Baru, membuatnya memahami arti jati diri. Kepribadian yang demikian cocok untuk mengisi kepemimpinan yang disebut Bung Karno sebagai kepemimpinan “berdikari”, yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan).

Dari ketiga Capres dengan karakter masing-masing seperti di atas, siapa figur yang tepat yang dapat menyelesaikan beragam persoalan yang diidap oleh negeri ini? Tentu saja relatif sulit memutuskan mengingat krisis akut dan multidimensi negara kita seperti zaman aksial pra kenabian. Mendekati 14 Februari 2024 sebagai hari penentu, semoga para pemilih memiliki kearifan untuk memilih pemimpin dengan karakter yang tepat menghadapi sengkarut negara hari-hari ini. Wallahu a’lam bisshawab! [*]
Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment